Bertemu (Dia) Kamu - Three In One Project
Untuk seseorang yang tidak mungkin
kusebutkan namanya...
Kala itu langit berdarah mencipratkan semburat merah jambu di angkasa.
Menyongsong parade kepulangan siang dan berpesta menyambut sang malam. Aku yang
terdampar sendiri di sini, dengan pesawat kelas ekonomi yang jauh melayang dari
ibu kota. Menapaki keramaian Yogyakarta yang mulai dikepung alunan musik dan
nyanyian di tepi jalan. Lama rasanya kebisingan bisa terasa menenangkan, juga
menyenangkan.
"Karina..." kemudian suara itu menyapaku dari belakang.
Seolah sedang menepuk punggungku dengan kehangatan. Aku menoleh. Aku hanya
bisa tersenyum. Melihat wajah nakal jenaka itu tersenyum lagi. Raut jahil yang
kembali dapat kutatap langsung dengan kedua bola mataku.
"Adrian..."
Aku tidak akan kembali di tanah ramai ini jika bukan karenamu. Jika bukan
karena pertemuan tidak sengaja kita tepat setahun silam ketika kau menanyakan
waktu di bandara Adi Sucipto, lengkap dengan pakaian pilotmu. Tidak jika bukan
karena kita tidak sengaja saling menyenggol di satu tempat wisata ramai yang
mulai pelit oksigen. Tidak jika bukan karenamu yang mau mengajakku bicara di
sebuah angkringan murah berjam-jam lamanya. Tidak jika bukan karena berbagai
macam postcard yang selalu mampir ke rumahku
atas nama dirimu. Tidak jika bukan karenamu.
"Aku udah nemu bukunya.
Bagus, tapi butuh puluhan kali baca demi ngerti
maksudnya si Gibran. Demi satu buku aja,
perjuangannya berlipat-lipat," ceritamu antusias.
Kembali lagi kita di angkringan ini. Kamu bawakan aku kenangan lama,
kemudian kamu tawarkan lagi yang baru.
"Aku udah bilang kan, kalau emang kamu cuma suka buku sejarah
pesawat, ya nggak usah maksa baca
prosa Kahlil Gibran," kataku tertawa.
Kamu justru cengengesan sendiri.
"Tapi ada yang aku hafal. Sebentar..." kemudian kamu memejamkan mata,
nampak berpikir keras. "Hatiku akan menjadi tempat tinggal keanggunanmu."
"Serta dadaku akan menjadi kubur bagi penderitaanmu," aku
melanjutkan.
Kamu tersenyum. Hangat dan teduh. "Aku akan selalu
mencintaimu..."
"Sebagaimana padang rumput yang luas mencintai musim bunga,"
kulanjutkan lagi. Kamu hanya menyeruput wedang jahe dari gelas beling. Tetapi
aku bisa melihat sudut bibirmu tersenyum.
Kita menghabiskan setengah malam di sana. Cinderella saja sudah pulang karena
keajaiban mantranya sudah ditelan angka dua belas. Para pelayan juga sudah
mengelap dahi kelelahan. Tapi kamu dan aku, kita masih duduk di sini dan
tertawa terpingkal-pingkal. Seolah kebahagiaan ini akan dibendung oleh malam
untuk selama-lamanya. Kamu membuat waktu lumat di sekelilingku.
"Udah pagi..." katamu
tersenyum jahil. Terlihat kamu menantangku untuk duduk disini sampai matahari
lebih merdeka. Jam dinding sudah menunjukan pukul dua dini hari.
"Kita pulang," aku kemudian bangkit berdiri. Kamu menatapku
sebentar, tetapi kemudian ikut berdiri. Kita berjalan keluar, berusaha
menyambut tiga perempat malam. Tetapi kemudian halilintar pecah di langit.
Teriak-teriak mengganggu penduduk bumi. Hujan kemudian turun ikut-ikut seolah
tidak mau kalah pamor.
Kamu melepaskan jaketmu kemudian mengizinkan aku berteduh di bawahnya
bersama. "Aku ini percikan benang-benang perak yang dihamburkan dari surga
oleh dewa-dewa," kamu memulai lagi. Melirikku dari sudut matamu dan kita
tertawa bersama. "Kamu tidak mau melanjutkannya?" tanyamu
memaksa.
Aku tersenyum, "Alam kemudian meraupku bagai menyirami ladang dan
lembahnya."
Kamu tersenyum menang, "Aku ini taburan mutiara yang dipetik dari
mahkota raja Ishtar."
