Hujan Desember Kelabu
my old draft, is ready to publish
Hujan Desember Kelabu
Aku termenung memandangi awan dari balik kaca jendela kamarku. Luka itu
masih membekas menancapkan sayatan yang masih wangi tercium di dalam jantungku.
Kamar ini merasakan kehilangan akan kepergiannya. Yang begitu mendadak. Dulu, selalu
saja dipenuhi dengan canda dan tawa. Kini, hanya segaris kisah bersejarah yang
ketika dikenang membekaskan perih.
Tanganku
mulai menari-nari diatas tuts-tuts piano. “’Cause it rains in your bedroom,
everything is wrong. It rains when you here and it rains when you’re gone.
‘cause I was there when you said ‘Forever and Always” lagu yang
dipopulerkan oleh Taylor Swift itu begitu khas mengisahkan kepergiannya.
Kehilanganku atas dirinya yang selalu berjanji akan ada disini. Tetap disini.
Pikiran ini berloncatan kembali, ke waktu dimana semuanya terjadi begitu saja.
Dan otakku mulai memainkan cerita-cerita yang takan mungkin hinggap pergi dari
kepalaku.
Desember, 2002
Matahari
senja mulai menaburkan warna oranye di sepanjang garis langit, berhias
gerimis-gerimis lembut. Gadis kecil itu sedang melipat origaminya dengan gusar
di tepi sebuah danau. Membukanya lagi, melipatnya lagi, dan terus melakukannya.
Bibirnya mengerucut dengan kesal. Wajahnya memerah dan poninya yang jatuh berantakan.
Lalu seorang anak laki-laki yang berumur dua tahun lebih tua darinya diusik
rasa penasaran mendalam ketika melihat gadis kecil itu mulai ingin menangis.
“Kau sedang apa? Ini sudah senja. Nanti kau dicariin!” kata anak laki-laki itu.
Gadis
kecil itu menatapnya dengan marah lalu menyodorkan origami yang lecek dan sudah
hampir robek “buatkan aku perahu yang bisa berlayar disitu!” lalu jemarinya
yang mungil menujuk ke arah danau.
Laki-laki
kecil itu duduk di atas rerumputan lalu mulai melipat origami dalam diam. Si
gadis kecil ikutan duduk dihadapannya dan memperhatikan gelagat jemari
laki-laki itu melipat origami dengan cekatan. Beberapa menit kemudian, si anak
laki-laki menyodorkan origami yang sudah berbentuk seperti perahu nelayan
kepada si gadis kecil “nih, sudah selesai. Kau mau beri nama apa perahu ini?”
tanya si anak laki-laki.
Gadis
kecil itu memutar-mutar matanya mencoba berpikir. “namanya, Hera!
Karena kapal ini adalah milikku.” kata gadis kecil itu dengan puas “jadi namamu
Hera?” tanya anak laki-laki itu. “Hera. Kata mommy, Hera itu nama dewi langit.
Jadi, namamu siapa?”
“NamAku
Nicho. Nah, kalau begitu, kita harus pulang sekarang. Kalau terlalu malam,
nanti Telekhine akan keluar dari air dan melahap kita. Rumahmu dimana?” tanya
Nicho
“Di
situ!” tunjuk Hera. “Hebat! Rumahku tepat disebelah rumahmu. Kalau begitu ayo
kita pulang bersama!” Nicho menarik lengan Hera dan menggenggamnya. Lalu mereka
mulai berjalan beriringan. “Telekhine itu apa? Mommy tidak pernah membacakan
dongeng tengan telekhine.” Tanya Hera polos. “Anak perempuan hanya tahu tentang
Cinderella dan Snow White. Telekhine hanya ada dalam dongeng mitologi Yunani.
Dia adalah monster berkepala anjing dan berisirp yang hidup di air. Maka dari
Itu, jangan berjalan terlalu jauh dariku! Kalau berjalan disebelahku, kau akan
aman, aku berjanji akan terus melindungimu!” tegas Nicho.
