Bali to Barcelona

Untuk sahabatku yang lahir di batas waktu WITA
Happy New Year!

Bali to Barcelona

Aku meniup-niupkan poni yang daritadi jatuh menghalangi pandanganku. Bali, disinilah pada akhirnya aku pergi melarikan diri. Lari dari kota yang membesarkanku jadi hebat, lari dari rutinitas yang memaksaku untuk berkembang, dan lari dari orangtua yang jarang memberi waktu untuk putri semata wayangnya. Seharusnya aku sedang memainkan salju di atas tanah Barcelona dan memenuhi jadwal pertemuan relasi yang dirancang orangtuaku, tapi disinilah aku, di atas puncak Bali dan merasakan kabut yang turun. Bedugul indah dan eksotis, tentu beda dengan deretan mall di ibu kota tercinta.
"Hello honey, how's your holiday?"
“This resort area is so cool mom” Kesunyian itu menyergap lagi. Kecanggungan ini masih sangat nyata bahkan pada sambungan telephone jarak jauh sekalipun. She’d disappointed, ya karena aku memilih merencanakan liburan sendiri dan tersesat di kota orang. Sedangkan  mereka merindukanku, ‘mungkin’ merindukanku. “Mom... I'm sorry that I can’t see you on this holiday. Forgive me please”
“Honey, you don’t have ask for apology! You knew I am the forgiving type” Lalu aku mendengarnya tertawa sebentar. Mungkin sudah lama sejak terakhir kali dia benar-benar tertawa untuk suatu hal yang lucu. “Nichole, I couldn’t get you out of my mind! Yes, I may not the best mom for you but you always be my daughter. I love you honey!” suara itu terdengar pilu dan rapuh. Aku sampai-sampai lupa kalau dia sudah mulai menua.
“I love you too mom”
Lalu sambungan itu terputus. Is that so? benarkan wanita paruh baya yang menyebut dirinya ‘mommy’ benar-benar sedang merindukan anak gadisnya? Aku sedikit banyak diliputi keraguan.
Gerimis rintik-rintik bermunculan lagi. Baru pukul 11.00 WITA, tetapi langit disini terasa tidak terlalu bersahabat. Bedugul memang akrab berteman dengan kabut pada musim penghujan sekitar akhir hingga awal tahun. Aku masih belum bergeming, duduk ditepian aula kosong sambil mencoret-coret buku sketsaku dengan pensil yang hampir tumpul.Vanilla Twilight beralun merdu melalui handsfree di telingaku.
“What is it?” Aku merasa seseorang baru saja duduk dan mencuri lihat sketsa ku. Aku buru-buru menutupnya dan mengalihkan pandangan ke arah suara. Seorang laki-laki tinggi berkulit putih dengan sepasang mata biru indah dan snapback hitam di pucuk kepalanya. asing, bukan warga negara.
“What do you think you’re doing here huh?” Suaraku jadi terdengar tidak ramah, menyebalkan barangkali. Tapi aku tidak sampai hati melakukannya.
Laki-laki itu mengangkat bahunya “I was in the middle of the fun when i see a girl who likes to keeps aloof from others”
“What’s it to you? Just mind your own business!”
“Wow, calm down girl! I’m Austin from Amerika” dia mengulurkan tangannya dan aku menjabatnya. Tangan itu terasa besar dan kokoh “siapa namamu?”
Aku mengerutkan alis “Kau bisa berbahasa Indonesia?” tanyaku, and he is nooding for the answer “Nichole, dari Jakarta”
“Heran rasanya melihat warga negara Indonesia berusaha belajar dan memahami bahasa kami ketika Bahasa Indonesia sendiri menjadi pelajaran kesukaan di negara kami”
“Benarkah? Heran juga rasanya bahasa kami dicintai ketika kami bahkan mencintai bahasa penduduk lain”
Laki-laki itu tersenyum “Apa kau pergi sendiri kesini?”
“yes, yourself?”
“Tidak berbeda”. Austin tersenyum lagi, manis dengan jejeran gigi yang putih yang rapih. Semacam senyuman yang menular. “Apa yang sedang kau gambar? Aku melihatnya sekilas dan aku terpesona. May i see it again?”
Aku menyodorkannya dengan ragu-ragu “It’s nothing actually. Aku hanya,- aku hanya suka menggambar tapi tidak terlalu mahir melakukannya
“No, it’s beautiful, I love it! Is it your mom?” Austin menunjuk pada wajah wanita di dalam gambar dan aku mengangguk sedih. Aku baru sadar, sudah sangat lama aku tidak bertemu dengannya, sekedar melihatnya berbaring di tempat tidur atau memasak telur di dapur hingga berantakan.
“Kau merindukannya?”
“Mungkin saja”
“Poor you!” lalu dia tertawa. “Kidding! Why don’t you call her and say?”
“Austin, ini nggak segampang itu. Kami memang terikat oleh hubungan ibu dan anak tapi sudah sejak lama dia terlihat perlahan-lahan mengundurkan diri dari profesinya sebagai seorang ibu.”
“Bukan dia, tapi kamu! Dia berusaha untuk tetap menjadi seorang ibu tapi kamu tidak bisa mempercayainya. Itu membuatnya takut menjadi seorang ibu”
“Hey, what the heck do you know?  Kamu nggak tau apa-apa tentang aku Austin”
“Yes, no idea! Keep it to yourself!” lalu dia tersenyum, seolah apa yang aku katakan tak ada pengaruhnya. “Aku harus pergi, pesawatku akan take off beberapa jam lagi” dia memindahkan snapback nya ke atas kepalaku. “Remember me, anytime you want. Jangan terlalu sibuk untuk tertawa. Hubungi ibumu dan katakan kau mencitainya. Nichole, nice to meet you”
“Nice to meet you too”

