Bertemu Dia (Kamu)!
Bertemu Dia Kamu!
http://desvaherzani.blogspot.co.id/2015/06/bertemu-dia-kamu-three-in-one-project.html
Aku seharusnya
tidak disini.
Berdiri
dihadapanmu dan memberikan kesempatan, lagi.
Bukan, ini bukan kali kedua. Ini adalah hasil perkalian yang hasilnya infinite bahkan mungkin indefinite. Jumlahnya sebanyak rintik
hujan. Sampai jari seribu orangpun tak akan mampu menghitungnya.
Kau seharusnya
tidak disini.
Memintaku
mengobral kesempatan. Memberikan kemungkinan-kemungkinan secara cuma-cuma.
Berspekulasi dengan kesalahan. Membagikan cerita-cerita janggal, pada pangeran
kesiangan yang baru datang ketika langit gelap
"Hidup sudah
berubah Keenan..." Kataku kepadamu, di suatu sore dimana matahari senja
ditutupi segerombolan awan yang sedang parade. Di sebuah restaurant kecil di
pinggir jalan yang baru buka beberapa bulan lalu. Dengan penuh pembelaan diri,
aku memutuskan untuk mengiyakan ajakanmu bertemu. Barangkali aku memang salah.
"Tidak
secepat itu Karina..."
"Memang tidak
cepat Keenan. Dua tahun itu lama kalau diukur dengan canggihnya teknologi.
Kirim pesan tidak sampai sepuluh ribu. Kirim email juga tidak sampai lima
menit. Kasih kabar juga hanya perlu beberapa kata saja."
"Dua tahun
ini aku hilang Karina. Bagaimana caraku menemukan dirimu kalau aku bahkan
kehilangan diriku sendiri?"
"Kamu tidak
pernah mencariku Keenan. Karena kamu tahu aku tidak akan kemana-mana. Aku akan
menetap disini sampai langit membelah diri seperti amuba."
"... dan kamu
benar-benar menetap dengan kemungkinan-kemungkinan itu."
"Aku sudah
punya pacar Keenan"
"Siapa? Pilot
itu? Pacarkan cuma sekedar status Karina. Tapi hatimu masih nyangkut
separuhnya. Mengharapkan akukah?"
"Membencimu..."
"Tetapi kamu
tidak mampu"
Aku berdiri,
"aku pergi. Sampai berjumpa lagi kapan-kapan"
**********
Aku tidak bisa
tidak membenci diriku sendiri. Karena aku tidak bisa membenci Keenan. Karena
aku masih ingin bersamanya, di dekatnya, mengulang segalanya. Tidak! Tidak
seperti itu! Tapi ya, aku merasa
sebagian diriku masih mau mencoba. Tapi adilkah permainan ini untuk Adrian?
Adilkah dia terlibat tanpa tahu apa-apa?
Adrian, aku sedang
mencoba menyelesaikannya. Sabar ya...
Sore ini mendung,
tetapi tidak hujan. Udara lembab dan pengap. Aku berkendara menuju kedai mie di
sebuah sudut jalan. Kedai yang lama absen dari daftar kunjunganku. Karena apa?
Karena disana aku banyak mengulum rinduku pada Keenan. Lalu sekarang mengapa
kesana? Karena aku ingin cari gara-gara.
Bangunannya gaya
lama. Jendelanya dari kayu yang di cat hijau muda. Cat temboknya putih semua.
Ada lonceng di pintu masuknya yang berdentang seolah menyambut pengunjung
lamanya dan membisikan, “Selamat datang, kenangannya sudah kami siapkan”
"Kamu pasti
kesinikan"
Aku bahkan baru
selangkah dari pintu, aku menoleh, melihat laki-laki itu duduk melipat
tangannya di meja sambil tersenyum. Astaga
Keenan,kitakan tidak sedang main petak umpat! Laki-laki itu duduk dengan
santainya, dengan kaki dilipat dan buku Kahlil Gibran di tangannya. Buku dengan
sejuta cerita yang kemudian, cerita-cerita itu secara sengaja aku bagikan juga
kepada Adrian dengan cara yang begitu manis. Kini aku sedikit banyak diselimuti
rasa bersalah.
