The Notes of Dylan (Chapter 2 ; Liva, Chapter 3; epilog)
Liva
Lima bulan
lebih gue hidup dengan Liva. Dia masuk ke hidup gue tanpa mengetuk pintu
terlebih dahulu. Hidup gue berubah total, segalanya menjadi tentang ‘Liva,
Liva, Liva’. Dia nggak cuma mengubah persepsi gue mengenai arti sebuah pelukan
dan berceramah panjang lebar mengenai bahayanya merokok dan pergaulan bebas
tapi dia merubah segalanya. Dia selalu memberikan alasan yang jelas dan
konkrit. Jenis alasan yang bisa langsung masuk ke otak gue dan gue terima
dengan baik.
Dia nggak pernah memaksa gue. Tapi setiap kali dia
mengungkapkan sesuatu, kata-kata itu selalu saja berhasil menjadi doktrin di
kehidupan gue besoknya. Dia berpotensi jadi ahli hipnotis termahsyur di dunia.
Dia menunjukan gue tentang dunia. Dia membuat gue menyadari kalau selama ini
gue nggak mengenal tuhan gue. Bahkan dia menjelaskan kalau cafein cuma membuat
gue menunda tidur padahal tidur adalah kenikmatan dan kebutuhan yang nggak
seharusnya ditunda.
Dia seharusnya hadir dihidup gue dari dulu.
Seharusnya dia menunjukan gue dunia yang dia lihat dari dulu. Tapi nggak
masalah, gue selalu berterimakasih atas kehadirannya yang unpredictable dan tiba-tiba kedalam hidup gue.
Gue suka mendengarkan opini dia. Mendengarkan
apapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan ketika dia berusaha membagi opininya
mengenai politik dan ekonomi dunia yang nggak gue pahami sama sekali, gue tetap
senang mendengarkannya. Gue juga sudah terbiasa mendengarkannya bercerita
mengenai novel-novel yang sedang dibacanya. Seberapa terobsesinya dia dengan
tokoh-tokoh didalamnya dan mulai berkhayal kemana-mana.
Dia bukan tipe orang yang suka ngeluh dan dia benci
terhadap orang-orang yang suka mengeluh. Dia membuat gue berhati-hati mengungkapkan
rasa lelah gue supaya nggak terdengar seperti sebuah keluhan berlebihan. Tapi
gue mulai mengerti, ketika dia lelah dia menjadi lebih pendiam. Dia akan lebih
sering menghembuskan nafas dan melakukan sesuatu tanpa berbicara, seperti mayat
berjalan. Yang paling nggak gue suka ketika dia lelah, dia akan jarang
tersenyum. Padahal, senyumnya adalah sumber semangat gue.
Dia nggak pernah tau apapun tentang gue. Gue nggak
pernah membiarkan dia tau apapun tentang diri gue yang paling jauh dari
jangkauan kehidupan. Dia nggak pernah tau kalau semenjak hari kami bertemu,
semua lagu yang gue tulis adalah tentang dia. Semua lagu itu berdasarkan semua
imajinasi liar tentang kehidupan gue dan dia dan gambaran rasa kesal gue kalau
ngeliat dia lagi bercanda dan mulai dekat sama kru lain.
Gue pengecut, itu fakta! Gue nggak berani
mengungkapkan apa yang gue rasain selama ini sama dia. Gosip orang-orang di
sekitar gue yang bilang kalau cinta cowok selalu dimulai dari seratus persen
dan lama-lama akan berkurang sampai habis di titik nol membuat gue gusar. Gue
takut kalau gue menyatakan apa yang gue rasain selama ini ke dia, suatu hari
akan membuat dia sakit hati ketika gue udah kehabisan stock cinta buat dia. Gue nggak mau itu terjadi.