                                    ...........................................................


Aku merasakan pasir-pasir itu membenamkan kakiku setiap kali aku berusaha melangkah. Pandawa masih jauh dari keramaian dan aku menikmati ketenangannya. Aku memilih sudut yang agak terasing untuk duduk dan membiarkan sinar matahari menghujaniku dengan sinarnya. Hotpants- ku sudah basah dijilat-jilat air sejak tadi. Aku memainkan snap back pemberian Austin sambil memikirkannya lagi. Aku menghabiskan berjam-jam duduk di kamar hotel dan memikirkan perkataanya, dan aku setuju.
“Hello mom?”
Aku mendengar suaranya yang lembut di seberang sana “yes honey, what’s up?”
“Mom, aku beli ticket pesawat ke Barcelona untuk penerbangan sore ini. All systems go. Bisa tolong kirim alamat kalian ke ponselku?”
“Seriously honey?” aku mendengar tawa riang disana “Akan ada yang jemput kamu disana, don’t worry! Nanti mommy kirim nomornya, hubungi dia kalau kamu sudah sampai di Airport. Glad to hear your voice Nichole. Goodbye, see you later!”
“Goodbye mom, salam buat daddy, see you later!”


Aku sampai di El Prat, Barcelona. Cuaca nya terasa menggelitik untuk segera masuk kamar dan menyalakan penghangat ruangan. Aku merapatkan syalku yang super tebal hingga menutupi sebagian bawah wajahku. Aku mengambil ponselku dan merapatkannya ketelinga “Helo, i’ve gotten here. Where are you? Give me some clue to find you”
“Hey, i’m here standing behind you”
Aku membalikan badan dan betapa terkejutnya aku melihat sepasang mata biru itu lagi dan senyum yang masih sama. “Austin! You’re a real nut, what the hell are you doing here?” aku setengah berlari menghampirnya sambil menarik-narik koper ku.
“Hey, don’t hit me girl!” lalu dia tertawa. “is it a miracle right? hahaha, our parents is business relation, tapi kami udah kenal seperti saudara jauh. Kebetulan sekali, aku sedang berlibur ke Bali ketika orangtuamu memberi kabar kalau kau juga ada disana. Sebelum itu, orangtuamu sering menunjukan fotomu kepadaku jadi tidak terlalu sulit untuk mencarimu. Ditambah ibumu memberi tau tujuan wisata yang akan kau kunjungi.”
“Bukankah seharusnya kita berkenalan secara resmi?”
“Bukankah lebih menyenangkan seperti ini?” dia tersenyum
“Can i still remember you boy?” aku menyikutnya

“Anytime..., come on i will take you home”



maybe, to be continued.....

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya