Maaf, Ibu!
Secangkir kopi barangkali bisa mengobati kantukmu, sehingga malam
berlarut dan kamu tetap terjaga menjaga bulan. Tetapi apa yang bisa membuatmu
terjaga dari kesepian? Diksi yang maknanya selalu lebih dari sekedar kumpulan
huruf saja. Yang dapat membuat seorang gadis meregang nyawa di jembatan, juga
seorang ibu, menyibukkan diri dan menghindari kedua mata anaknya setiap hari.
Ibu.
Ibuku wanita yang tidak pernah
kenal lelah. Wanita yang membuat aku tidak sempat berpikir untuk mencintai
gadis lain karena aku begitu mencintainya. Karena dia ibuku, ibuku yang
dibodohi kesepian. Ibuku yang ingin aku selamatkan kebahagiannya agar
setidaknya senyum itu masih bisa dia bagikan kepada anaknya, kepadaku.
Aku menunggunya setiap pagi di
meja makan, bangun lebih pagi agar bisa menikmati sarapan 5 menit sekedar
membicarakan cuaca dengannya. Ingin menatap perempuan yang menyimpan semua
kepahitan itu untuk dirinya sendiri, padahal aku tidak pernah keberatan jika
dibagi separuhnya, bahkan kalau perlu seluruhnya. Tidak mudah menjadi single parent, tidak juga untuk ibuku,
tetapi aku hanya merindukan dirinya, aku hanya menginginkan sedikit waktunya
untuk disisihkan. Tetapi dia akan keluar kamar dengan setumpukan berkas di
tangannya, dengan beberapa tas yang harus dia bawa, terburu-buru mengenakan heels nya, kemudian menatapku dengan
tatapan bersalah yang amat-sangat tidak enak, “Ibu hari ini tidak bisa ikut
sarapan, kamu sarapan sendiri ya”
Kalimat itu, menjadi kalimat
yang rutin menyapaku di pagi hari hampir setiap hari selama hampir 19 tahun aku
hidup. Tidak sih, dulu ibu tidak
terlalu sibuk, masih suka menyempatkan sabtu minggu berkebun di halaman
belakang dan membiarkanku main hujan-hujanan. Tetapi semakin lama semakin
sibuk, dan kebun belakang bukan lagi punya ibu, melainkan punya “ayah
angkatnya” si tukang kebun baru.
Dulu sewaktu aku kira-kira
berumur 7 tahun, aku meminta baby sitter
agar memandikanku lebih pagi, lalu menyiapkan dua tangkup roti isi selai strawberry di meja makan. Kemudian aku
akan turun kebawah terburu-buru, dengan tas isi 1 buku tulis dan pensil tumpul,
mengetuk-ngetuk kamar ibu dengan gaduh, “Ibu bangun! Ibu bangun! Ayo kita
sarapan dulu. Aku mau pergi ke sekolah”
Kemudian ibu membuka pintu
dengan wajah yang masih letih sisa lembur semalamnya, sudah siap dengan setelan
kerjanya, menatapku yang merajuk menarik-narik ujung rok nya, “Oriel, malaikat
kecil ibu, ibu ditunggu pak bos di kantor, nanti kalau ibu terlambat ibu
dimarahin, Oriel nggak mau kan liat ibu dimarahin? Jadi hari ini Oriel
berangkat sama pak Maman dulu ya.”
Bagiku, itu bukan pilihan, itu
sebuah paksaan, karena aku mencintai ibuku dan aku tidak mau ibuku dimarahin,
jadi aku selalu menurut. Meskipun kecewa dan sedih, meskipun merasa ditolak dan
semakin merindukannya, tetapi aku tidak mau ibuku dimarahin. Aku meminta ibu
berkali-kali mengantarku ke sekolah atau menjemputku, aku bilang kepadanya
“Kalau ibu pulang kantor, ibu jemput Oriel dong.”