"Oleh puteri Fajar, untuk menghiasi taman-taman Mayapada."
"Aku akan selalu mencintaimu..."
Aku memukul bahumu, tertawa. "Apa sih, itu udah beda prosa." Kamu hanya cekikikan tidak peduli.
Lalu kamu menatapku sambil tersenyum, "Aku akan selalu mencintaimu... Aku
ingin belajar mencintaimu dari hujan. Biar dia harus terbang melayang dari
ketinggian, kemudian dia jatuh tersakiti dan lenyap, dia tetap memilih jatuh
kembali ke bumi."
"Apa sih, gak jelas."
"Aku serius, Karina," katamu masih sambil tertawa-tawa. Aku
berusaha ikut tertawa. Kamu tidak mengerti jantung ini sedang loncat-loncat
karena berdegup tidak karuan. Kamu membuat aku melayang, di sisi lain aku tidak
bisa memutuskan kamu cukup serius dengan ucapanmu atau tidak.
"Kita pacaran aja
gimana?" tanyamu lagi, masih tertawa. Aku masih rentan dengan hal itu. Aku
masih terjebak di ketakutan yang berasal dari masa lalu. Aku takut, aku belum
siap.
Kita berjalan di bawah gerimis yang semakin membesar menuju hotelku. Kamu
bahkan mengantarku sampai ke depan pintu kamar. Kamu basah kuyup, karena jaket
yang kamu lebarkan ternyata hanya menutupi sebagian dirimu. "Have a nice sleep, sayang," katamu.
Aku tersipu. Tapi sungguh aku hanya bisa merengut dan memasang wajah sebal.
"Apaan sih, lebay. Nggak enak didengernya tahu nggak."
"Bukannya kita udah jadian?"
katamu sambil tertawa-tawa tidak jelas. Bercanda, atau serius. Entahlah...
"Ya udah balik sana gih, besok tugas juga."
"Iya, kamu juga istirahat yang cukup, supaya besok nggak kecapean nemenin aku tugas."
"Adrian, apa sih..." Aku
mendorongmu, tetapi kamu justru menangkap tanganku, kemudian menatap mataku.
Ada satu, dua, tiga detik.
"Karina, sekarang aku serius. Aku serius sama ucapanku, aku nggak lagi main-main." Kemudian
matamu menusuk langsung ke retina mataku. Dengan sorot mata yang runcing dan
tajam.
"Aku cinta kamu," katamu begitu saja.
Aku hanya sanggup menaikan alis dan menganga tidak percaya. Menunggumu
menyemburkan tawa seperti biasanya.
"Buat apa semua postcard
yang selalu aku kirim ke kamu, supaya kamu tahu aku di mana dan tahu kalau aku
akan selalu inget kamu. Menurut kamu,
buat apa aku sering tiba-tiba telfon kamu dan nanya kamu di mana, supaya aku tahu
kamu baik-baik aja. Menurut kamu, buat apa aku sering kasih kamu emot smile sebelum jam tidur kamu,
supaya kamu tahu kalau kamu adalah alasan aku tersenyum."
"Adrian..." Sayangnya, kamu serius.
"Dan untuk apa aku ngajak
kamu ketemuan di Yogya? Sedangkan aku bisa terbang langsung ke Jakarta, karena
aku mau kamu inget, hari ini genap
satu tahun kita kenal. Supaya kamu tahu di tanggal yang sama, satu tahun yang
lalu, aku pada akhirnya jatuh cinta pada seorang gadis yang memberitahuku
tentang waktu, kemudian menumpahkan coffeenya
di sepatu dan tas ku."
Hening. Tidak ada yang mau bicara. Atau sebenarnya, tidak ada yang bisa bicara.
Kita hanya saling berdiskusi dengan angin dan bercakap dengan waktu.
"Adrian, aku..."
"Aku mencintaimu, Karin." Kamu mengulang deklarasi itu sekali
lagi.
"Aku terbang ke Jakarta besok. Aku udah siapin seat business untuk kamu. Kamu yang jawab, Karin. Pilihan kamu juga
kalau kamu mau tetap di sini dan mengakhiri semuanya di sini juga."
Kemudian kamu tersenyum dan meninggalkan aku terpojok di sana seorang diri.
Bagaimana jika sebenarnya aku ingin mengatakan "iya" tetapi hatiku
masih merintih kesakitan dan otakku mengingatkanku akan kejadian yang dulu? Aku
tidak tahu, Adrian.
