Malaikat
Sejak aku melihatnya di pagi yang berembun
itu, sedang duduk berbicara dengan angin, aku selalu bertanya-tanya, mungkinkah
tuhan marah padanya sehingga dia dilahirkan di bumi. Aku membayangkan
tawar-menawarnya dengan tuhan sebelum dia pada akhirnya berakhir dititipkan di rahim
seorang wanita yang lama mendambakan anak gadis.
Barangkali ketika tuhan hendak
menciptakan sayap di punggungnya dia justru mengelak, “aku tidak menginginkan
sayap, aku ingin tertidur menghadap bintang-bintang.” Maka tuhan uraikan sayap
itu lagi, melepaskannya perlahan-lahan agar tidak melukai punggungnya. Melipatnya
lagi kemudian menyimpannya.
Ketika tuhan hendak menempatkannya di
Surga dia justru membuat alasan, “Aku ingin berjalan di atas tanah.” Maka tuhan
tiupkan ruh nya dari segumpal daging dan darah, dan dikirimkannya ke dataran
yang gersang ini, untuk menemui seorang pemuda seperti aku, yang justru
kehilangan diri.
Setiap kali kuceritakan padanya mengenai
bayanganku tentang tawar-menawarnya dengan tuhan, dia akan tertawa kemudian
membalasku. “tahu tidak, sewaktu aku memaksa-Nya dan Ia menjadi kesal, apa yang
dilakukannya kepadaku?”
“Apa?”
“Tuhan sengaja tidak menyelipkan tulang
rusuk didalam diriku waktu itu.”
“Benarkah, mengapa?”
“Agar aku tetap jadi kepunyaan-Nya. Sehingga
tidak seorangpun akan menjadi sebagian dari hidupku selama aku
meninggalkan-Nya.”
“Mengapa tidak nurut pada tuhan? Mengapa tidur
menghadap bintang-bintang ketika bisa menggapainya dengan mudah? Mengapa berjalan
diatas tanah ketika bisa menjadikannya dipenuhi bunga?”
“Karena terkadang, memiliki sesuatu
membuatmu lupa cara mencintainya. Sementara mendambakannya, membuatmu lebih
menghargainya. Sesuatu hal yang terlalu mudah, tidak dapat mengajarkanmu
caranya berusaha.“
“Bukankah harganya terlalu mahal?”
“Kamu tidak mengerti, itu sebuah kesepakatan
dan aku telah menyetujuinya. Aku membayarnya dengan senang hati. Tidak ada yang
terlalu mahal, tidak ada pengorbanan, karena aku senang menjalaninya.”
Waktu melahap habis dirinya, walau
sepasang mata cantik dan senyum yang sama tak akan pernah luput dari wajahnya. Dia
hanya membiarkan orang-orang mencintainya, tetapi dia yakin tuhan
menciptakannya sendirian. Kisah tentangnya bukan lagi sebuah kejutan.
Aku lebih terkejut memikirkan kisah yang
tuhan ciptakan mengenai diriku. Aku pikir aku akan mengembara jauh, menemukan
gadis idaman yang mencintaiku sepenuh hati, hidup dengan dua anak yang lucu dan
baik, kemudian menjadi saudagar kaya raya. Tetapi aku terjebak disini dengannya,
seolah terperangkap dan tidak bisa kemana-mana. Aku dibuat tidak sadar ketika
umurku terus beranjak dan sampai dikepala 8 sedangkan aku tidak melakukan
apa-apa.
“Barangkali tuhan tidak menciptakanku
dari rangkaian tulang.” Kataku padanya senja itu, dengan tubuh bersandar
menghadap matahari. Dayaku hanya sekedar menyuarakan pikiran dan barangkali
mendampinginya sampai ajal.
“Lalu dari apa?”
“Dari sayap yang kala itu dilepaskan dari
punggungmu.”
“Mengapa begitu?”
“Karena aku pikir lucu, kamu tidak
diciptakan untuk jatuh cinta, tetapi aku diciptakan untuk selalu menunggu.”
Comments
Post a Comment