Aku memanjat naik ke
pangkuannya, sekitar pukul 11 malam, aku tidak perlu kopi agar tetap terjaga
menunggunya pulang kantor demi menyampaikan harapan itu kepadanya. Aku iri
anak-anak lain ditemani ibunya, dibawakan bekal ketika istirahat dan dibantu
pakai sepatu waktu pulang sekolah, aku mau ibuku.
Ibu memelukku di dalam
pangkuannya, “Nanti ya Oriel sayang, ibu belum sempat ke sekolah, tugas ibu
banyak. Nanti kalau ibu boleh libur, ibu susul Oriel ke sekolah ya, ibu bawain ice cream oreo kesukaan Oriel. Nah,
sekarang Oriel bobo dulu, besok sekolah kan? Oriel harus sekolah yang pinter
biar nanti bisa kerja, bisa dapet uang, jadi ibu bisa istirahat dirumah.”
Jadi aku akan turun dari
pangkuannya, naik ke kamar ditemani baby
sitter ku, lalu tidur. Dalam mimpi sebelum tidur, aku mengharuskan diriku
menjadi apa yang ibu mau, agar ibu bisa dirumah dan sarapan bareng. Dalam mimpi
sebelum tidur, aku membayangkan ibu mengantar jemputku ke sekolah, menemaniku,
membawakan ice cream oreo, yang pada
akhirnya aku sadari setelah tahun lewat dan aku semakin dewasa, bahwa hari itu
ternyata tidak pernah terjadi, dan barangkali tidak akan pernah terjadi.
Ketika umurku sekitar 12, aku
menelfonnya di sore hari, sekitar pukul 4 sore karena aku beberapa kali
menunggunya sampai larut dan pada akhirnya ketiduran, lalu di keesokan paginya,
ibu sudah berangkat terlebih dahulu, bahkan lebih dulu daripada matahari
terbit. Rumahku mirip rumah Barbie, banyak orang tetapi tidak ada kehidupannya.
“Ibu, Oriel mau UN’
“Astaga Oriel, memangnya kamu
sekarang kelas 6 ya?”
Aku tercengang sebentar
mendengarkan pertanyaannya. Aku pikir orang-orang hanya lupa tanggal dan hari,
hanya lupa dimana meletakan remot TV terakhir kali, aku pikir ibuku hanya lupa
sarapan dan lupa dimana meletakan pensil alisnya, tetapi ibuku bahkan bisa lupa
anaknya sekarang kelas berapa. Semoga itu hal yang biasa terjadi pada ibu-ibu.
“Iya bu”
“Yaudah nanti ibu carikan guru
privat ya. Oriel jadi mau les piano jugakan? Oriel bisanya hari apa? Nanti biar
ibu kabari gurunya. Kamu SMS aja ya, ibu buru-buru harus meeting. See you at home Oriel, have a nice day.”
Kemudian sambungan telepon dimatikan begitu saja, tanpa menunggu kurespon
sepatah katapun. Semoga ibu juga tidak lupa, bahwa anaknya bukan gagu, dan
semoga ibu sadar bahwa meskipun kami satu rumah, tetapi kami hampir tidak
pernah bertemu.
Tetapi aku mencintainya. Ibu
kadangkala mengirimkan pesan singkat seperti, “Maaf ibu jarang di rumah, ibu
sedang sibuk sekali mengurus pekerjaan. Selai strawberry dan roti nya sudah ibu stock, kalau mau dibuatkan bekal, minta bibi buatkan dari malamnya
biar besok paginya tidak terlambat. Belajarnya ditambah ya Oriel, buat ibu
bangga dengan nilai kamu. Pelajaran piano nya juga di latih ya di rumah, kan
sudah ibu belikan piano baru. Semangat anak pintar!”
Jadi aku tidak pernah sampai
hati mengecewakannya. Aku mati-matian memenuhi semua keinginannya. Semoga
memenuhi keinginannya membuatnya mau meluangkan waktu setidaknya sehari saja,
duduk bersantai di rumah. Aku berjuang mati-matian mendapakan nilai bagus.
Supaya ibu bangga dan beberapa rupiah yang dia bayarkan untuk mengirim sms menyemangatiku
tidaklah sia-sia. Aku ingin dia tahu bahwa aku mencintainya dan itu berarti aku
akan terus berusaha membahagiakannya.
Beberapa bulan kemudian,
ketika waktu wisuda tiba, ibu mengagetkanku dengan setelan kerja terbaik yang
dia kenakan di pagi hari sementara aku sudah mengenakan baju toga. Aku pikir,
ibu akan mengenakan kebaya dan kain batik, menyanggul rambutnya, dan memarahiku
karena terlambat bangun di hari wisudaku. Tetapi kemudian ibu tersenyum
kepadaku, berusa menghindari mataku semampu yang Ia bisa, “Ibu pagi ini meeting dulu ya Oriel, habis dari kantor
ibu langsung kesana, janji!”
Ibuku pergi seperti melarikan
diri. Aku tidak bisa membantah dan menggantungkan harapan pada janjinya. Ketika
wisuda berlangsung, aku dipanggil naik ke panggung karena aku mendapatkan
perolehan nilai terbaik, teman-temanku yang lain didampingi orangtua mereka,
berjalan bergandengan menuju panggung, tetapi aku berjalan sendirian, dengan
perasaan teramat sedih dan merasa dibuang. Aku ingat wali kelasku waktu itu menyambutku,
menemaniku di depan, berusaha sebisa mungkin menggantikan peran ibuku, tetapi
mana bisa? Aku menginginkan ibuku!
Ketika aku akan turun
panggung, aku baru melihat ibu memasuki ruangan dengan langkah terburu-buru,
bahkan belum mengganti setelan kerjanya dengan kebaya. Ibu berlutut membuka
kedua tangannya untuk menyambutku dan menarikku ke dalam pelukannya. Pelukannya
yang amat-sangat erat. Aku ingin marah karena ibu terlambat dan tidak pakai
kebaya, padahal hari ini anaknya wisuda. Tetapi tidak jadi, karena ketika ibu
melepaskan pelukannya, aku melihat ibu menangis, aku melihatnya menangis sambil
tersenyum.
“Oriel pintar, ibu bangga! Ibu
bahagia, ibu senang Oriel jadi juara!” ibu memelukku lagi dan aku bisa
merasakan basah air matanya di pundakku. Aku tidak jadi marah. Ibu membayarnya.
Semua usahaku selama ini dibayar dengan pelukan, pujian, dan air mata itu. Di
hari itu, aku merasa masih menjadi bagian penting di dalam hidup ibu.
Ketika umurku sekitar 14, aku
mengadakan konser bersama beberapa orang temanku. Bagiku, itu merupakan sebuah
pencapaian yang besar. Acara tersebut bahkan mengundang beberapa musisi
ternama. Aku akan bermain piano dihadapan sekitar 1000 orang secara perdana.
Aku memberikan ibu undangannya. Duduk di kursi VVIP untuk menonton anak semata
wayangnya. Aku sudah berlatih (entah berapa kali karena rasanya banyak sekali)
demi berada di panggung itu, membayangkan ibu beridiri paling depan dan
memberikan tepuk tangan sambil tersenyum bangga seperti ketika aku wisuda.
Pagi hari, aku tak bisa
menemuinya, ibuku sudah berangkat bekerja. Aku berusaha menelfonnya tetapi
tidak diangkat, mungkin ibu sedang meeting.
Siang hari aku mengirimkan beberapa pesan singkat, mengingatkan ibu jangan
lupa datang, tetapi hanya di read,
tanpa balasan apapun, nyaliku mulai mengecil, tetapi aku masih menyimpan
harapan semoga ibu datang. Ketika acara berlangsung dan aku berjalan ke tengah
panggung, menghampiri piano dengan canggung, aku masih bisa melihat seat ibu kosong. Aku masih menyimpan
harapan ibu datang terlambat. Tetapi sampai aku menyelesaikan permainan, seat itu masih tetap kosong. Ibuku tidak
datang. ibuku, satu-satunya penonton yang kuharapkan, tidak datang.
Ada pesan singkat di hp ku,
“Maaf Oriel, ibu ada meeting
mendadak. Ibu benar-benar tidak bisa datang padahal ibu sangat ingin berada
disana. Tetapi ibu yakin Oriel pasti bisa! Kalau anak ibu yang tampil, semua
orang pasti standing applause, ibu
bangga karena Oriel selalu mampu membahagiakan ibu. Maaf. “
Aku sangat ingin memaafkan.
Aku sangat ingin memaklumi dan memahami keadaannya. Tetapi mengapa rasanya
sulit? Sesulit ibu menyempatkan waktunya untuk hadir ke acara besarku. Sesulit
ibu menyampaikan permintaan maafnya lebih awal agar aku tidak berharap. Karena
tahu, pengharapan yang tidak tercapai adalah kekecewaan.
Aku tidak lagi mengharapkan
kehadiran ibuku. Aku kecewa. Aku tidak lagi berusaha menghubunginya, tidak lagi
berusaha menemuinya, tidak lagi berusaha membanggakannya. Karena untuk apa? Aku
repot sekali tetapi dia tidak mau repot-repot memberikan apresiasi kecil dan
memberikan aku penghargaan yang lain selain ucapan maaf singkatnya. Aku tidak
lagi bangun pagi menunggunya sarapan, aku tidak lagi meminta les ini-itu. Aku
berhenti bermain piano dan belajar setiap malam.
Ketika umurku sekitar 16, aku menemukan tempat dimana aku diterima.
Karena mereka bahagia ketika ada aku dan aku bahagia ketika bersama mereka.
Hidupku rasanya tidak ada beban. Pagi sampai malam nongkrong sambil menghisap
rokok. Makan bakwan berminyak dan minum nutrisari jeruk. Aku bahagia karena
setiap kali aku merasa kecewa aku bisa meluapkannya, meskipun seluruh wajahku
jadi babak belur dan berdarah-darah, jadi keesokan paginya aku akan pergi ke
sekolah terlambat agar tidak perlu bertemu ibu dan ditanya macam-macam.
Angga, teman baruku pernah bilang, “Orangtua itu emang nggak pengertian bro. senengnya nuntut mulu, gak tau apa
ya kita anak muda juga butuh hiburan. Slow
aja man, mereka juga pernah
sekita. Buktinya, nyokap lo aja bisa ngelahirin lo tanpa bapak, karena apa
coba?” kemudian dia hanya tersenyum simpul, kembali menghisap rokoknya.
Mengepulkan asapnya di udara. Membuatku berpikir kejauhan tetapi dia sepertinya
lupa dengan ucapannya bahkan semenit kemudian setelah berbicara.
Aku tidak pernah bertanya lagi perihal alasan ibu menjadi single parent. Dulu aku sering bertanya
tetapi jawabannya 1. tidak memuaskan, 2. Ibu selalu menghindarinya dan, 3. Ibu
terlihat sedih setiap kali aku mempertanyakannya. Jadi aku diam saja, tidak mau
membahasnya lagi.
Beberapa hari setelah itu, pada senin pagi yang tidak jauh berbeda dengan
sebelumya, aku tiba-tiba mendapati ibu sedang duduk berpangku dagu di meja
makan. Tatapannya mengikuti aku yang sedang menuruni tangga, firasatku tidak
enak. Ibu selalu sibuk, tetapi mengapa tiba-tiba punya waktu untuk duduk lagi
disini dan sarapan bersama? Aku hampir yakin bukan karena alasan rindu, tetapi
alasan lainnya yang tidak menyenangkan.
“Ada apa bu?” aku bertanya straight
to the point, sementara ibu hanya melirik aku sekilas, kemudian mulai
mengolesi roti tawarnya dengan selai.
Menit berlalu dan tidak ada yang bicara, “kalau ibu tiba-tiba memutuskan
untuk duduk di meja makan pada senin pagi yang sibuk, setelah sekian lama tidak
pernah begitu, berarti ada hal yang penting.” Aku mendesak.
Ibu meletakan roti dan pisau nya, menarik napas dengan berat sambil
memandangiku, “Kamu kemana aja akhir-akhir ini?”
Aku menatapnya balik, tetap sambil memakan rotiku, “memangnya ibu kemana
aja selama ini?” tanyaku balik.
“Oriel ibu bertanya! Kamu seharusnya menjawab, bukan balik bertanya!”
“kemana-mana bu, yang pasti tidak dengan ibu” aku mengangkat pundak acuh.
Ibu memijat pelipisnya, “wajah kamu kenapa bengkak? Berantem?”
Aku mengangguk, “Iya, biasa bu, namanya juga anak muda.”
“Oriel kamu akan melanjutkan les piano nya, ada bimbel 3 kali seminggu,
dan ibu kasih tambahan les berenang.”
Aku tersenyum, “terserah ibu saja, tapi aku tetap tidak akan
mengikutinya!”
“ORIEL!!” ibu membentak. Ibuku membentak.
“ibu mau marah? Selama ini aja Oriel nggak pernah marah sama ibu setiap
kali ibu nggak bisa nepatin keinginan Oriel. Ibu kemana waktu dulu Oriel
berusaha mati-matian bahagiain ibu, supaya ibu bisa punya waktu buat Oriel?”
“Oriel ibu sibuk!”
“Sama bu, sekarang juga Oriel sibuk.”
“Oriel kamu sudah dewasa kamu seharusnya-“
“Iya bu, Oriel sudah dewasa. Jadi Oriel tahu keputusan apa yang harus
Oriel ambil. Oriel memilih hal yang membuat Oriel bahagia.” Aku memotong
pembicaraan ibu.
“Kamu seharusnya menuruti ibu! Kamu itu masih anak ibu-“
“Tapi Oriel sudah lama merasa seperti tidak punya ibu.” Aku memotongnya
lagi.
Aku melihat kesedihan di matanya, sakit hati di matanya, penyesalan di
matanya. “Ibu melakukan semua ini buat kamu.”
“Iya bu nggak papa, buat siapapun itu, Oriel selalu menghargai keputusan
ibu. Ibu nggak usah merasa bersalah. Ibu aja bisa melahirkan Oriel tanpa suami,
Oriel juga bisa hidup tanpa ibu.”
Kemudian menit-menit selanjutnya seperti potongan-potongan adegan di
dalam film. Aku menarik tasku kemudian pergi meinggalkan ibu. Aku mendengar ibu
menangis di dalam dan beberapa kali meneriakkan namaku, tetapi kepalaku kalut
dan aku ingin pergi. Ingin pergi saja. Aku masih dibayangi wajahnya yang sedih.
Wajah yang amat sangat patah hati. 16 tahun aku hidup dan untuk pertama kalinya
aku melihat perempuan itu semakin menua, semakin tidak berdaya, dan dikecewakan
oleh anak laki-laki satu-satunya.
Aku kabur, tidak pulang kerumah sekitar seminggu. Menginap di rumah teman
secara nomaden. Tidak mengantifkan handphone
dan hidup tidak jelas. Tadinya aku menyusun rencana untuk hidup sendiri bila
ibu benar-benar menyerah dan tidak mencariku. Tetapi tiba-tiba ibu datang ke
rumah temanku, dengan kantung mata di wajahnya yang sangat lelah, memintaku
untuk pulang.
Aku pulang. Ibu, aku pulang!
