Posts

Showing posts from 2018

Pamit

Aku masih larut menatapi jendela dan langit gelap dengan rasa yang sama seperti dua pekan lalu. Orang-orang takut aku hilang waras karena aku terdiam dan termenung walau air mata tidak berjatuhan dari pelupuk mata. Tidak ada gunanya, karena semua air mata itu juga tidak akan membuatmu kembali. Hanya aku tidak tahu, bahwa ternyata melepaskanmu sesulit ini, dan aku harus melakukannya walau sebagian diriku tidak terima. Masih basah dalam ingatan ketika langit malam sesendu kali ini, kala hujan turut merintik dibalik matamu. Jendela memberi mataku pemandangan kota yang ramai dengan lampu dan harapan yang berangsur-angsur surut. Kau merunduk, menyandarkan keningmu di bahuku, dan serta-merta bahu ini menopang seluruh beban yang memelukmu dengan mesra. Tanganmu perlahan merenggut seluruh tubuhku, seolah hanya milikmu, bergegas merengkuhnya kedalam hangat wangi tubuhmu yang belum dibasuh mandi sore ini. Perlahan wajahmu mengangkat, menatap mataku dengan cemas, kemudian menutupnya denga

Antara

Ketika kamu membicarakan pantai, Kamu seringkali lupa membicarakan ombak. Seperti aku diujung kakimu, Berjalan sebagai bayangan. Ketika kamu melihat hujan, Kamu mengharapkan pelangi, Tetapi badai yang kemudian datang. Seperti kamu diujung pintaku, Walaupun bukan bahagia, Tetapi bagian dalam doaku. Kamu selalu bertanya mengapa aku cemas dan takut, Karena kamu meminta komitmen tetapi selalu membuatku meragu, Jika orang lain masih menjadi prioritasmu, Biarkan aku menjadi bagian yang tidak penting saja bagi hidupmu. Karena aku ingin dipertimbangkan, bukan dikesampingkan. Bagaimana jika sebenarnya aku ingin mencintaimu, tetapi benar-benar tidak mampu. Karena aku takut, Kamu selalu tertutup, Ini jalan buntu. Dan aku, bahkan tidak menemukan jalan untuk kabur. v Ketika kamu membicarakan pantai, Kamu seringkali lupa membicarakan ombak. Seperti aku diujung kakimu, Berjalan sebagai bayangan. Ketika kamu melihat hujan, Kamu me

Badain Tuan (Belum) Berlalu

Badai Tuan Belum Berlalu Tuan, Pagi ini rupanya saya terbangun dengan catatan kecil di sebelah tempat tidur yang harus saya baca dengan penuh rasa ikhlas. Kalau Anda mengatakannya semalam, setidaknya saya akan terjaga lebih lama. Tapi tidak apa-apa, kalau memang ini membuat anda merasa lebih nyaman. Tuan, Saya pikir kita akan berlayar setidaknya sampai dermaga terdekat, meskipun lautnya dangkal dan kapal akan rusak. Angin mendorong layar, sementara kita menikmati pemandangan senja berdua sambil membagi sepotong roti. Perbekalan yang tidak seberapa, dibandingkan perjalanan yang kita tempuh hingga membawa kita disini. Tuan, Saya tahu betapa Anda tidak benar-benar menikmati perjalanan ini. Anda menginginkan kapal yang lebih besar, dengan ombak yang lebih dahsyat, menghadapi perompak, dan pulau harta karun yang menunggu diujung teropong. Anda menginginkan perjalanan selamanya, sementara saya hanya bisa menjanjikan dermaga terjauh. Tuan, Saya pikir setidaknya

Malaikat

Sejak aku melihatnya di pagi yang berembun itu, sedang duduk berbicara dengan angin, aku selalu bertanya-tanya, mungkinkah tuhan marah padanya sehingga dia dilahirkan di bumi. Aku membayangkan tawar-menawarnya dengan tuhan sebelum dia pada akhirnya berakhir dititipkan di rahim seorang wanita yang lama mendambakan anak gadis. Barangkali ketika tuhan hendak menciptakan sayap di punggungnya dia justru mengelak, “aku tidak menginginkan sayap, aku ingin tertidur menghadap bintang-bintang.” Maka tuhan uraikan sayap itu lagi, melepaskannya perlahan-lahan agar tidak melukai punggungnya. Melipatnya lagi kemudian menyimpannya. Ketika tuhan hendak menempatkannya di Surga dia justru membuat alasan, “Aku ingin berjalan di atas tanah.” Maka tuhan tiupkan ruh nya dari segumpal daging dan darah, dan dikirimkannya ke dataran yang gersang ini, untuk menemui seorang pemuda seperti aku, yang justru kehilangan diri. Setiap kali kuceritakan padanya mengenai bayanganku tentang tawar-menawarnya d