Posts

Showing posts from March, 2017

Bersyukur Malam Ini

Malam lalu angkasa tak bersahabat Dilepaskannya aku terlelap Dengan perasaan separuh resah Separuh lagi dipaksa rela Gegap gempita Oh, mungkinkah aku sudah cinta? Pertanda buruk atau baik? Aku hanya ingin mengikuti larik-larik Dan puisi cinta secarik Berlari-lari tetapi seperti menari Mungkin hanya aku dan penggalan imajinasi Tak perlu kau paham mengapa diksi ini tersusun Dan aku cemburu Pada ceritamu yang berlalu Ketika dulu tidak ada aku Atau ada tapi belum untukmu Dan hari ini segalanya serba terlanjur Mungkin aku perlu belajar bersyukur Sekarang disini Dibawah langit yang membelah dan hujan membanjiri Pada kekhawatiran yang lalu belum berakhir Tetapi aku tahu persis Seperti juga kamu tahu pasti Bahwa kita sama-sama kini Dan kemarin sudah selesai dijilid. Malam ini semoga angksa lebih damai Dilepaskannya aku terlelap sendiri Dengan kepala dipenuhi persepsi Dari jauh kudengar kamu bersenandung Samar-samar tetapi hal

Maaf, Ibu!

Secangkir kopi barangkali bisa mengobati kantukmu, sehingga malam berlarut dan kamu tetap terjaga menjaga bulan. Tetapi apa yang bisa membuatmu terjaga dari kesepian? Diksi yang maknanya selalu lebih dari sekedar kumpulan huruf saja. Yang dapat membuat seorang gadis meregang nyawa di jembatan, juga seorang ibu, menyibukkan diri dan menghindari kedua mata anaknya setiap hari.                   Ibu.                   Ibuku wanita yang tidak pernah kenal lelah. Wanita yang membuat aku tidak sempat berpikir untuk mencintai gadis lain karena aku begitu mencintainya. Karena dia ibuku, ibuku yang dibodohi kesepian. Ibuku yang ingin aku selamatkan kebahagiannya agar setidaknya senyum itu masih bisa dia bagikan kepada anaknya, kepadaku.                   Aku menunggunya setiap pagi di meja makan, bangun lebih pagi agar bisa menikmati sarapan 5 menit sekedar membicarakan cuaca dengannya. Ingin menatap perempuan yang menyimpan semua kepahitan itu untuk dirinya sendiri, padahal aku tidak