"Duduk dulu
sini, cicipin masa lalu, sudah lamakan?" Tawarannya memang selalu menarik
atau aku yang tidak punya prinsip?
Aku melangkahkan
kaki lalu duduk dihadapannya. “Keenan”
"Kamu mau
apa?"
"Aku, mau
apa?” aku jadi tertawa sinis, “Mauku juga tidak pernah kamu turuti” Astaga,
kenapa aku jadi selebay ini!
Dia hanya
tersenyum, diam saja. Itukan caranya laki-laki menang? Dengan diam saja,
membiarkan permpuan di hadapannya merasa menang, begitukan?
“Bolehkan aku
bertanya lagi, Keenan, kamu kemana saja dua tahun ini?"
Dia menatapku
lekat-lekat. Matanya adalah sedalam-dalam rindu dan cinta yang tidak bisa aku
jabarkan, dan hal itu belum berubah sedikit saja. Meskipun aku telah menjumpai
Adrian di penghujung penantianku.
"Kamu tahu
persis Karina, orangtua ku bangkrut. Aku harus melarikan diri kemana-mana,
menjauhi tagihan hutang. Aku tidak bisa melanjutkan kuliah kedokteranku di
Amerika. Aku harus pergi. Pergi ke tempat aku tidak mungkin di temukan. Pergi
ketempat aku tidak bisa menghubungimu. Aku disitu, berharap kamu baik-baik
saja."
"Haruskah aku
percaya?"
"Mengapa
tidak? Hidupku sulit. Aku tidak mengatakannya untuk memintamu berempati. Atensi
pun tidak lagi aku butuhkan. Tetapi agar kau paham, dua tahun aku pergi bukan karena
aku bahagia, tetapi karena aku tidak baik-baik saja dan aku ingin kau tetap
baik-baik saja.”
"Lalu
kehilanganku? Kata-katamu seperti dongeng Cinderella, Keenan" Aku
menatapnya tidak percaya. Semudah itu melarikan diri dariku. Semudah itu dia
memutuskan untuk melepaskan semuanya ke tangan antah-berantah. Semudah itu,
Keenan? Semudah itu pula memberikan penjelasan rasional yang membuat aku sulit
mengelak, menyudutkan aku, dan seolah-olah memaksa aku untuk mengalah.
"Aku
kehilangan segalanya, Karina, dan kamu adalah bagiannya. Aku kehilangan
kehidupanku, terpisah-pisah dengan keluargaku, kehilangan cita-citaku, bahkan
hampir kehilangan harapan untuk bisa hidup. Masih bolehkah kamu menyalahkan
keputusanku untuk melepaskanmu juga?"
Bolehkah, Keenan?
Bolehkah? Aku diam. Sebab iya, aku ingin melakukannya!
“Keenan, mari kita
berhitung saja. Kalau kamu mau menganggap dua tahun ini tidak ada, akan aku
lakukan. Tapi mari anggap tahun-tahun yang kita habiskan bersama juga tidak
pernah ada. Aku tidak ingin mendendam, aku ingin berdamai saja. Bukannya
melelahkan main kejar-kejaran seperti ini?”
Dia tersenyum,
“Kamu mencintai Adrian?”
Aku terdiam,
menatapnya lekat-lekat. Mengapa pertanyaan yang keluar dari mulutnya selalu
mengirimkan keraguan? Aku pikir, hatiku mantap. Mengapa jawabanku jadi selalu
subyektif dan serba plin-plan. Dan pertanyaannya selalu menuntut jawaban. Kalau
aku tidak menjawab aku kalah. Kalau aku menjawab dan tidak yakin aku kalah.
Kalau aku menjawab bohong aku kalah. Kalau aku menjawab jujur tapi sesuai
dengan dugaannya aku kalah. Bermain dengannya tidak pernah adil.
“Haruskah aku
menjawabnya?” Aku benar-benar bertanya.
“Kamu tidak punya
jawaban ya, Karina?”
Aku menatapnya
lebih dalam, “Kamu jadi menyebalkan Keenan”, kemudian aku bangkit berdiri
berniat untuk pergi, tetapi dia memanggilku lagi.
“Seingat aku
Kirana, kamu justru selalu rindu dengan orang yang sering membuatmu sebal”
Terserah kamu, Keenan!
**********
“Tidak ada yang
bisa diajak berbincang. Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama
tanggal. Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal. Kau rasakan seseorang
di kejauhan menggeliat dalam dirimu. Kau berdoa semoga kesedihan meperlakukan
matanya dengan baik.
Selamat pagi kamu,
Karina! Memang bukan Cinta, tetapi aku tetap cinta!” Siapa yang tidak ingin
dicintai oleh Adrian. Itu pernyataan, bukan lagi pertanyaan. Laki-laki yang
membuatmu senyum-senyum sendiri pukul 4 pagi, sebelum memulai aktivitasmu
dengan mengutip puisi Aan Mansyur
berjudul, “Pukul 4 Pagi” kemudian menyertakan sapaan paling manis ini
lewat Line. Ini, Adrian, laki-laki yang mungkin akan mengingatkan Cinta
kepada Rangga, lalu Maria kepada Soe Hok Gie. Tetapi tidak untuk Karina, sebab
Keenan masih menyita seluruh ingatannya. Begitukan, Karina?
Ahiya!
Tidak ada yang
lebih menyebalkan dibanding laki-laki yang tidak bisa kau tanggalkan.
Kemauannya, tekadnya, keras kepalanya, dan seribu satu cerita yang pernah dia
gulirkan dikepalamu sampai rasanya hampir meledak. Orang yang membatasimu dari
kemungkinan mencintai orang lain dan melupakannya begitu saja. Bagaimana bisa
aku mencintai orang yang berusaha aku benci mati-matian?
Aku tidak membalas
pesan Adrian. Tidak perlu tanya mengapa karena aku juga tidak punya jawabannya.
Beberapa jam
kemudian, hampir pukul 5 pagi ketika handphone
ku berdering lagi. Nama Keenan tertulis disana. Dia pasti sudah sampai. Aku
meluncur menuruni tangga, bergegas menemuinya.
Yang ini tidak
perlu ditanya juga. Sudah hampir dua minggu lebih dia selalu datang, dan
menyedihkannya, aku tidak pernah mampu menolak. Dia sampai hapal jadwalku dan
memutuskan untuk mengantar-jemput setiap hari. Aku selalu kalah karena dia jauh
lebih keras kepala. Tidak, itu justifikasi! Aku selalu kalah karena aku tahu
aku masih menginginkannya dan gelagat rindunya yang menyampaikan pesan bahkan
secara eksplisit bahwa dia juga masih menginginkanku, membuat aku (jujur saja)
bahagia dan semakin sulit menolak.
Hari itu kuliah
tidak terlalu sibuk. Semuanya serba biasa, mungkin karena sebenarnya pikiranku
tidak berada disana. Pikiranku mengudara, mengejar pesawat Adrian di angkasa.
Membalas pesannya membuatku takut, aku takut menyakitinya. Tidak membalas
pesannya membuat aku merasa bersalah, salah karena memang aku salah. Sore,
sekitar pukul 3, Keenan menjemputku lagi.
Kami tidak
langsung pulang. Seperti dulu dua tahun silam, dan seperti hari-hari yang kami
habiskan selama dua minggu penuh ini, duduk di kedai mie sudut jalan,
berhadap-hadapan sambil larut kedalam bacaan masing-masing. Membiarkan
secangkir kopi dihadapan kami mengepulkan kehangatannya sampai dingin sendiri.
Sebagian hatiku ngilu karena dipenuhi rasa bersalah pada Adrian. Sebagian
lainnya senang karena manusia ini kembali lagi disini. Aneh mengataknnya, tapi
dengannya aku merasa penuh sementara dengan Adrian, kepenuhan itu menyisakan
rongga kosong seolah beberapa bagiannya tetap hilang.
“Kamu terlihat
masih jatuh cinta dengan Gibran.”
Aku tersenyum
simpul, dia yang pertama kali memperkenalkan aku pada penyair Lebanon ini. “Dia
manis, dan dia selalu berubah-ubah. Perspektif dia meluas, seperti melihat
dunia dari globe. Kadang dia seperti
Nietzsche, berbicara seolah-olah tuhan tidak ada, berbicara sebagai atheis.