Ditambah dengan kenyataan gue nggak tau apa
tepatnya perasaan yang ada di dalam hati gue. Gue takut salah menafsirkan
perasaan itu. Dari awal gue ngeliat dia diantara kerumunan penonton, perasaan
aneh itu muncul begitu saja. Dari awal gue ngobrol sama dia diruang ganti, gue
udah merasa comfort sama dia. Semakin
lama perasaan itu semakin besar. Semakin susah dijelasin. Gue juga takut dia
nggak punya perasaan yang sama ke gue. Pasti pernyataan cinta itu cuma akan
membuat hubungan gue sama dia jadi nggak enak.
Gue juga gelisah terus-terusan mikirin apa mungkin
dia punya perasaan yang sama atau dia cuma sayang ke gue sebagai seorang rekan
kerja dan teman. Karena dia baik ke semua orang. Dia memang terlahir jadi
manusia baik diantara jutaan manusia biadab.
Jadi selama ini, gue memilih untuk mengurung diri
gue di zona aman. Dia adalah hidup gue. Gue nggak bisa hidup tanpa dia. Tapi
cukup dengan duduk di depannya dan ngeliat kalau dia exist di depan gue, itu sudah kelewat cukup buat gue.
Intinya. Hidup gue sekarang ini hanya ‘Liva’.
“Lan, kamu udah makan?” Liva masuk kedalam ruang
ganti dengan kunciran yang sudah berantakan. Beberapa helai rambutnya
berjatuhan di sekitar wajahnya. Sebelah tangannya membawa kotak putih yang gue
tau pasti isinya makanan.
Gue menggeleng. Liva menghampiri gue sambil mengerutkan
alisnya. “Loh, katanya udah diantar kesini. Kamu beneran belum dapet makanan? Stock makanannya udah habis lan” kalau
lagi masa periode, Liva jadi sedikit lebih sensitive.
Aku menggeleng lagi. “Seriusan, masa gue belum
makan aja bohong ke lo”
Dia menghela nafas panjang. Dia duduk disebelah gue
dan menyodorkan kotak makanannya. “Yaudah nih makan aja punya aku dulu. Nanti
aku gampang, bisa minta tolong orang beliin makanan keluar.” Gue tau dia lelah.
Dia lagi masa periode. Dia tidak mau berdebat dengan siapapun dan
mempermasalahkan makanan gue.
“Buat lo aja, gue nggak laper”
Bahkan meskipun gue tau kalau dia lelah, dia masih
berusaha untuk tersenyum. “mana pernah sih sepanjang sejarah kamu nggak lapar
abis show? Biasanya malah minta
tambahkan”
Gue tau gue nggak bisa berbohong. “Kita makan
beruda. Nanti kalau masih lapar, kita delivery
lagi. Okay?”
Dia menarik box nasi itu dari tanganku. “gimana
hari ini show nya? Cukup kan?” dia
menyuapkan sendokan pertamanya ke gue. Lalu untuknya sendiri.
Gue mangguk-angguk nggak jelas sambil tetap
mengunyah makanan dimulut. “Sama aja sama hari sebelumnya. Makasih ya karena lo
bantuin gue terus”
“kan itu emang tugas aku Lan.”
“Gue nggak tau kalau nggak ada lo gimana jadinya”
“Aku udah mulai hunting
manager baru. Siap-siap ya”
Rasanya nasi yang lagi gue kunyah berubah jadi
kerikil dan batu bata. Belakangan ini, topik itu adalah topik hot yang selalu gue dan Liva bahas.
Sebentar lagi enam bulan. Sebentar lagi Liva akan graduation dan pergi. Sebentar lagi semuanya akan selesai sampai
disini.
Wajah Liva datar. Ada sedikit kesedihan di sana.
Mungkin dia sedih karena harus ninggalin gue yang manja dan nyebelin. Bukan
karena dia harus ninggalin cintanya. Dia bukan gue. Hati gue nyeri setiap kali
mulai membahas topik ini. “Lo nggak harus pergi” dan itu satu-satunya kata yang
selama ini terus-menerus gue ulang.
Gue selalu tau jawaban dia akan seperti; “Inikan
mimpi aku dari dulu Lan. Ini kan Cuma untuk have
fun sebentar. Cari pengalaman sekalian coba-coba. Lagipula, mimpi aku
tinggal selangkah lagi. Aku sudah diterima di perusahaan asing.”
Dia menyuapkan sendokan keduanya. “Gue bisa naikin
gaji lo”
“Aku nggak cuma hidup karena uang”
Gue tau. Gue tau. Liva udah kaya bawaan, dia nggak
kerjapun dia bisa hidup dari tabungan
dan bunga deposito keluarganya. Terus apa yang dia kejar? Dia bisa hidup
sama gue selamanya seperti ini. Gue pun sanggup nge-gaji dia meskipun dia nggak
mau kerja sekalipun. Kehadiran dia
adalah udara dan makanan gue setiap hari. Nggak ada dia, itu berarti gue nggak
bisa hidup. “Apa yang lo kejar Liv? lo punya segalanya yang lo mau”
“Aku ngejar mimpi aku Lan. Selama ini aku ngasih
makan mimpi aku. Aku nggak Cuma nanam mimpi, aku siramin setiap hari. Sebentar
lagi mimpi aku akan berbuah, sebentar lagi. Dan aku harus memastikan kalau
buahnya manis”
“Nggak akan ada yang bisa jadi seperti lo”
Dia menyandarkan kepalanya di bahu gue, “Kita masih
bisa ketemu ko Lan. Dylan Mahesa akan selalu jadi idolaku. Dylan Mahesa tetap
seorang teman yang baik hati. Kita masih bisa hang out bareng kalau ada waktu luang, nonton film, nongkrong di
cafe, hunting cd baru.”
Pernyataan dan gagasan itu justru membuat gue
semakin sedih. Selama ini, itu adalah aktivitas-aktivitas sederhana yang selalu
gue dan Liva lakuin bersama disaat waktu kita kosong. Quality time dimana gue dan dia bisa buka-bukaan dan ketawa sampe
ngakak. Waktu dimana seringkali gue harus pake snapback dan masker supaya orang-orang nggak ngenalin gue. Gagasan
itu cuma omong kosong. Gue sudah melewati beberapa masa itu dan gue ngerti
kalau setelah perpisahan, pertemuan hanya sekedar obrolan formal yang sok
akrab. “Gue udah lupa rasanya dunia gue tanpa lo Liv.” Gue tau gue berlebihan,
tapi gue jujur.
Dia mengkat kepalanya lalu bergelayutan di bahu
gue. “Apasih Lan, jangan lebay ah. Lo bahkan bisa nelfon gue kapan aja.”
Nggak akan segampang itu. “Pulsa mahal!” kata gue
seenaknya. Padahal bukan itu yang mau gue ungkapin ke dia. Tapi gue nggak bisa.
Gue mau bilang kalau selama ini yang hidup dan berkeliaran di otak gue cuma
dia. Gue tau gosip-gosip aneh yang dikarang media selalu membuat gue terpojok.
Jalan sama si A, jadian sama si B, mau tunangan sama si C, lama-lama mungkin
media bakal bikin berita tentang gue yang lupa bayar toilet umum. Tapi otak gue
dirancang untuk terus memikirkan Liva. Liva, Liva, Liva aja terus! Gue nggak
pernah punya perasaan sama perempuan lain. Entah itu artis papan atas yang
cantiknya kebablasan ataupun office girl
yang suka bawain gue minum tanpa gue minta.
“Jangan pergi Liv!” kalimat sederhana itu mewakili
keingininan gue untuk memaksa dia stay.
“Kita liat aja nanti Lan!” jawabnya singkat. Gue tau dia nggak akan pernah
mikir dan mempertimbankan keputusannya lagi.
Tapi di sisi lain, gue juga tau kalau gue nggak
bisa ngelepas dia pergi.
Sekian!
.........................................................................
