JENUH
JENUH(ku)
Suatu hari, orang yang dahulu kamu
tatap dengan penuh rasa, menjelma menjadi seonggok daging yang hanya bisa kamu
berikan senyuman hampa
Semua perasaan, mimpi, dan ambisi,
menjelma menjadi sisa goresan-goresan tinta yang bukunya mulai melapuk dimakan
waktu
Semua hingar bingar tentang tawa dan
amarah menjelma menjadi sederetan koma dan tanda tanya yang menunggu disematkan
titik pada akhirnya
Katakan Jenuh, mengapa semua masa yang
kulahap habis bersamanya seperti tidak menyisakan bekas selain kekosongan dan
kesunyian
Dan mengapa setiap waktu yang pernah
aku bagi dengannya seperti hanya kesia-siaan sebab tidak ada lagi yang bisa
kuingat bahkanpun dirinya
Seolah rintikan hujan diatas genteng
pun terdengar menyuarakan perpisahan, sesuatu hal yang bisa membuatku menangis
semalaman sebelum semua perasaan janggal ini membuatku dilema
Bukankah dengan berhenti mencintainya
saja aku sudah terlanjur menyakitinya?
Jenuh, aku tidak mengerti mengapa
dahulu aku harus jatuh cinta sampai-sampir seluruh diriku melayang setiap kali
melihatnya. Aku tidak paham mengapa perasaan itu tinggal pengap dan hilang,
tetapi bukan kehilangan
Sungguh, aku tidak ingin menyakiti
siapapun, tetapi mendadak semua ikatan ini hanya meninggalkan semu.
Katakan padaku, didalam semua
kegelisahan ini, haruskah aku bertahan? Atau haruskah aku meninggalkan?
*****
JENUH(nya)
Aku paling tidak mahir berjudi perkara kehilangan. Lukaku kini seperti tidak habis dibasuh hujan dan air mata. Yang ada dihadapanku adalah sosok yang rasa dan hasratnya sudah tiada.
Aku ingin menahan malam dan mengulum
pagi. Supaya aku tidak takut karena tahu dia pasti akan pergi. Meskipun belum
tapi nanti akan terjadi. Iyakan benar, sekarang dia sedang berencana melarikan
diri
Aku ingin menunggunya sembuh, tetapi
ini Jenuh.
Aku berjuang membuatnya bertahan. Dia
tetap saja tidak menetap seperti lama memutuskan untuk menyerah. Hanya karena
dia kehilangan rasa, aku harus kehilangan seluruh dirinya.
Lalu-lalu berlalulah. Masa lalu
melajulah. Sebagian mimpiku sudah diraup dan di hembus. Jiwa raga ini hanya
sisa harap semoga dia tidak jadi berlabuh. Mungkinkah aku dan dia tidak harus
bersatu?
Tidak usah minta maaf, tidak ada yang
bisa menyembuhkan. Barangkali hanya sisa sayup-sayup suaranya ketika fajar,
membangunkanku menghadap tuhan. Hanya sisa cerita-cerita yang dia bagikan, yang
tidak lebih dari sekedar kenangan.
Lakukanlah yang sekiranya membuat
hatinya membaik. Aku disini akan tanggal tetapi tetap berdiri. Jangan khawatir,
semogakan saja suatu hari aku akan pulih. Jadi ketika menemuinya lagi di sore
hari, aku bisa tersenyum tanpa merasakan perih, dan dia akan berlalu lagi tanpa
mengingat hari ini pernah terjadi.
Kalau baginya denganku hanyalah angan,
biar pergilah dia berlayar ke tempat yang lebih nyaman. Barangkali disana Jenuh
tidak lagi mengejar. Atau bisa jadi dia akan belajar tentang kehilangan.
Aku tidak siap, dan tidak akan pernah.
Tetapi jika aku bukan lagi alasan dia bahagia, mengapa aku harus memaksanya
bertahan?
Katakan saja padanya, bahwa aku
mencintainya. Katakan juga padanya, jika dia hilang, dia tidak akan tahu lagi
kemana aku berkelana. Ketika dia memutuskan, maka aku akan sepenuhnya menarik
diri darinya. Katakan saja.
Comments
Post a Comment