Jatuh - Three In One Project
Hari itu mendung. Aku masih ingat ketika kau
berdiri di depanku di bawah sekumpulan awan hitam yang berlomba-lomba
menyenandungkan gemuruh. Langit sedang marah, tetapi kurasakan seluruh dunia
tertawa ketika bibirmu membentuk senyum yang membuatku bertekuk lutut. Aku
masih ingat tetesan air hujan yang perlahan turun, diikuti dengan tanganku yang
menarik tanganmu untuk mencari tempat berteduh. Tubuhmu basah kuyup, tetapi
keceriaan tak juga meninggalkan wajahmu. Hari makin gelap, tetapi matamu yang berbinar-binar
menerangi semua yang ada di depanku. Aku enggan melepaskan tanganmu, enggan melepaskan
kehangatan yang menghantam udara dingin.
“Aku tak menyangka kau akan datang,” katamu,
suaramu sedikit bergetar karena angin dingin yang bertiup. Aku tersenyum lebar.
Ada nada terkejut dalam kata-katamu, tetapi aku tak bisa menyalahkanmu. Kau
sudah terlalu sering ditinggalkan. Tapi kali ini aku ada di depanmu, tak habis
pikir mengapa ada saja orang yang meninggalkanmu sementara aku bahkan tak bisa
membayangkan dirimu lepas dariku. Aku berbeda, dan aku yakin.
“Aku selalu ada,” jawabku. Kutempelkan bibirku
yang dingin ke keningmu yang basah.
Kau tertawa—tawamu nyaring, merdu, dan
menular. Kurangkul dirimu rapat-rapat, berusaha meyakinkanmu bahwa apa yang
baru saja kau dengar bukanlah lirik lagu cinta yang mendayu-dayu. Bukan pula
dialog film romantis yang penuh omong kosong. Semuanya sungguh-sungguh dariku.
Kata-kataku adalah aku. Dan aku tak pernah berbohong.
“Dingin,” bisikmu. Aku memelukmu lebih erat.
Kupejamkan mataku, kemudian dalam diam aku bersumpah untuk takkan pernah
melepasmu. Tak pernah aku merasa seyakin ini dalam berjanji. Kurasakan kepalamu
sedikit menggeliat dalam dekapanku, berusaha mencari kehangatan di tengah
rintik hujan. Jari-jariku mulai mengusap rambutmu, helai demi helai. Tak ada
saat yang lebih menghangatkan untukku. Tak ada yang lebih baik daripada detik
ini, dengan kau dalam pelukanku.
“Jangan pergi...” ujarmu lirih. Aku tersenyum,
kemudian bibirku menyentuh rambutmu yang masih kuusap-usap. Kembali kupejamkan
mataku, berusaha merekam apa yang keluar dari bibirku selanjutnya.
“Aku tak akan pergi,” kataku mantap. “Tidak
tanpamu.”
***
Kutepati janjiku. Aku selalu tinggal, berusaha
dekat denganmu. Semua keputusan yang kuambil kupastikan tak akan menjauhkanku
darimu. Aku ingin menghangatkanmu ketika kau kedinginan seperti di hari itu.
Aku ingin mendengar suara tawamu yang merdu dan ikut tertawa karenanya. Aku
ingin menghapus air matamu dan berusaha keras menyingkirkan rasa sedihmu. Aku
ingin wajahmu menjadi hal pertama yang kulihat ketika aku bangun tidur dan hal
terakhir yang kulihat sebelum tidur. Aku ingin sentuhanmu menjadi energi yang
selalu menyemangatiku di saat apapun. Aku ingin melihatmu dalam mimpiku dan
tahu bahwa kau tak akan pergi ketika aku membuka mata. Aku ingin ada di
dekatmu, sekarang dan selamanya.
Namun garis hidup tak setuju. Ketika aku ada,
kau menghilang dan tak kembali selama berbulan-bulan. Ketika kau datang, kau
terlalu letih untuk dekat denganku. Kau adalah milikku, dan kita sama-sama tahu
itu, tetapi orang lain lebih sering melihatmu daripada aku dan perlahan lebih
mengenalmu. Kau angkat kaki sebelum aku bangun, meninggalkan tempat yang dingin
di sebelahku dan kembali setelah aku terpejam, terlalu lelah untuk membangunkanku.
Tahukah kau? Aku tak pernah tidur. Dalam mataku yang tertutup aku memutar
janji-janji yang kubuat untukmu dan selalu kutepati. Aku mendengar suara
langkah kakimu, merasakan dirimu berbaring di sampingku, dan tahu ketika kau
berpaling dan tak melihatku. Ketika mataku terbuka kau sudah masuk ke alam
mimpi, tetapi aku masih ingin kau menjadi hal terakhir yang kulihat sebelum aku
tidur.
“Sebentar saja,” katamu suatu hari ketika kau
akan kembali meninggalkanku—entah berapa lama.
“Aku akan segera kembali,” kata-kata
itu sudah terlalu sering terucap dan perlahan menjadi angin lalu bagiku. Namun
kali ini aku tak mau menyerah. Aku tak mau membiarkanmu pergi begitu saja. Aku
ingin kau dekat denganku dan aku harus membuatmu tinggal.
“Kau sudah menghilang terlalu lama,” kataku.
“Tinggallah. Kali ini saja. Aku tak mau kau terlalu capek.”
“Menghilang?”
balasmu sambil tertawa—bukan tawa merdu yang kusukai, melainkan tawa kosong
yang makin membuatku frustrasi. “Jangan konyol. Aku akan pergi hanya beberapa
bulan. Kau tahu kan waktu berjalan begitu cepat? Lagipula aku tak capek. Ini
kewajibanku,” lanjutmu, tak tergoyahkan.
“Waktu berjalan lama tanpamu,” aku mulai putus
asa. “Pernah tidak kau berpikir aku sendirian di sini, tak bisa melihatmu
terus-terusan?”
“Omong kosong,” balasmu lagi. “Memangnya kau
tak punya telepon? Kita masih bisa terus ngobrol. Jangan melebih-lebihkan!”
Kurasakan darah mengalir ke ubun-ubunku. “Aku
berusaha keras tak mau meninggalkanmu. Kubuang semuanya jauh-jauh. Untukmu.
Untuk dekat denganmu. Kau...jangan pura-pura tidak tahu pengorbananku. Aku
sudah tak punya apa-apa. Hanya ada kau. Dan kau—oh, Tuhan, menurutmu aku ini
apa?” Nada suaraku meninggi. Aku tak mau mengatakan semua ini, sungguh tak mau,
tetapi aku tak tahan lagi. Setelah semua yang kukorbankan untuk dapat dekat
denganmu, ini yang kudapatkan?
“Kau seperti anak kecil,” ujarmu dingin.
“Jangan egois. Semua ini...kukira kau mengerti. Dari awal kau tahu kan aku tak
bisa bersamamu terus-terusan? Jangan—jangan pura-pura bodoh. Banyak hal yang
harus kulakukan. Aku...hidupku tak hanya untukmu!”
Darah mendidih di ubun-ubunku, membakar api di
mataku. Semuanya sudah buram. Tak ada lagi wajah indahmu yang dulu bisa
membuatku bertekuk lutut, tak ada lagi tatapan matamu yang dulu selalu
mengundangku untuk tertawa. Tanpa kusadari, tangan kananku terangkat, terayun
ke arah wajahmu.
Semuanya gelap, sampai suara keras diikuti
dengan jeritan darimu memekakkan telingaku.
Setelah sadar apa yang baru saja terjadi,
mataku terbuka lebar. Tak ada lagi darah yang mendidih. Tak ada lagi api yang
membara.
Kau tertunduk, rambut hitammu menutupi hampir
seluruh wajahmu—kecuali matamu. Api yang beberapa saat lalu membara di mataku
telah berpindah ke matamu. Tak ada luka di wajahmu, tapi tatapan matamu
menunjukkan luka yang begitu mendalam. Aku—aku tak pernah membayangkan matamu
penuh kebencian seperti ini. Aku melangkah mundur, tak sanggup berkata-kata.
“Kau,” katamu sambil memalingkan wajah, “brengsek.”
Aku ingin mengucap ‘maaf’. Namun kata itu
terjebak di tenggorokanku, tak bisa keluar. Aku berusaha mendekatimu, tapi
kakiku melekat di lantai. Aku tak bisa bergerak. Pukulan itu rasanya
menghantamku jauh lebih keras. Tanganku terangkat, kali ini berusaha
menjangkaumu, berusaha memastikan bahwa kau baik-baik saja—
Kemudian kau berbalik. Tanpa melihatku lagi,
kau melangkah jauh sampai lepas dari pandanganku. Semuanya kembali gelap,
hingga terdengar suara pintu dibanting diikuti keheningan yang menusuk.
***
Hari ini mendung, seperti hari itu. Petir
berlomba-lomba menembus awan hitam, diikuti air hujan yang jatuh menghantam
tanah. Namun kali ini tak ada yang membuat dunia tertawa di bawah langit yang
marah. Tak ada yang menerangi pandanganku. Tak ada yang membuatku tersenyum di
tengah muramnya hari. Aku sendirian, dan bayang-bayangmu terus berenang di
dalam kepalaku. Kepalaku nyaris pecah—aku terus berusaha membuang
bayang-bayangmu dari benakku, tapi aku tak pernah mampu. Entahlah. Kilat dan
petir yang menyambar kali ini malah memperjelas sosokmu dalam ingatanku, bahkan
ketika aku memejamkan mata.
Ketika kembali kubuka mataku, bayang-bayangmu
yang dari tadi berenang di kepalaku tiba-tiba menjadi nyata di seberang jalan.
Mataku terbelalak. Mungkinkah...? Kuusap mataku berkali-kali untuk memastikan
bahwa apa yang kulihat bukan sekedar halusinasi di tengah hujan. Kufokuskan
pandanganku ke seberang jalan, mengacuhkan hujan yang makin deras. Ya, kau ada
di sana. Dulu kau di sini, di dekapanku di bawah langit mendung. Semuanya
tinggal kenangan sekarang. Aku sudah tak bisa menjangkaumu lagi, aku sudah tak
bisa menyentuhmu lagi. Aku sudah tak bisa menepati janji-janji manis yang
kubuat disaksikan awan hitam di hari itu, walaupun saat itu aku sudah bersumpah
untuk tak akan mengingkari janji-janji tersebut. Hatiku makin hancur. Air mataku
mulai menetes, bercampur dengan air hujan yang dingin.
Di seberang jalan, kau tertawa—persis seperti
hari itu. Tersenyum, dan kuharap aku masih bisa bertekuk lutut seperti hari
itu. Ceria dengan mata berbinar-binar, persis seperti hari itu. Kau berbagi tawa
dengan seseorang di sampingmu, seperti hari itu. Berbagi dekapan, sentuhan, dan
ciuman seperti hari itu. Tetapi kali ini orang itu bukan aku.
Aku membalikkan badan. Hari itu kau
menghangatkanku di tengah cuaca dingin, dan hari ini kau membekukan sekujur tubuh
dan perasaanku. Perlahan aku menggerakkan kakiku, menjauh darimu dan semua yang
mengingatkanku tentang kita. Aku pergi, melangkah jauh dengan tatapan kosong.
Kukepalkan kedua tanganku keras-keras, dan di tengah suara cipratan air yang
beradu dengan langkah kakiku aku tahu betul bahwa ketika aku membalikkan badan,
aku tak akan lagi menemuimu—baik di dalam maupun di luar benakku. Semuanya
sudah menguap, tersapu air hujan. Seperti hari itu.
***
Tentang Penulis:
Mentari
Sandiastri, tukang mikir yang lahir di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1995. Saat
ini kuliah jurnalistik di Australia sambil menghidupi diri dengan bekerja di
sebuah majalah travel, beberapa website, dan menulis apapun
yang bisa ditulis. Cita-citanya adalah mengubah status diri dari rookie journo menjadi
jurnalis sungguhan. Gemar menulis cerpen, puisi, dan lirik - walaupun tak
punya bakat bermusik. Terobsesi dengan pesawat terbang, tenis, dan The Corrs.
Comments
Post a Comment