Posts

Showing posts from 2014

(Benarkah itu) KAMU?

Thesoliloquistconfession.blogspot.com Aku nyaris mengutuk setiap hari yang berlalu. Pada kekosongan yang membingungkan dan memerangkap. Aku menyadari bahwa satuan hari hanyalah sekedar khayalan manusia. Agar 24 jam menjadi nyata dalam susunan angka yang tidak ada habisnya. Yang benar, kita hanya memiliki masa lalu, hari ini, lalu masa depan. Dan semuanya akan melebur jadi sekedar kenangan. Bahwa sebenarnya yang kita punya adalah tiga bagian waktu yang tidak bisa diperlambat, tidak dipercepat, tidak pula bisa kembali.  Aku mendambakan setiap detik yang hanya kuhabiskan dengan bernapas. Bersyukur dan mencintai sang pencipta. Bukan aku tidak suka kebisingan. Aku justru senang ditelannya. Hanya aku menikmati titik khidmat kesendiran. Dibalut kesunyian. Dibumbui ketenangan. Lalu matang dengan kerinduan. Aku mencinta. Akulah ciptaan tuhan yang tidak pernah berhenti untuk jatuh cinta. Akulah yang mendamba. Yang bertekuk lutut pada setiap rupa keindahan. Akulah si tolol yang romantis. Yang

kuperkenalkan kau pada cinta

Angin merenggut tubuhku. Memaksaku mengecupnya sampai ke rusuk, ketika ku buka jendela di ketinggian 19. Di atas apartement kesepian yang dipeluk riuh ibu kota. Aku mengintip kebawah. Nampak lampu-lampu sedang berjaya menemani jiwa-jiwa kusut yang dinodai semerawut Jakarta. Nampaknya ramai. Bagai lilin-lilin putih yang sedang merayakan mati lampu.  Rasanya ingin meringis. Pada setiap raga yang hati nya mati. Tapi berlagak hidup. Bernapas merebut oksigen seperti yang paling butuh. Padahal bumi tetap berputar meski dia sudah jadi kaku. Kulihat, hatinya juga sudah jadi abu-abu. Jangankan putih, hitampun rasanya tak sudi. Dihinakan mereka oleh titik terang yang menyebut dirinya cinta.  Kenapa kau berdusta? Tak mau mengakui cinta. Tak tau kah kau, dia lebih hebat walau kau sudah jadi dewa. Dia akan membunuh otakmu. Mengulitinya dan menggantungnya seperti pajangan rusak. Dia bukan enggan menyentuhmu. Dia hanya menunggu waktu untuk menyentil rasa sombong dan menginjakmu dengan egomu  send

Kursi Roda

Kau merebut hatiku. Kita saling jatuh cinta. Benarkah? Ataukah kita hanya saling menginginkan. Karena kita pikir, kita lengkap bersama. Berdua, kita sempurna. Tapi kita tak lihat. Utara dan utara saling menolak. Api yang lebih besar tidak mengalahkan api yang sebelumnya. Tetapi, air akan memadamkannya. Panas tidak akan pernah mengakhiri kemarau, tapi hujan akan menyejukannya. Maaf aku tidak bisa melengkapimu. Begitupula kau kepadaku. Karena kita tidak saling membutuhkan. Apa yang kau butuhkan tak bisa kutawarkan. Apa yang ku butuhkan tak pernah kau berikan. Maaf karena kita tidak bisa setimbang. Karena aku tak bisa menutupi kurangmu, begitu pula lebihmu tak bisa menutupi miliku. Aku dan kau sama tinggi, sama rendah pula. Tak pernah bisa seimbang. Lalu bingung dengan persamaan. Kau dan aku identik. Dalam raga yang terpisah. Coba jabarkan padaku, bagaimana hadirku mempengaruhimu? Aku ada maupun tidak, hidupmu rasanya sama saja. Begitupun aku. Untukmu dan untukku, dunia namp

The Notes of Dylan (Chapter 2 ; Liva, Chapter 3; epilog)

Liva Lima   bulan lebih gue hidup dengan Liva. Dia masuk ke hidup gue tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hidup gue berubah total, segalanya menjadi tentang ‘Liva, Liva, Liva’. Dia nggak cuma mengubah persepsi gue mengenai arti sebuah pelukan dan berceramah panjang lebar mengenai bahayanya merokok dan pergaulan bebas tapi dia merubah segalanya. Dia selalu memberikan alasan yang jelas dan konkrit. Jenis alasan yang bisa langsung masuk ke otak gue dan gue terima dengan baik. Dia nggak pernah memaksa gue. Tapi setiap kali dia mengungkapkan sesuatu, kata-kata itu selalu saja berhasil menjadi doktrin di kehidupan gue besoknya. Dia berpotensi jadi ahli hipnotis termahsyur di dunia. Dia menunjukan gue tentang dunia. Dia membuat gue menyadari kalau selama ini gue nggak mengenal tuhan gue. Bahkan dia menjelaskan kalau cafein cuma membuat gue menunda tidur padahal tidur adalah kenikmatan dan kebutuhan yang nggak seharusnya ditunda. Dia seharusnya hadir dihidup gue dari dulu. Seharus

The Notes of Dylan (Chapter 1; prolog)

    Untuk pak awe, Tugasnya udah saya kumpulin ya pak   Prolog Suatu hari, aku fikir Ketika aku melihatmu pergi, aku tak akan melihatmu kembali. Suasana di Audiotarium kali ini sama dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Setumpuk penonton terus-menerus meneriaki nama gue tanpa suatu alasan jelas. Gue heran, apa mereka nggak takut pita suara mereka putus? Sejujurnya, suara teriakan itu cuma angin lalu buat gue. Gue disini untuk sebuah alasan jelas yang klasik; profesionalitas dan uang. Gue sendiri nggak pernah merasa punya sesuatu yang precious . Kenyataan bahwa wajah gue cuma wajah oriental asli produk Indonesia nggak pernah membuat gue merasa istimewa. Gue nggak seganteng cowok-cowok Indo beralis tebel yang fans nya sanggup bikin negara sendiri. At least , gue cuma seorang cowok dengan level kegantengan middle yang punya peruntungan baik. Betapa heraannya gue ketika tawaran job dateng terus-terusan dan gue terpaksa mencari seorang manager