Kadang juga dia bisa seperti Imam Al-Ghazali, menceritakan tuhan dengan begitu
indah, seolah-olah dia adalah theis paling beriman. Tiba-tiba dia menceritakan
Maria Magdalena, kemudian dia menceritakan tentang bangsanya. Aku teramat
mengaguminya.”
Buku yang
dibacanya sudah selesai, kemudian dia memberikannya kepadaku, dan aku begitu
bahagia karena aku tergila-gila dengan Kahlil Gibran, selalu, sejak dahulu.
“Kamu sudah baca Tujuh Alasan Mencela
Diri?”, tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kalau aku, punya
delapan alasan mencela diri, tau yang terakhir apa?”
Aku menggeleng.
“Karena pernah
meninggalkanmu, tidak memberikan kabar dan penjelasan, kemudian datang ketika
semuanya hampir terlambat karena aku sadar, bahwa aku bisa kehilangan segalanya
tetapi kamu adalah satu pengecualian. Tetapi itu hanya hampir, dan aku tidak
akan membiarkannya terjadi, Karina” kemudian dia kembali sibuk membaca buku
biografi Tan Malaka nya. Entahlah, apa seseorang di masa lalu memang selalu
menarik untuknya, ataukah Tan Malaka sedang mengajarkan padanya cara merebut
cintanya yang dulu, ataukah dia hanya tidak mampu menatap aku lama-lama karena
terlalu malu dengan pernyataannya barusan.
Jantungku jadi
semakin lompat-lompat.
Bell kedai
berdentang, kedai ini terlalu kecil sehingga suara bell nya saja dapat
dipastikan membuatmu menengok kearah pintu secara reflex. Pada detik berikutnya, jantungku tidak sekedar
lompat-lompat, melainkan sudah terpental entah kemana. Kenapa? Karena mataku
menangkap sosok laki-laki berbadan tegap dengan seragam pilot lengkap berdiri
disana.
Adrian.
Bersama beberapa
temannya.
Melihatku dengan
tatapan sama herannya. Kemudian matanya beralih ke arah Keenan. Bola mata itu
seperti sedang menilai kemudian memaknai dengan akurat. Dia menatap aku dan
Keenan secara bergantian. Lalu dia berpaling ke arah temannya, mengatakan sesuatu
semacam “duluan aja, nanti gue nyusul”.
Dan satu-satunya
yang dia susul adalah aku.
Dia menghampiri
mejaku, sampai akhirnya Keenan mendongak dan memahami situasi yang sedang
terjadi. Bagiku, begitu genting. Rasanya kalau bisa, aku ingin langsung pindah
ke negeri lain. Bagi Adrian, nampaknya tidak baik. Tetapi di dalam sorot mata
Keenan, aku justru bisa melihat ketenangan dan deklarasi menang yang telah lama
dia harap-harapkan.
Sampai Adrian
hanya sejauh kepalan tangan, berdiri menjulang dihadapanku yang tengah terduduk
bisu dengan perasaan campur aduk didominasi rasa malu. Bernapas pun rasanya
susah. Menelan ludah pun rasanya berat.
Adrian menarik
tanganku lembut sambil berusaha tersenyum, “Pulang yuk”. Respon yang tidak aku
pikirkan akan terjadi. Aku pikir dia akan marah atau mungkin memaki-maki aku di
depan umum, menunjukku sebagai perempuan tukang selingkuh atau apalah itu. Tetapi
dia tetap begitu lembutnya, dengan mata yang penuh dengan rasa kecewa dan
membuat aku merasa amat-sangat berdosa. Tetapi dia masih bertahan dengan
sikapnya yang tenang. Sosok yang tidak pernah berhenti aku kagumi, tetapi
mengapa begitu sulit untuk aku cintai?
Aku butuh beberapa
detik mencerna, kemudian detik selanjutnya merapikan seluruh barang-barangku. Aku ingin cepat pergi dari sini, gumamku
dalam hati. Aku ingin bangkit berdiri ketika Keenan menyela, “Tunggu sebentar”
Aku menatapnya,
memohon dengan jenis tatapan, Tolong
Keenan, jangan memperumit!