Waktu gue menjawab telfon dari Liva beberapa puluh
menit yang lalu, perasaan gue nggak enak. Nada suara Liva juga berat dan nggak
menyenangkan seperti biasanya. Meskipun suaranya tetap terjaga ringan dan
santai, tapi gue tau ada sesuatu yang buruk yang sebentar lagi bakal nampar
muka gue sampai babak belur. Dia nggak mau jawab waktu gue tanya “kenapa?”.
Katanya, dia mau cerita sesuatu.
Ketika gue membuka pintu apartement, wajah Liva
dipenuhi keraguan. Seolah ceritanya seberat kota Jakarta. Gue mempersilahkan
dia masuk, bertingkah seperti biasa dan menunggu sampai dia melemparkan bom
yang akan meledak. Kemeja putih polos itu selalu bagus dikenakannya. Cuma
kemeja putih polos, tanpa renda, tanpa motif. Dimasukan kedalam celana jeans
biru yang size nya nge pas di kaki.
Rambutnya dikuncir kuda, flat shoes
nya masih warna tosca, dan salah satu tas brand
mahal yang terselempang di pundaknya. Tapi ada yang berbeda dari seorang Livana
Jane.
Dia tersenyum. Senyum yang gue lihat jutaan kali
dan selama itu juga gue masih sekarat setiap ngeliatnya. Ketika dia pergi ke
dapur, menyedu dua cangkir hot chocolate
dalam diam, gue semakin takut. Mungkin nggak sih, dia mau cerita kalau selama
ini dia adalah seorang malaikat yang dikirim ke bumi? Lebay!
“Aku resign
hari ini juga!” dia mengatakannya sambil meletakan cangkir hot chocolate diatas meja. Berkacak pinggang dengan gayanya yang take it easy.
Gue duduk di sofa, memperhatikanya sambil menahan
jantung gue yang sebentar lagi keluar dari badan. Rasanya untuk mengangkat
seekor nyamukpun gue nggak sanggup. Gue menaikan alis, berusaha menyuarakan
kata “Apa?” yang nggak bisa gue keluarkan. Gue sakit hati. Gue nggak bohong.
Gue nggak pernah bohong soal hati.
“Kali ini penggantinya manager proffesional, jangan khawatir. Dia perempuan, berpengalaman
dan tekun. Kamu akan cocok sama dia. Aku yakin!”
“Jangan pergi Liv!” kata gue memohon
“Aku harus pergi!” dia balik ngotot.
“Harus secepat itu?” actually, cepat atau lambat sama saja. The point is, gue mau dia disini.
Dia menghembuskan nafas berat. Tersenyum sebentar
ke arah gue sambil menggigit ujung bibirnya. Kebiasaannya kalau dia sedang
grogi. Dia memijit keningnya dengan sebelah tangan, lalu kembali menatap gue.
“Aku akan pergi besok sore. Penerbangannya untuk besok sore”
“Penerbangan besok sore?”
“Perusahaan langsung ngirim aku ke kantor pusatnya
di Amerika karena nilai toefl dan bahasa Inggris aku dinilai paling memadai. I have no more choice, this is the only one”
No choice?
Semua orang selalu punya pilihan. “Lo bisa tetap disini!”
“Kamu selalu tau kalau itu bukan pilihan bagi aku.”
Gue menyandarkan tubuh gue di sofa. Gue tau gue
akan selalu kalah dalam perdebatan ini. Ini hidupnya, bukan hidup gue! “Apa
yang bisa membuat lo tetap disini?”
“Nothing”
“Gue sayang sama lo”
“Aku juga”
Gue menatapnya lekat-lekat. Keluguannya masih
sering ngerepotin gue. Pasti dia menafsirkan hal yang berbeda dari apa yang gue
maksudkan. “Bukan itu! Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo! Bukan perasaan
antar partner kerja, atau antara adik
dan kaka, atau perasaan pertemanan. Apa yang gue rasain jauh lebih dalam daripada
itu semua. Lo taukan? Perasaan semacam....” tatapannya membuat gue lelah.
“Itulah!”