***
Wajahmu secerah mentari di luar sewaktu kamu menangkap sosokku keluar dari
lift sambil menarik koper. Aku bisa melihat mentari bersinar dan awan yang
sedang menari membuat perayaan. 'Selamat
Adrian, kamu menang' gumamku dalam hati.
Kamu memenangkan pertarungan sengit yang menghantam kepalaku semalaman. Aku
tahu luka lama itu masih basah, tetapi aku tidak tahu kapan dia akan mengering.
Kamu barangkali adalah obat yang sengaja Tuhan jatuhkan di hadapanku. Aku harus
bergerak, harus jalan, harus pindah. Moving
on. Aku menyerahkan masa laluku yang kelabu itu ke tangan kenangan dan
berlari ke arahmu.
Aku tidak mau bercerita. Aku tidak mau membahasnya. Mengingatnya saja
membuatku butuh tabung oksigen. "Aku tahu kamu pasti memilih untuk pulang,"
katamu jenaka, di antrian bagasi di bandara.
"Jangan kepedean!" timpalku.
Kamu hanya tertawa "tapi terbuktikan" tidak peduli dengan
sekitar. "Makasih ya, udah milih
untuk jatuh cinta."
Aku tersenyum. "Sewaktu kamu jatuh cinta, kamu menyerahkan semuanya
pada cinta. Kamu menyerahkan masa lalu, kamu menyerahkan masa depan. Entah cinta
mau memberikan kebahagiaan atau kepedihan, itu terserah dia. Kamu hanya
pengemis yang menunggu untuk diberi makan. Emangnya kamu siap?"
"Aku bahkan udah ngemis cinta kamu," kamu tersenyum lagi.
Aku tidak berhenti memikirkan perkataanku tersendiri. Jika kamu siap,
apakah aku benar-benar sudah siap? Atau sebenarnya akulah satu-satunya yang
tidak siap? Aku tidak mendengar suara tekad itu bergemuruh di dalam dadaku.
Justru keraguan yang keras menuntut masa tenggang. Aku berjalan di lorong yang
membawaku ke badan pesawat dengan gontai. Mataku hanya menatap jalanan di depan
karena otakku sedang sibuk.
"Karina..."
Sebuah suara tiba-tiba menggema menyengatku. Langsung menyetrum sekujur
tubuhku. Suara yang entah berapa lama hilang dari peredaran. Suara yang menusuk
lukaku lagi dan membedahnya sampai lebar. Suara yang masih berhutang janji,
janji untuk kembali.
"Keenan..."
Nama itu lama luput dari bibirku. Nama yang menciptakan sejuta kenangan dan
membuatku menunggu sampai berlumut. Nama yang semalam kuputuskan untuk
kutinggalkan. Untuk tak pernah kusebut lagi dan kudoakan lagi.
"Apa kabar, Karina?" Kemudian dia tersenyum.
Aku berusaha membayangkan senyumanmu, Adrian. Tawamu, prosa yang kau
bacakan, genggamanmu, kecupanmu, segalanya. Tetapi mengapa senyuman Keenan
begitu indah sampai-sampai aku lupa caranya mengingatmu.
"Aku tidak menyangka kita berjumpa lagi, di sini, sore ini..."
sambungnya lagi
Aku juga tidak percaya. Jika perjumpaanku dan kamu, Adrian, adalah
penyembuh, maka aku sebut apa perjumpaanku dengan Keenan? Jika perjumpaanku
denganmu, Adrian, adalah suatu kebaikan Tuhan, lantas kusebut apa pertemuanku
dengan satu-satunya orang yang membuatku rela menunggu?
Aku menunggunya, Adrian. Aku kira dia tidak akan pernah datang. Aku kira
kamu datang untuk menggantikan kekosongan yang dia sisakan. Tetapi kemudian dia
datang di saat yang sama. Lalu, aku harus bagaimana?
Terlebih lagi, jika aku harus menghabiskan empat puluh lima menit ke depan
duduk di sebelahnya.
Sedangkan kau di cabin depan,
membawaku dan dia terbang, untuk menikmati langit senja yang bertransformasi
jadi malam.
Siapapun, tolong aku!
***
Tentang Penulis:
Desva Hikmah Herzani, lahir di Jakarta pada tanggal 19
Desember 1998. Gadis manis ini memiliki satu kegemaran yang pasti, yaitu
menulis, menulis, dan menulis. Cita-citanya menerbitkan novel suatu hari nanti.
Selain itu, Desva juga memiliki berbagai hobi, antara lain makan, ngemil, baca
novel, nonton bioskop, dan berkhayal.
Comments
Post a Comment