Kata orang, hidup itu dijalani. Bagiku, lain cerita, sebab hidup bagiku adalah multiple choice question, yang jawabannya selalu lebih rumit dari pertanyaannya sendiri. Sementara soalnya tidak pernah bisa dipesan, ada begitu saja dan mau tidak mau harus dijawab. Seperti setiap kali aku melihatnya, dan luka itu masih terasa nyeri di dada, mengapa harus orang lain yang menjadi alasan dia tertawa? Sementara aku bisa mengupayakannya lebih baik. Aku pernah melakukannya, aku pernah mengusahakannya, tetapi mengapa bagi dia tidak cukup? Aku ingin merebutnya kembali, aku ingin memaksanya disini, dulu aku melakukannya entah berapa kali jumlahnya, sampai aku lagi-lagi sadar, untuk apa? Sebab tidak lagi ada gunanya jika aku tidak mampu membuatnya bahagia. Tidak lagi ada esensinya jika bertahan saja dia tidak mau, mengapa aku harus memperjuangkannya? Tidak lagi ada artinya. Tapi dia perlu tahu, dulu aku bahagia, ketika bersamanya. Tapi dia juga perlu tahu, meskipun dia berlalu, aku masih san...
Sore ini rasanya ingin sekali aku berbincang lagi tentang sendu yang sudah pasti melibatkanmu. Karena tidak ada lagi sedih yang cukup haru selain tentangmu, walau lama tidak bertemu. Aku bertanya-tanya sudah sepanjang apa rambutmu, apakah wangimu masih seperti dulu, ataukah kamu tidak lagi suka makan satai karena terlalu banyak debu? Andai kamu tau, jantungku masih berpacu degupannya ketika memikirkanmu. Tidak pernah aku benar-benar pergi. Hanyalah ruang luas yang ingin aku kembalikan padamu dan dunia yang bisa kau isi dengan mimpi. Tidak pernah aku benar-benar hilang. Hanyalah tidak adil menjadi atap yang sekedar menghalangimu menatap bintang-bintang, tapi tidak berpendar ketika setapak jalanmu kelam. Kamu tidak bisa membagi bahkan walau hanya sedikit, padahal jika pundakmu berat selalu kutawarkan pelukan untuk beristirahat. Selalu aku berharap ada, ketika hujan di matamu dan keluh kesah memenuhi dadamu, tetapi tidak pernah ada aku pada setiap sedih dan senangmu, tidak pernah ad...
Pagi ini rasanya berbeda. Setiap hidup di rumah mati. Aku seperti ditinggalkan bersama kebisuan yang tidak lagi bisa bersuara. Burung di luar jendela sepi, entah bisa jadi mereka sedang libur berkicau. Hanya ada jendela yang membasuh dirinya dengan embun, tatapi sudah mulai mengeringkan diri. Kamu dimana? Aku kehilanganmu sejak membuka mata. Aku mencarimu di kolong meja, di laci dapur, di halaman belakang tapi tidak ada. Suara langkah kakimu tidak terdengar dari mana-mana, lenyap, bahkan kayu saja masih meninggalkan abu supaya api bisa mengenang. Tetapi satu-satunya yang kamu tinggalkan adalah jejak kemarahan, yang masih meresap di sekujur ingatanku. Bagaimana kamu bertahan, menangis, meluapkan semua rasa yang lama menghuni ruang jantungmu. Semalam aku membebaskan mereka, membuat mereka menjerit dan berteriak dari dirimu yang damai. Tukang paket yang mengirimkan sepucuk surat tagihan menanyakanmu, abang ojek yang mengirimkan makanan menanyakanmu, tukan...
Comments
Post a Comment