Desember, 2012
Hidupku
terasa hancur mendadakan dalam tiap hitungan jam. Tim madingku baru saja
menerima kekalahan pertamanya. Cerpen karyaku gagal diikuti lomba tingkat
sekolah. Nilai matematika ku turun drastis yang berakibat pada omelan guru
matematikaku yang killer. Tugas yang kukerjakan siang dan malam
mati-matian, ketumpahan air dan basah semua. Sehingga aku harus
mengulangnya lagi. Novel best seller karya Rick Riordan yang kudapati dengan
susah payah menelusuri jejeran buku loak kini hilang sudah tak ada rimbanya.
Entah dimana aku lupa meninggalkannya. Hidupku seperti mimpi buruk
yang tak ada pintu keluarnya. Malam terasa begitu suram walau bintang di tabur
gemerlapan. Air mataku mulai menetes lambat laun menggelincir dan
menelusuri wajahku. Ku hela napas berat berulang kali. Kulihat hujan
rintik-rintik mulai menghantam aspal dan membuatnya basah. Aku tahu apa yang
harus aku lakukan, menghapus air mataku. Aku berlari menuruni tangga dan keluar
rumah. Semua orang sudah lelah, tak akan ada yang protes.
Aku
mulai berjalan menembus malan dan dinginnya yang terasa meremukan tulang rusukku.
“Hey, Hera! Kau mau kemana?” tanya sebuah suara di belakangku. Aku
berbalik, hapal betul sumber suara itu. Nicho, sedang berdiri memegangi payung.
Aku menaikkan bahuku “Cuma mau bertemu hujan.” Kataku lesuh. Aku lemah. Aku
sedang tidak berselera. Aku sedang menahan buih-buih air mata yang rasanya
semakin sulit ku bendung. Aku berbalik, dan jalan lagi. Tapi tangan Nicho yang
hangat menarikkku menghadapnya lagi. “Are you okay? Hey oke, dont lie to me!
Jangan konyol, ini hujan, nanti kau bisa mati kedinginan” . Aku hanya diam
mengamati bola mata Nicho. Semakin lama, aku tidak tahan lagi. Aku merentangkan
tangan dan mulai memeluk Nicho. Lalu, aku mulai menangis di bahunya. Hal yang
selalu terjadi ketika aku hanya seonggok debu yang ditiup-tiup angin. Nicho tak
akan bertanya tentang apa dan bagaimana, atau apapun juga. Dia hanya akan diam,
membalas pelukanku dan mengerti tentang rasa yang berkecamuk di dalam dadaku.
Seusai
puas meluapkan tangis, aku melepaskannya. “Pulanglah, tidur yang nyanyak! Besok
aku akan terbang ke Inggris, aku akan kuliah disana.” Kata nicho, kami
teridiam. Gemerisik dedaunan berbeban air sisa hujan dari dahan-dahan tinggi
mulai berbunyi. Aku merasa akan kehilangan jantungku. “Kenapa jauh
sekali? Kau di terima di UI, kenapa harus pergi ke Inggris?” tanyaku setengah
putus asa. “Aku harus kesana. Itukan mimpiku! Liburan musim panas nanti, aku
akan pulang. Dua tahun lagi, ikutlah berkuliah disana!” kata Nicho
tenang.
“Jauh
sekali. Hanya enam bulan sekali kalau begitu. Kita harus berpisah. Aku akan
kehilangan teman baikku untuk enam bulan ke depan. Lalu kau akan datang sebagai
tetangga baru lagi. You should know, you’re my favorite part of the
day, and i don’t know why, but with you i’d dance in a storm in my best dress.
So i think, i cant forget you”
“that’s
nice, ‘cause if you remeber me, then i dont care if everyone else forget me.”
.................................................
Fajar
menyongsong hari. Sinar mentari menerobos masuk lewat celah jendela kamarku.
Langit sedikit mendung. Jam menunjukan pukul 09.00. Nicho sudah berangkat. Hari
ini hari libur, dan aku berhasil bangun siang lagi. Aku tidak terlalu semangat,
tapi aku tetap hidup seperti biasa. Aku belum sempat mandi dan mengganti baju
karena perutku sudah demo minta makan jadi aku hanya menyeret diriku untuk
turun kebawah. Aku tidak tahu dimana seluruh penghuni rumah ini, hanya ada bibi
yang berpakaian lebih rapih dari biasanya. Matanya agak sembab, aku jadi gerah
bila tidak bertanya
“Bibi
kenapa? Galau banget bi, masih pagi nih!”