Dia menatap gue lekat-lekat. Wajahnya datar seolah
dia lagi menantang gue untuk berbicara lebih jauh lagi, lebih terperinci. Untuk
sepersekian detik yang rasanya seperti sewindu, gue menyesal, gue mau menelan
omongan gue lagi andaikan gue bisa. Tapi gue tau gue harus mengeluarkan
semuanya, menunjukan segalanya.
Yang gue dengar darinya cuma tawa singkat penuh
sinisme. Rasanya jahat. Gue nggak pernah mendengar dia seperti itu. Dia duduk
di kursi putih tinggi dekat jendela, tidak jauh dari sofa. “Selama ini kamu
kemana aja?” suaranya membuat gue sedih. Suaranya terdengar seperti rintihan
seorang tahanan yang dibebaskan ketika dia sedang sekarat.
“Aku selalu berusaha untuk jadi lebih dari teman”
dia melihat gue, seperti sedang berusaha meminta ganti rugi. Memainkan jarinya
dengan gelisah. “seberapa banyak aku berusaha untuk masuk lebih jauh cuma
dibalas dengan respon kamu yang itu-itu aja. Aku berjuang untuk nunjukin ke kamu
kalau aku bisa lebih dari semua ini tapi kamu terlalu sibuk. Kamu terlalu sibuk
sama diri kamu sendiri dan pikiran bodoh kamu soal sisi gelap cinta. Aku capek
harus ngejelasin itu terus, berusaha membuat kamu yakin dan percaya dengan itu.
Nggak cuma itu Lan, aku butuh kekuatan seribu kali lipat lebih besar daripada
itu untuk menenggelamkan perasaan itu lagi dan menganggapnya tidak pernah ada”
Gue merasa bersalah, merasa setiap kata yang keluar
dari mulutnya adalah tombak yang memecahkan hati gue. Sebarapa bodohnya gue
selama ini memendam perasaan itu dan membiarkan dia melakukan hal yang sama?
Gue membiarkan diri gue menyakiti hatinya padahal yang gue mau adalah
membahagiakannya. Ternyata semua ini lebih besar daripada apa yang gue lihat
dengan sebelah mata gue ini selama ini.
“Gue nggak pernah tau Liv. Gue takut ngungkapin
perasaan gue ke lo. Gue takut semuanya berantakan. Gue takut membuat keadaan
jadi suram”
“Kamu udah terlanjur membuat segalanya suram!” gue
tau ada milyaran kata yang mengganjal diujung kerongkongannya. Tapi dia cuma
duduk diam disana sambil menatap gue lekat-lekat. Dia selalu malas berdebat.
Dia selalu mempertahankan argumennya dengan diam. Itu adalah caranya untuk
menang. Selama ini, dia selalu menang. Tapi kali ini, gue nggak mau kalah.
Gue bangkit dan berlutut di depannya. Mengenggam
tangannya. Untuk menelan ludahpun rasanya seperti menelan bumi, susah. Tapi gue
harus melakukannya. “Lo adalah udara yang membuat gue bernafas. Lo membuat apa
yang tidak terlihat menjadi nyata. Lo membuat gue melihat apa yang selama ini
nggak pernah bisa gue liat. Lo merubah segalanya Liv. Lo udah masuk kedalam
hidup gue bahkan sebelum lo berniat untuk melakukannya. Pertama kali gue
ngeliat lo diantara kerumunan penonton, gue tau lo akan menghidupkan gue”
Ada kesedihan, kebingungan, keresahan dan kegalauan
di wajahnya yang cantik. Dia mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut gue
dan membelainya. Meskipun hanya sebentar dan pada akhirnya dia menurunkannya
lagi, itu benar-benar respon yang unpredictable
buat gue. Dia terlalu cepat lari dari kemarahannya. Hal yang sangat sulit
dilakukan. “Semuanya udah jauh dibelakang. Yang di depan tinggal selangkah
lagi. Kalau aku mundur, resikonya akan lebih besar daripada jika aku maju.”
“Lo punya pilihan Liv. Tinggalah disini sama gue.
