Bertahan

Kata orang, hidup itu dijalani. Bagiku, lain cerita, sebab hidup bagiku adalah multiple choice question, yang jawabannya selalu lebih rumit dari pertanyaannya sendiri. Sementara soalnya tidak pernah bisa dipesan, ada begitu saja dan mau tidak mau harus dijawab. Seperti setiap kali aku melihatnya, dan luka itu masih terasa nyeri di dada, mengapa harus orang lain yang menjadi alasan dia tertawa? Sementara aku bisa mengupayakannya lebih baik. Aku pernah melakukannya, aku pernah mengusahakannya, tetapi mengapa bagi dia tidak cukup?
Aku ingin merebutnya kembali, aku ingin memaksanya disini, dulu aku melakukannya entah berapa kali jumlahnya, sampai aku lagi-lagi sadar, untuk apa? Sebab tidak lagi ada gunanya jika aku tidak mampu membuatnya bahagia. Tidak lagi ada esensinya jika bertahan saja dia tidak mau, mengapa aku harus memperjuangkannya? Tidak lagi ada artinya.
Tapi dia perlu tahu, dulu aku bahagia, ketika bersamanya.
Tapi dia juga perlu tahu, meskipun dia berlalu, aku masih sangat mencintainya.
Aku pernah sekali, saking tidak tahannya, akhirnya nekat bertanya pada ibuku, ketika malam dingin menggigil, dan aku duduk di ruang tv, menyedu teh berdua dengan ibu. “Boleh tidak sih, aku membenci orang yang aku sayangi?”
Ibu menatapku, seperti bisa membaca arah pembicaraan anak laki-lakinya yang mulai dewasa, sampai-sampai memutuskan untuk menunda menyeruput teh nya. “Untuk apa? Memangnya dengan membencinya, kamu membuatnya bahagia? Memangnya dengan membencinya, kamu jadi bahagia?”
Aku mengangkat bahu, “benar tidak sih bu, kalau aku berusaha menghapusnya dari hidupku?”
“Bagaimana bisa? Sudah tertulis, ya selamanya dia akan berada disana. Jangan dihapus, sayang!  Setidaknya singgah sebentar, pernah menuntaskan rasa inginmu. Biarkan saja dia disana, di lembaran itu, ikhlaskan dia disana, berikan dia ruang disana, sampai kamu tidak lagi butuh menghapusnya sekedar bisa merelakannya.”
“Aku masih mencintainya, Bu”
Ibu tersenyum, “Memangnya cinta bisa dipesan? Kalau cinta bisa dipesan, kamu sekarang tidak lagi memikirkannya. Bisa jadi dia tidak pernah minta pada tuhan supaya bisa mencintai laki-laki itu, tapi kalau memang jalannya harus begitu, kita mau berkehendak apa? Kadangkala mencintai itu bukan dengan memiliki, tetapi merelakan dia pergi dan bahagia sendiri. Dia salah apa memangnya sampai harus kamu salah-salahkan begini?”
Ibuku manis tetapi realistis. Apa adanya dan mengingatkanku lagi kepadanya. Sama-sama keras kepala dan tidak suka dibantah. Tiap malam kata-kata itu menjadi pengantarku sebelum tidur, ibu benar, tetapi sulit sekali menerapkannya. Mengapa di penghujung jenuh itu dia menyerah, dia tidak lagi mau mendengarku merajuk, mengapa?
Beberapa hari setelah itu, aku tidak sengaja berpapasan dengannya di sebuah toko musik tua, dia memang gemar mengoleksi kaset meskipun sekarang sudah 2017. Aku ingin berlalu tanpa menyapanya, tetapi wajahnya tetap saja membuat senyumku mengembang, meskipun aku tidak menginginkannya. Jadi, aku ajak dia dulu makan kwetiauw goreng di depan toko. Ah astaga! Betapa aku masih sangat merindukannya.
Aku tidak tahan untuk tidak mempertanyakan hal yang sama padanya, “Boleh tidak sih aku membencimu?”
Dia tertegun sebentar, tetapi kemudian melanjutkan makan dengan tenang, “memangnya kenapa tidak boleh?” dia diam sebentar, nampak menimbang-nimbang, “tetapi apa harus ya?”
Aku diam, tidak menjawab. Karena kata ibu tidak boleh, dan seharusnya memang tidak. Kemudian aku melanjutkan pertanyaanku, “benar tidak sih kalau aku berusaha menghapusmu dari hidupku?”
Dia lebih tertegun lagi, ada sekelebat perasaan kaget berjalan di matanya. Dia menggigit bibirnya sebentar, “atas pertimbangan apa aku bisa menilai itu benar dan salah? Tetapi yang ingin aku tanyakan lagi, apa benar-benar harus? Tidak ada yang menyakitiku seperti kamu, tetapi aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menghapusmu dari hidupku. Bukan karena aku masih mencintaimu, tetapi karena aku mensyukurinya. Kalau kamu adalah sebuah kesalahan, itu adalah sebuah kesalahan yang manis. Kalau kamu adalah sebuah persinggahan, itu adalah sebuah persinggahan yang nyaman.” Kemudian mata itu menatapku dengan tatapan yang tangguh seperti biasanya. “aku mencintainya, tetapi bagaimana mungkin aku berusaha membenci dan menghapus seseorang yang dulu, jelas-jelas, pernah aku cintai. Tidak mungkin, terlalu naif!” dia tersenyum.
“Bagaimana jika aku masih mencintaimu?”
Dia nampaknya mulai kehilangan selera, jadi dia meletakan sendok dan garpunya, mengelap bibirnya dengan tisu, kemudian menatapku lagi, “pernah tidak berpikir, terkadang tuhan menyelesaikan sebuah hubungan untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi kepada kita. Mungkin aku bukanlah sebuah kebaikan, sehingga perpisahan ini bisa jadi menyelamatkamu. Atau mungkin kau adalah sebuah kebaikan, tetapi bukan untuk aku.”
Dan menit-menit berikutnya yang begitu singkat, dia hanya menungguku menyelesaikan makananku. Menatapi gerimis dengan wajah cemas, barangkali merasa bersalah karena harus datang kesini dan berakhir dengan perbincangan ini, denganku. Aku tidak merasa diselamatkan tuhan. Tetapi mungkin dia benar, meskipun aku gagal paham.
Sebelum kita berpisah, aku berlama-lama berdiri dihadapannya, hanya menatapinya agar aku ingat rasanya ditatap dengan kedua bola mata itu. “Aku merelakanmu.”
Dia mengangkat wajahnya, tersenyum. Beginikah rasanya merelakan? Sakit itu berdampingan dengan perasan lega, bahwa orang yang begitu kamu cintai bahagia setelah dibebaskan. Sudah lamakah dia menginginkan ini?
“Tetapi aku masih mencintaimu. Sekedar memberi tahumu, jika suatu hari hubunganmu itu tidak berjalan dengan baik, aku masih ada disini. Aku tidak pernah kemana-mana, dan tidak akan pernah kemana-mana.”
Kemudian aku pergi meninggalnya, menembus gerimis dengan tubuh dan hati yang kedinginan. Aku akan menetap. Aku akan disini, dititik ini, selamanya. Mengulum rindu, kecewa, sakit hati, tetapi kalau dia bahagia, aku akan jadi bahagia. Dan aku mencintainya, aku hanya takjub mengapa hal itu tidak bisa berubah.
Aku bertahan,

walaupun aku sendirian.

Comments

Popular posts from this blog

Hanya Sekedar

Maaf