Bibi
menatapku dengan tatapan prihatin. Aku jadi semakin bingung. “Non Hera. Mas
Nico, hmmm sudah tiba di depan” kata bibi pelan
Aku
melempar roti ku ke atas piring dan ku tarik tas ku dari kursi sebelah “Nicho
bi? Dia nggak jadi pergi ke Inggris?Oh My Gosh Nicho!!’ aku berlari
terburu-buru hingga sempat hampir terjatuh berkali-kali. Sampai di depan, aku shocksetengah
mati. Keramaian menyambutku. Tepat di depan rumahku, bendera kuning tertancap
di pagarnya. Orang-orang berpakaian serba hitam hilir mudik sambil mengusap air
mata mereka dengan tissue. Aku melangkah dengan sangat perlahan. Di setiap
langkah, sepatu float hitamku terasa menginjak karang tajam. Lalu aku masuk ke
dalam, menerobos kerumunan. Dan jantungku baru saja di setrum dengan tegangan
tingkat tinggi ketika ku lihat Nicho tertidur kaku. Ada bekas luka di
kepalanya. Aku ingin mendekatinya, sebelum sebuah tangan menarikku mundur
“Hera, Nicho sudah berpulang.” . Ibu Niko, tante Sarah. Lalu dia menariku
kedalam pelukannya. Sekejap, kepalaku pening lalu gelap dan hilang....
.....................................................
Aku
sedang ada di sebuah gedung yang langit-langitnya begitu tinggi, seperti sebuah
gereja tua lalu aku melihat Nicho, lalu Nicho menghilang hanya dalam hitungan
detik. Lalu semua potongan-potongan kejadian yang kami lewati, terputar seperti
sekuel film singkat. Ketika aku tertawa dan menangis di bahunya hingga kenangan
yang kami rahasiakan. Nicho tampak lagi, mengulurkan tangan, lalu hilang lagi.
Tiba-tiba hujan deras mengguyurku. Turun dari langit-langit gedung. Suara Nicho
menggema “you,ll be save without me”
Dan
mendadak, mataku terbuka, nyawaku tertarik lagi untuk sadar. Aku terbangun,
rupanya hanya sebuah mimpi. Di luar, kilat saling berkejaran dan tiba-tiba
hujan deras mengguyur dengan kasar. Aku berlari dan menempelkan hidungku di
jendela. Dan aku merosot, ketika tenda itu masih di sana. Di depan rumah Nicho.
Dan semua sedang berkabung. Sedang aku, terasa hampir mati berdiri. Aku
menangis dalam diam. Menikmati sakit yang menggema-gema meneriakan nama
‘Nicho’. Bukan hanya untuk enam bulan, tapi untuk waktu yang cukup lama. Sangat
lama.
Kini,
sudah lima bulan aku di tinggal pergi. Seharusnya, bulan depan dia sudah bisa
kembali. Tapi nyatanya aku harus menunggu lebih lama lagi. Langit kelabu
Desember telah berubah cerah. Dan Nicho terasa jauh namun dekat.
Tragis bukan? Aku diberi
tau bahwa taxi yang ditumpangi Nicho hilang kendali ketika pada akhirnya
menghantam sebuah pembatas jalan di tol. Membayangkannyapun aku tak berani. Laki-laki
itu terlalu baik untuk di ambil terlalu cepat oleh tuhan. Tapi tuhan, selalu
punya kisah
Jemariku
mulai menari lagi, sambil memandangi foto aku dan Nicho, aku mulai bernyanyi “I
was playing back a thousand memories baby, thinking ‘bout everything’ we’ve
been through. Maybe i’ve been going back too much lately when time stood still
and I HAD YOU........
So
come back, come back, come back to me. Like you would, you would if this was a
movie. Stand it the rain outside ‘till i came out”
Comments
Post a Comment