Tetapi dia menatap
Adrian dengan mata tegasnya, “Bukankah seharusnya Karina berhak memutuskan
untuk tinggal atau pergi?” kemudian ada senyum beberapa detik yang terselip
setelah titik.
Tidak. Aku mati!
Adrian menatapku.
Tatapan Keenan menyusul.
Aku hanya bisa
menundukan kepala, memejamkan mata, menggigit bibir sekeras yang aku bisa
sambil sedikit-sedikit berdo’a kepada tuhan dimanapun berada semoga aku
diselamatkan dari kondisi ini. Tetapi tidak bisa, dan aku terjebak.
Yang mana yang
harus aku pertahankan? Laki-laki yang begitu aku cintai dua tahun silam dan membuatku
seolah-olah merasa masih seperti itu bahkan sampai detik ini, yang membuatku
rela menunggu, yang selalu membuatku menyisakan ruang kosong untuk dia
singgahi, yang memperkenalkan aku pada keindahan Gibran, yang ucapannya tidak
bisa dipegang tetapi ingin selalu aku percaya, yang membuatku tidak bisa
mendebat hampir segala hal yang dia lontarkan. Yang membuat aku rindu, yang
membuat aku merasa kembali. Haruskah aku menetap untuk orang yang pernah
meninggalkan? Haruskah aku menetap untuk keenan?
Atau haruskah aku
pergi bersama laki-laki yang bersikeras mencintaiku. Laki-laki yang tidak
pernah marah, yang tidak pernah kesal, yang penuh dengan toleransi meskipun
buta dan tidak masuk akal, laki-laki yang diharapkan semua wanita untuk
dimiliki, yang manis, yang mau menuruti seluruh kemauanku dan memberikan
perhatian tanpa pernah libur, yang membuat hangat, yang selalu berusaha membuat
nyaman, yang tidak pernah menuntut, yang selalu menerima, yang membuatku merasa
tidak utuh bahkan dengan seluruh kebaikan yang dia upayakan dan membuatku
bertanya-tanya soal kebenaran cinta itu sendiri. Haruskah aku pergi dengan
laki-laki yang membuat aku merasa tidak benar-benar utuh? Haruskah aku pergi
dengan Adrian?
Aku menyelesaikan
pertapaanku, kemudian aku menatap Keenan dengan berat hati, “Aku harus pergi,
Keenan” maafkan aku.
Dia menatapku
dengan tatapan tidak percaya, seperti keraguan bergelut disana, dan perasaan
menang itu mulai kalah perlahan-lahan. “Karina?”
Aku hanya bisa
tersenyum, maaf Keenan maaf, dan
sejuta maaf yang sepertinya tidak berakhir di dalam benakku. Aku beranjak,
membiarkan Adrian menuntuntuku keluar. Meninggalkan laki-laki yang pernah
meninggalkanku. Aku tidak bermaksud balas
dendam, tidak pernah, Keenan! Aku hanya perlu, perlu pergi, sekarang ini.
Benar-benar sekarang.
Aku mengikuti
Adrian kedalam mobil. Adrian bahkan seperti lupa dengan teman-temannya sendiri.
Dia membawaku pulang tanpa bicara sepatah katapun seolah aku benar-benar tidak
ada disana. Aku tidak memulai pembicaraan apapun karena aku salah dan tidak mau
membual, tidak mau memberi alasan, tidak mau membuatnya semakin marah dan
merasa bodoh dengan seluruh perkataanku. Tidak mau!
Sesampainya di
depan rumahku, dia bahkan juga tidak mau bicara. Dia menatap lurus ke depan,
tidak mau memandangku sama sekali. Kemarahan dalam diam itu mencekik dan tidak
menyenangkan. Tetapi aku bahkan tidak pantas memintanya untuk sedikit melunak.
“Mau mampir ke
dalam? Biar aku buatkan lemon tea
hangat.” Adrian sangat suka lemon tea.
Hangat, tidak suka yang dingin.
Sampai pada
akhirnya dia memutuskan untuk menatapku lalu tersenyum, dan begitu saja. Tidak
ada imbuhan apapun, tetap tanpa sepatah katapun. Dia melepas seatbelt nya, mematikan mesin mobilnya,
kemudian keluar. Dia mengatakan iya
seolah-olah kami bertelepati dengan bahasa kalbu. Menyedihkan.