Jangan kemana-mana. Selama lo disini, gue akan memastikan kalau lo aman dan
bahagia”
“Lo bukan tuhan”
“Iya! Tapi gue manusia yang diciptakan tuhan untuk
lo” tau darimana? Gue sendiri nggak yakin. Tapi setidaknya, gue harus membuat
dia yakin. Gue nggak mau dia pergi. Gue nggak mau ngelepasin dia. Gue tau pergi
nggak selalu berarti pulang dan kembali lagi. Gue nggak mau menghadapi spekulasi itu. Zona
aman gue selalu menyenangkan.
Gue sendiri benci dengan justifikasi orang yang
mempercayai teori yang bilang kalau cinta tidak harus memiliki. Lo nggak hidup
seribu tahun untuk nungguin cinta itu sampai dengan sendirinya diitangan lo.
Cinta itu ya memiliki, memiliki itu yang cinta.
Dan lo harus berjuang untuk mendapatkannya. Realistis, sederhana!
“Waktu berputar kedepan Lan, dan aku nggak akan
kembali lagi kesana. Mimpi aku ada didepan. Aku akan berangkat besok”
Gue melepaskan tangannya. Gue merasa marah. Entah
tepatnya pada siapa. “Lo bisa tinggalin semuanya Liv. Untuk gue, gue mohon!
Kita akan membuat cerita baru yang happy
ending Liv!” gue egois, gue tau. Tapi gue nggak mau dia pergi!
“Kamu selalu sibuk sama diri kamu sendiri dan itu
belum berubah. I dare you, aku akan
ngelepasin semua mimpi aku asalkan kamu ngelepasin semua mimpi kamu. Keluar
dari dunia entertaiment, berhenti
nyanyi, berhenti buat lagu, berhenti main musik.”
Gue nggak pernah memikirkan itu sebelumnya. Adanya
gue dipanggung hiburan adalah hidup gue. Nyanyi dan bermusik adalah bagian dari
diri gue yang kecil dan sendirian. Gue bisa meninggalkan hidup gue yang glamour ini. Tapi kalau gue harus
meninggalkan kehidupan bermusik gue, gue nggak akan pernah bisa!
Gue menyadari kalau Liva adalah gadis independent yang dewasa dan aware sama hidup. Sedangkan gue cuma
laki-laki yang berlaga dewasa tapi nggak tau apa-apa. Gue egois dan nggak bisa
menempatkan dimana gue berada. Gue bergantung sama orang lain seperti benalu. Tapi
gue nggak bisa melepaskan dia, nggak bisa melepaskan hidup bermusik gue.
“Gimana? kamu berani?”
Gue bangkit berdiri. Rasanya guebenar-benar marah. Gue
marah pada Liva, terlebih lagi gue marah pada diri gue sendiri. Gue meninju
cermin di dinding hingga pecah. Tangan gue berdarah, menetes mengotori karpet
putih gue. Gue berlebihan, drama king,
tapi kejadian itu tidak sengaja. Gue hanya sedikit lost control. Lalu gue menyadari tatapan tidak suka yang ditujukan
Liva langsung ke arah gue.
“kamu egois! Kamu kekanak-kanakan. Kamu nggak akan pernah bisa merubah apapun!”
ada penekanan di dalam suaranya. “kalau kamu menghargai aku, kamu akan
membiarkan aku memilih.” Lalu dia bangkit dan keluar begitu saja.
Gue tau, itu akan menjadi kali terakhir gue
melihatnya pada hari itu.
Pada hari esoknya. Pada hari esok-esok dan esok
lagi. Pada hari setelah satu tahun lewat dan musim berganti terus-menerus.
Gue nggak benar-benar yakin kapan ‘esok’ itu
menjadi ‘esok’ terakhir yang akan gue hitung di dalam waktu penantian gue yang
selalu terasa sia-sia.
Epilog
Lima tahun sudah dan kini nama gue jadi semakin
besar. Tapi waktu nggak pernah sanggup mengobati rasa sakit hati ditambah
berkali-kali penyesalan. Gue membiarkan Liva memendam perasaannya sampai-sampai
dia berniat menghilangkannya. Gue membiarkan dia tau sisi buruk gue dan
memandang gue sebagai anak kecil egois. Dan penyesalan paling besar yang nggak
pernah membuat gue bisa memafkan diri gue sendiri adalah karena gue nggak pernah
mengucapkan selamat tinggal pada Liva.
Gue nggak pernah melepas kepergiannya karena gue
terlalu marah dan malu untuk datang ke bandara dan nemenin dia sampai dia pergi
waktu itu. Gue bahkan nggak nelfon dia atau sms dia. Setelah itu gue sama dia
benar-benar lost contact. Gue nggak
bisa menghubungi dia entah lewat kontak pribadi maupun social media. Tapi gue tau, segalanya sudah terlambat.
Setelah hari itu, sebagian besar lagu yang gue
tulis masih tentang dia, masih untuk dia. Walaupun gue nggak pernah tau apa dia
masih suka nge check channel youtube
gue atau bahkan dia sudah nggak peduli sama sekali. Gue benar-benar menanggung
semua hukuman itu karena gue nggak pernah bisa memaafkan diri gue sendiri dan
gue menderita karena itu. Nggak ada seorangpun yang bisa ngerti seberapa
menderitanya gue akan hal itu.
Gue punya label studio yang sekarang sukses
mencetak penyanyi-penyanyi besar yang bahkan bisa go international. Gue masih
eksis nulis lagu tapi lebih banyak nge-produce
daripada nyanyiin sendiri. Perkerjaan gue kini lebih banyak behind the scene. The best part nya, gue juga bisa make a space sama media, merekapun sudah kehabisan bahan gossip
guat gue. Terakhir kalinya, semua orang bingung karena gue sukses di usia
semuda ini dan belum punya cewek. Mereka
mulai bikin gossip kalau gue homo sexual.
But who cares? Because I don’t!
Hari ini, gue berkelana ke New York. Menyiapkan
konser perdana gue dan beberapa artis yang sukses gue besarkan sampai go international. Acaranya masih
beberapa bulan lagi, tapi gue mau getting
lost disini. Gue mau jadi tamu tak diundang yang berlama-lama disini.
Tadinya, perjalanan ini akan menjadi ‘perjalanan menjemput cinta’ mengingat Liva
juga disini. Kami sedang menghirup udara yang sama dibawah langit yang sama.
Tapi New York luas, dan gue belum tentu bisa bertemu dia. Jadi gue buang
gagasan manis itu jauh-jauh.
Gue duduk di sudut Starbuck, sok memandangi langit dan menikmati cahayanya yang
sedikit mendung. Padahal gue lagi bengong mengkhayalkan seribu keajaiban yang
mungkin nggak sengaja nyasar ke gue. Di hadapan gue setumpukan kertas kotor
yang isinya dipenuhi coretan not balok memenuhi seisi meja. Tepian tangan gue
nggak sengaja menyenggol secangkir penuh coffe
yang belum gue sentuh sama sekali. Ketika gue akan mengangkat tangan untuk
memanggil seorang waiters, tatapan
gue malah terkunci pada seseorang wanita yang baru memasuki cafe.
Seorang gadis yang dulu berkuncir kuda dan suka
menggunakan T-Shirt. Kini yang gue lihat
adalah seorang wanita classy dengan
rambut sebahu pirang. Ini hari minggu, dia pasti sedang libur karena dia hanya
mengenakan sweatertosca tebal dan legging hitam. Dia tetap terlihat
cantik tapi dia sangat dewasa. Intelektual yang high class. Kacamata besar tersangkut di atas kepalanya. Dia sedang
sendiri.
Dia menoleh ke arah gue. Dia sama terpakunya dengan
gue. Dia membeku untuk beberapa saat disana. Hanya memandangi gue dalam diam.
Kami punya lima tahun yang diisi dengan kekosongan. Mungkin juga hanya gue.
atau mungkin juga kami berdua.
.......................................................................
Kami duduk berdampingan disebuah kursi taman.
Menggenggam gelas plastik berisi coffe.
Gue ingin mengatakan banyak hal, ingin bercerita. Tapi gue nggak tau gue harus
memulainya darimana. Liva juga sama hal nya. Gue mengambil kesempatan untuk
menghampirinya. Gue tidak boleh menyesal untuk yang kesekian kalinya.
“Gue minta maaf karena gue nggak minta maaf waktu
itu, karena gue egois, karena gue nggak pernah ngucapin selamat tinggal dan
nemenin lo sampai lo pergi”
“Semuanya sudah lewat. Aku nggak pernah kembali
lagi ke masa lalu” dia tersenyum. Senyum yang masih sama dengan senyumnya lima
tahun yang lalu. Senyum yang membuat gue merasa sekarat. Sensasi itu masih sama
rasanya.
Gue membalas senyuman itu, “Gue tau. Gue tau lo
nggak akan pernah kembali lagi ke masa lalu. Maaf karena gue nggak berusaha
menghargai lo dan terlalu nge-protect
lo waktu itu. Gue sadar, ketika kita menggenggam pasir, semakin erat kita
menggenggamnya semakin banyak kehilangan yang harus kita tanggung”
Dia cuma tersenyum begitu aja. “Aku masih fans kamu
lho, aku suka lagu-lagu kamu”
Gue inget waktu pertama kali ketemu, dia ngomong
hal yang hampir sama dengan itu. Gue nggak yakin apa itu termasuk sebuah kode
yang dibuat untuk menyadarkan kalau dia punya rasa ke gue atau sekedar ungkapan
seorang fans terhadap idolanya.
Tapi gue sudah lama belajar untuk nggak berpikir
panjang. Apapun, yang penting coba lakukan dulu! Jadi, gue menarik tangannya
dan menggenggamnya erat-erat. Dia kaget, dia mungkin nggak pernah berpikir
kalau gue akan seberani ini. Tapi gue juga harus membuktikan ke dia kalau gue
sudah berubah. Gue bukan Dylan Mahesa yang dulu.
“Aku bisa hidup mengarungi jutaan dunia
Menjelajahi surga dan kembali ke bumi
Tetapi kebahagiaanku tersimpan pada satu jiwa
Jiwa hilang yang kuinginkan kembali
Dan dia adalah kau,
Kau yang pergi terlalu jauh”
Aku menyanyikan baid laguku. Lagu yang tertulis
lewat hati ketika aku benar-benar merindukannya. Hanya selang beberapa hari
setelah kepergiannya waktu itu. Hari ini, gue ingin mengatakannya langsng
didepannya lewat baid lagu tersebut. Lagu ini bukan punya gue. Yang sebenarnya,
lagu ini adalah milik Liva.
“Liv, kembalilah! Gue berani! Gue berani nemenin lo
disini, pergi dari Jakarta dan memindahkan label besar gue kesini. Selagi gue
masih bisa bermusik dan ada lo di samping gue, gue bahkan siap membuat label
baru lagi disini. Gue nggak takut lagi!”
Awalnya ekspresi Liva sangat menyebalkan. Dia hanya
diam, memastikan apakah omongan gue benar atau sekedar omong kosong murahan. “Lan,
aku akan kembali di pindah tugaskan ke cabang Jakarta. Kamu nggak perlu
repot-repot mindahin perusahaan besar kamu” dia tertawa. “Maaf karena aku
pernah ninggalin kamu.”
“Gue nggak pernah merasa diberatkan dengan itu. Lo
seharusnya minta maaf karena lo membuat gue menyesal atas apa yang gue lakuin
sendiri”
“Aku minta maaf,” dia tersenyum.
“Sayangnya, cinta nggak pernah butuh kata maaf Liv.
Dan gue, akan terus mencintai lo”
Comments
Post a Comment