Kemudian di keesokan paginya aku disambut dengan sebuah kejutan. Ibu
sedang berdiri di dapur, dengan daster khas ibu-ibu rumah tangga. “Oriel, ibu
siapkan nasi goreng, kamu sarapan dulu ya.”
Kemudian aku duduk di meja makan, dihidangkan sepiring nasi goreng tanpa
kecap, kesukaanku, buatan ibu selalu jadi yang terbaik. Aku tertegun, duduk di
meja makan sambil menyaksikan perempuan cantik yang mulai menua itu kerepotan
sendiri.
“Sudah disiapkan barang-barang untuk sekolahnya?”
“Sudah bu”
“Yaudah ayok kita sarapan bareng dulu” lalu ibu duduk dihadapanku dengan
sepiring nasi goreng yang sama untuk dirinya juga.
“Ibu nggak kerja?”
ibu menatapku dengan lembut, tatapan yang lama kurindukan dan selalu
membuat sepruh hati ini luluh, betapa aku sangat mencintainya, “memangnya kamu
nggak kangen sama ibu?”
“Tapikan ibu biasanya berangkat pagi.” Aku tidak mau memperjelas
jawabanku.
“Ibu sudah berhenti bekerja Oriel.”
“Bu?”
Ibu hanya menatapku dengan senyumannya yang teduh, “Ibu bekerja untuk
kamu, tetapi kalau dengan bekerja ibu harus kehilangan anak laki-laki ibu yang
paling ganteng, ibu tidak mau. Bos ibu bisa mendapatkan karyawan lain yang
dengan senang hati menggantikan posisi ibu. Tapi siapa yang akan menggantikan
posisi ibu untuk kamu?”
“Maaf, bu.”
Ibu sekilas menatapku, aku melihat matanya berkaca, kemudian dialihkannya
tatapan itu lagi, “Tidak apa-apa. Ibu sudah memutuskan juga. Selama ini ibu
kehilangan kamu dan ibu baru sadar setelah terlambat. Ibu tidak mau lebih jauh
lagi.”
“Apa bisa kalau ibu tidak bekerja?”
“Ibu masih punya tabungan, semoga cukup sampai bisa menguliahkan kamu.
Ibu sudah meberhentikan asisten rumah tagga, supir, tukang kebun, semuanya.
Sekarangkan ibu di rumah, lagipula rumah ini kecil, bisa ibu urus sendiri.”
Aku dan ibu merubah pola hidup kami. Tidak ada lagi jalan-jalan, tidak
ada lagi belanja baju baru, tidak ada sepatu mahal, hidup kami menjadi sangat
sederhana. Pergi ke mall di jatah, semuanya serba di jatah, uang jajan tidak
bisa nambah, buku tulis pakai yang lama, kaus kaki sampai melar, ke sekolah
bawa bekal, tidak lagi bisa les privat.
Tradeoff dalam hidup ternyata segalau ini. Aku tidak bisa berbuat banyak,
ibu melarangku kerja part-time
sewaktu aku mengajukan permohonan dan meminta pertimbangannya, yang di approve oleh ibu Negara hanya main piano
setiap malam minggu di sebuah café dengan gaji beberapa ratus saja, lumayan
untuk bensin motor.
Ketika umurku hampir 18, aku masuk ke sebuah universitas negeri pilihan
ibu. Supaya bayarannya tidak mahal dan kita masih bisa makan, katanya. Meskipun
tetap saja ibu harus menjual mobil dan beberapa perhiasannya. Tetapi aku tidak
pernah gagal memenuhi keinginannya. Aku tidak pernah missing grade, hampir semua mata kuliah lulus dengan nilai A. aku
bahkan lulus cumlaude sebagai salah
satu peraih nilai tertinggi. Untuk ibu, ibukku tersayang.
Ketika umurku sekitar 21, aku bisa langsung dapat pekerjaan. Aku dapat
gaji dan bisa membelikan ibu Pizza Hut. Salah satu restaurant yang sangat kami
hindari semenjak ibu berhenti bekerja, “Kalau makan itu, nanti kita nggak makan
seminggu.” Kata ibu bercanda, tetapi benar sesuai fakta.
Ibu sakit, mungkin faktor umur. Jadi aku kembali mempekerjakan asisten
rumah tangga di rumah, supaya ibu tidak perlu capek-capek nyapu rumah. Aku
menyisihkan uangku untuk membelikan ibu mobil dan supaya bisa menggaji supir,
jadi setiap kali ibu berobat, tidak perlu pakai angkot atau telepon taksi dulu.
Setiap malam jika aku pulang larut, masih ada sepiring nasi dan beberapa
lauk buatan ibu di meja makan, ada sirup di kulkas yang disiapkannya khusus
untukku. Ibu tetap memasak sendiri, itu ibukku, ibukku yang kucintai.
Kadangkala ibu terlelap di sofa dengan tv asih menyala, ketiduran, katanya.
Aku semakin sibuk, jabatanku naik dengan cepat, semakin banyak meeting, ibu sering menelfon tetapi handphone ku lebih sering tidak aktif,
aku tidak sempat menelfon balik karena jadwalku terlalu padat. Maaf, Ibu!
Pada suatu minggu pagi, ibu nampak sangat tidak sehat, dan supirku libur
setiap hari minggu. Jadi aku yang membawa ibu ke rumah sakit, dan betapa terkejutnya
aku ketika mendapati penyakit ibu yang ternyata sudah parah. Selama ini aku
hanya memberikanya semua hal yang mungkin ibu butuhkan, dari mulai biaya sampai
fasilitas, tetapi aku dimana, sebagai anak? Tinggal serumah tetapi tidak tahu
ibuku sakit parah.
Sebulan kemudian, ibu masuk ICU,
hampir seminggu tidak sadarkan diri. tetapi aku hampir tidak pernah
menjenguknya, karena jam besuknya selalu bentrok dengan jadwal meeting di kantor. Kalau aku
mengorbankan meeting, aku akan
kehilangan pekerjaan, berarti tidak bisa membayar tagihan rumah sakit ibu. Toh ada
beberapa saudara yang menjaganya di rumah sakit bila sesuatu hal terjadi.
Ketika ibu siuman, aku hanya bisa menelfonnya di sela-sela waktu
senggangku. Kemudian keesokan harinya, ibu bahkan lupa sempat bicara dengan
anaknya di telpon, kata saudaraku begitu, dia mengabariku sambil terisak-isak
menangis. Aku kerja sambil gelisah. Dua-duanya prioritas dan aku benar-benar
sulit berkorban. Ketika hari minggu akhirnya aku bisa membesuk, aku lihat ibuku
sudah sadarkan diri. Ibu menyambutku dengan kedua matanya yang menangis sedih,
tersenyum, berusaha menggapaiku.
Aku mendekatinya, tidak bisa menahan tangisan. Anak laki-laki ibi yang
cengeng, yang tidak lagi bisa terlihat sebagai seorang laki-laki kuat.
“Maaf ibu, Oriel baru bisa jenguk ibu sekarang”
Ada selang di mulutnya sehingga sulit sekali untuknya berbicara, “Nggak
apa-apa Oriel. Setidaknya kamu tahu, mengapa ibu harus meninggalkanmu terus
waktu itu.”
Aku hanya menangis di sebelahnya, memegangi tangannya, “Iya bu, Maaf!”
“keduanya prioritas, tetapi ibu memilih kamu.” Kata ibu.
Aku menemani ibu sampai jam besuk habis. Aku ingin berlama-lama disana
dan rasanya tidak ingin pergi. Aku tidak ingin pulang bahkan kehilangan selera
untuk melakukan apapun. Keesokan pagi di hari senin, tidak menyenangkan. Aku sudah
ada panggilang meeting dari pagi
sampai siang, yang berarti aku tidak bisa menjenguk ibu lagi. Meskipun ragaku
disana, tetapi aku tidak bisa fokus pada materi meeting. Aku gelisah, aku ingin menemui ibu. Meskipun meeting baru akan selesai sekitar 2 jam
kemudian, aku keluar ruangan, bilangnya permisi ke toilet, padahal nge-check handphone, ingin bicara dengan ibu, mumpung masih jam besuk.
Ada banyak sekali missed call. Dari saudaraku. Firasatku semakin tidak
enak.
Aku telfon balik. Yang menjwab menangis-nangis. Bicarapun sulit.
“Ibumu meninggal, sejak pagi tadi.”
Aku diam. Tiba-tiba dunia yang kupijaki rasanya hilang,
“Sejak pagi tadi, dia ingin mendengar suaramu sebentar, mau pamit, tetapi
tidak kuat, tiba-tiba hilang begitu saja.”
Aku tidak karuan.
Aku melarikan diri. meninggalkan meeting-ku.
Bagaimana tidak? Beberapa waktu sebelumnya aku telah meninggalkan ibuku demi meeting. Dasar bodoh! Anak tidak tahu
diri! tidak tahu berterimakasih! Tidak tahu caranya berbakti! Aku ngebut. Sekencang
yang aku mampu. Sampai disana, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak
menyalahkan diriku, melihat jasad ibu mulai membeku, tetapi cantik sambil
tersenyum.
“Maaf, Ibu!”
ibuku tidak menjawab. Aku ingin mendengarkan suaranya. Ibuku yang biasa
memasakkan nasi goreng sudah kembali ke rumah-Nya. Aku kehilangannya tanpa
pernah berterimakasih, tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal. Hanya tinggal
aku, dengan rasa bersalah yang tidak terbendung. Seumur hidupku, yang aku tahu
dia berjuang, tetapi hanya untuk akhir hayatnya, aku tidak bisa berada di
sampingnya, aku tidak bisa menenangkannya seperti dia dulu sering melakukannya
ketika mengantarkan aku tertidur.
Ibuku, ibuku sayang. Maaf, ibu!
keduanya prioritas, tetapi ibu
memilih kamu, kata Ibu. Keduanya prioritas, tetapi mengapa aku tidak mau
memilih Ibu? Mengapa aku tidak memilih orang yang mempertaruhkan
kesejahteraannya untuk menghidupi seorang anak laki-laki dan membesarkannya
sampai mapan?
Maaf, Ibu!
Dan aku masih menghabiskan hidupku untuk menyesali hal itu.
Aku menyadari bahwa kadangkala kita berusaha membahagiakan orang-orang di
sekeliling kita dengan cara yang menurut kita benar padahal sebenarnya tidaklah
benar. Apakah manusia dirancang untuk membodohi dirinya sendiri dengan
pilihan-pilihan di antara? Dan berakhir menyesal karena pilihannya adalah
salah. Karena pilihan itu dipilih berdasarkan dorongan diri yang teramat egois,
dengan mengesampingkan perasaan orang yang sebenarnya selalu mencintai. Sesulit
itu kah berusaha membahagiakan orang lain? Sehingga hasilnya salah kaprah dan
orang-orang kehilanga point sebenarnya?
Atau sebenarnya, kita sendiri yang kehilangan point itu?
Secangkir kopi barangkali bisa mengobati kantukmu, sehingga malam
berlarut dan kamu tetap terjaga menjaga bulan. Tetapi apa yang bisa membuatmu
terjaga dari kesepian? Diksi yang maknanya selalu lebih dari sekedar kumpulan
huruf saja. Yang membuat seorang anak tidak berhenti menyalahkan dirinya
sendiri selama sisa hidupnya, karena membiarkan ibunya meregang nyawa, tanpa
pernah membalas kebaikannya.
Comments
Post a Comment