Aku sudah tau
takaran lemon tea nya, dan dia selalu
suka lemon tea buatanku. Tetapi
nampaknya hari ini dia hanya terpaksa meminumnya, supaya tenggorokannya tidak
dipenuhi hasrat untuk marah dan teriak-teriak. Hanya tebakan asal, bisa jadi.
“Kamu pulang ko
nggak bilang?” aku merasa menjijikan, masih bisa bertanya begitu kepadanya. Tidak pantas, Karina!
Dia menyeruput
lemon tea nya, “Jadi itu ya alesan kamu belakangan ini nggak pernah bales chat
aku lagi. Aku kira, aku punya salah sama kamu” suaranya lembut. Demi apapun
cara dia berbicara justru membuat seluruh diriku ambruk. Masih bisa kah aku
menyakitinya lebih jauh lagi? Haruskah aku melakukannya.
“Dia masa laluku,
aku…”
“Aku tau, Karina.”
Dia memotong pembicaraanku. “Aku tau dia masa lalumu. Aku tau melupakannya
tidak mudah apalagi jika dia datang lagi dan menawarkan sesuatu yang baru. Aku
tau dia jauh lebih mengenalmu sedangkan aku bahkan-sekarang ini, akhirnya sadar
bahwa aku ternyata tidak mengenalmu sama sekali. Tetapi aku pikir, yang aku
lakukan sudah cukup.”
“Maaf, Adrian”
“Aku tidak
apa-apa.”
“Aku minta maaf”
“Aku juga, karena
tidak bisa membuatmu merasa cukup.”
Kemudian hening.
Waktu rasanya berbisik, sudah tidak ada
lagi yang perlu dijelaskan.
“Aku mencintaimu,
Karina”
“Aku merasa
teramat-amat berterimakasih atas itu, Adrian. Dan aku juga merasa teramat-amat
berdosa atas itu. Karena tidak mampu mengembalikannya kepadamu.”
Dia menatapku
lekat-lekat, “But for him, it was love,
and it’s still love, right?”
“Can not ensure that actually.”
Dia tidak ingin
mendebatku. Dan mata yang menatapiku lekat-lekat itu, aku menangkap banyak luka
dan kecewa disana, ditujukan olehnya tepat kearahku, dan pesan itu tersampaikan
dengan sangat baik. Semua emosi nya seperti sampai kepadaku dan melekat erat
disana. Semua ketidak-gembiraan itu bisa kurasakan dan aku-sekali lagi-merasa
amat bersalah.
Dia kemudian
bangkit, “Kita seharusnya bisa liburan minggu depan, aku sudah siapkan trip ke Bali karena terakhir kali kamu
bilang rindu pantai. Tetapi sepertinya di Jakarta sekarang lebih menarik
untukmu.” Dia tersenyum. “Aku akan mengurus pembatalannya segera, dan aku izin
karena sepertinya tidak bisa mengirimkanmu postcard
lagi, mungkin itu akan lebih baik untuk kita berdua sementara waktu ini.
Jadi, minggu depan kemungkinan besar aku akan tetap terbang, hubungi aku jika
kamu butuh sesuatu.”
Dan walaupun
seharusnya aku paham bahwa itu adalah keputusan bijak untuk mengakhiri semua
sakit hati yang aku buatkan khusus untuknya, tetapi rasanya tetap juga bisa
ngilu di dada. Seperti masih ada suara-suara yang mendesakku dan menyalahkanku,
bagaimana mungkin aku tidak mampu mencintai laki-laki ini?
“Adrian,
terimakasih”
Dan dia
membalasnya dengan senyuman. Ringan, hangat, penuh luka. Karena bahkan bagiku, rasanya
juga tidak menyenangkan, “Sama-sama, karena mau berdiri dan ikut aku pulang,
meskipun kamu tahu memang harus berakhir dengan cara seperti ini. Terimakasih
kembali, Karina”
**********
“Kamu nggak masuk
akal, karina! Mengapa berdiri memilihnya sedangkan kamu tau bagaimana endingnya?”
Aku hanya menatapi
laki-laki itu, menantangnya siapa tau dia bisa lebih kesal dari itu. Setelah
hampir dua minggu mengistirahatkan diri dari seluruh perkara ini dengan harapan
mampu mengambil keputusan yang dilandaskan pertimbangan bukan sekedar keinginan
yang datangnya jauh dari masa dulu, aku tiba-tiba ingin menemui Keenan lagi.
Lagi, di tempat terakhir kali aku menjumpainya, juga Adrian.
“Karena
setidaknya, aku tidak mau membuatnya merasa benar-benar kalah”
Dia
menggeleng-geleng tidak percaya, “Kamu lucu, Karina.”
Aku tersenyum,
kemudian menghirup Hot Chocolate yang
masih mengepul-ngepulkan asapnya. “Aku ingin mengakhirinya dengan baik
sebagaimana aku memulainya. Setidaknya, meskipun aku tidak bisa mencintainya,
aku masih sangat mengagumi dan menghargainya, dan aku ingin dia tau soal itu.” Kemudian
aku terdiam, ada perasaan tidak nyaman yang terbang di dalam perutku, “Karena
bisa jadi, hanya itu kebaikan terakhir yang mungkin bisa aku berikan kepadanya.”
“Jangan begitu,
Karina. Tidak ada yang jahat ataupun baik dalam cinta, hanya saja ada yang
mencintai dan ada yang dicintai, dan kita tidak pernah bisa memilih. Dimanapun
kita berada, kita harus menerima. Aku yakin dia lebih dari paham soal itu. Kamu
tidak perlu merasa bersalah apalagi minta maaf, segala hal tentang ini tidak
pernah diminta.”
“Kalau kamu?”
“Aku?”
Aku tersenyum,
sungguh aku tulus! “Bagaimana kalau kamu yang ada di posisi dia?”
Dia menyernyitkan
dahi, sebelah alisnya naik pangkat, menatapku dengan pertimbangan, “Aku akan
tetap mengakhirinya, tanpa perlu membawamu pulang terlebih dahulu. Buat apa kan
melakukan sesuatu hal yang sebenarnya sia-sia?”
Aku semakin ingin
menatapinya, “Sebenarnya tidak ada yang sia-sia, dan sebenarnya kamu saja yang
merasa kalah karena aku tinggalkan, padahal sejak dulu kamu paling benci merasa
kalah.”
Tetapi dia tersenyum,
“Kamu selalu tau tentang aku.”
“Aku tidak pernah
kehilangan satu poin pun tentangmu,” aku tersenyum. “Kecuali alasan mengapa
tiba-tiba kamu pergi”
Tetapi matanya
kemudian seperti payung yang membuat aku merasa teduh, “Sudah berlalu, Karina.
Sudah terlewati.”
“Keenan.”
“Iya?”
“Tetapi aku tidak
disini untuk kembali.”
“Karina, maksudmu?”
Aku tersenyum sambil
memainkan sendok kecil diatas cangkir, merasa agak canggung dan grogi
sebenarnya, “Aku rasa sudah cukup”
“Apa?”
“Kita, semuanya,
segalanya tentang aku dan kamu, biarkan berakhir saja. Memang sudah berakhir
sejak lama, Keenan.”
“Kamu hanya
berasumsi.”
Aku menggeleng, “Aku
berpikir, dan aku tau persis apa yang sedang aku katakan.”
Dia terdiam sambil
menatap aku lekat-lekat, kemudian menyindirku dengan tawanya, “I wonder how theese weeks passed by and you
feel nothing, and you finally conclude that this thing have to stop here, and
you decide to go” dia menatapku sekali lagi, “in the end”
“Aku mungkin hanya
tidak bisa melepaskanmu karena kamu tidak membuat aku merasa segalanya telah
selesai. Tetapi melihatmu Keenan, aku sadar bahwa semua yang kamu bawa hari ini
sudah jauh sekali kita tinggalkan di belakang. It’s still love, he said. But it was just love, I think. So it should
be over now because I want to let go of everything”
“It’s still love, Karina.”
Aku menggeleng, “Untuk
sekarang, bukan Keenan”
“Lalu untuk kapan?”
dia Nampak sudah lelah
“Jika kita punya
suatu hari lagi, nanti.”
Comments
Post a Comment