The Notes of Dylan (Chapter 1; prolog)



  
Untuk pak awe,

Tugasnya udah saya kumpulin ya pak

 



Prolog

Suatu hari, aku fikir
Ketika aku melihatmu pergi,
aku tak akan melihatmu kembali.

Suasana di Audiotarium kali ini sama dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Setumpuk penonton terus-menerus meneriaki nama gue tanpa suatu alasan jelas. Gue heran, apa mereka nggak takut pita suara mereka putus? Sejujurnya, suara teriakan itu cuma angin lalu buat gue. Gue disini untuk sebuah alasan jelas yang klasik; profesionalitas dan uang.
Gue sendiri nggak pernah merasa punya sesuatu yang precious. Kenyataan bahwa wajah gue cuma wajah oriental asli produk Indonesia nggak pernah membuat gue merasa istimewa. Gue nggak seganteng cowok-cowok Indo beralis tebel yang fans nya sanggup bikin negara sendiri. At least, gue cuma seorang cowok dengan level kegantengan middle yang punya peruntungan baik. Betapa heraannya gue ketika tawaran job dateng terus-terusan dan gue terpaksa mencari seorang manager berpengalaman. Tiba-tiba wajah gue terpampang dimana-mana dan lagu gue diputer tanpa henti on-air maupun off-air.
Perkenalkan, gue seorang Dylan Mahesa, cowok simple yang nggak muluk-muluk. Hidup gue Cuma sekedar melakukan apapun yang gue suka dan memastikan perut gue nggak kelaperan. Semua ini terlalu berlebihan buat gue. Tapi gue mensyukurinya. Perkerjaan gue kelewat gampang. Disaat orang lain pergi kerja banting tulang dan dapet gaji kecil, gue cuma harus senyum di depan massa dan nyanyi. Setelahnya gue dapet duit. Boro-boro mikirin haters, fans pun gue nggak pernah peduli. Semua atensi baik gue ke fans hanya sekedar basa-basi dikit dan senyum dipanggung. Selebihnya adalah tipuan lihai ala manager dan admin yang gue bayar.
“Selamat malam semuanya!”, gue menyapa penonton. Bagian ini perlu latihan berkali-kali. Manager gue ngotot kalo gue harus tampil sebagai cowok manis romantis yang ramah dan care sama fans gue.
Penonton didepan gue mulai ribut lagi. “DYLAAAAAAAAAAAN!!!!” rasanya satu audiotarium penuh sama nama gue. Padahal hari ini gue cuma akan nyanyi dua lagu. Musik dibelakang gue mulai bermain, gue pun mulai memainkan gitar gue. Gue bersyukur karena gue nggak perlu ngomong lagi. Gue memulai pertunjukan malam itu dengan single gue yang berjudul hujan.
“Hujan mengingatkanku akan kau
Sang gadis penari dibawah hujan
Suatu hari akan kujangkau dirimu
Dengan kedua telapak tanganku”
Tap. Seorang gadis membuat pandangan gue berhenti. Seorang gadis berkuncir kuda dengan kaos hujau stabilo yang mencolok. Tidak secantik Ariana Grande memang, tapi segala komposisi didalam dirinya pas. Dia menikmati lagu gue karena gue bisa liat kalau dia hafal lagu gue dan ikut nyanyi. Gue berusaha kembali mengedarkan pandangan gue ke sepenjuru audiotarium, alih-alih takut pikiran gue tiba-tiba buyar. Ketika gue kembali ke posisi gadis itu, dia udah hilang.
Entah bagaimana, gue mau melihatnya lagi

                                ........................................................................

Gue menyandarkan tubuh gue di sofa. Merebahkan diri seolah-olah gue manusia paling lelah dibumi saat ini. Pintu ruang ganti terbuka, gue tau itu pasti manager gue karena perutnya yang lagi hamil besar udah masuk duluan. Mba Ana, manager profesional yang belakangan jadi mirip peserta kerja rodi karena dia masih sibuk ngurusin gue.
Mba Ana berhenti dipintu, padahal biasanya dia langsung masuk gitu aja. “Lan, gue mau ngenalin manager baru lo. Gue akan resign minggu depan.” Dan ketika dia masuk, dia bikin gue shock, bukan karena dia! Tapi karena seorang gadis berkuncir kuda dengan kaos hijau stabilo yang membuntut dibelakangnya. Gadis itu!
Tapi gue udah terbiasa mengontrol perasaan gue. Jadi gue tetep duduk disana dan diem gitu aja. “Ko lo nggak bilang kalo lo mau resign?”
“Kan hari ini gue udah bilang! Mulai besok, dia akan ikut terus supaya ngerti. Nggak mungkin kan gue terus-terusan nemenin lo.” Gue hanya mengangguk-angguk malas. Padahal sebenarnya gue sangat antusias. “Liv, kamu kenalin diri dulu”
“Aku Livana Jane. Panggil aku Liva aja.”
“Dia juga kemungkinan nggak lama jadi manager lo Lan, dia Cuma mempergunakan waktu 6 bulannya dia. Dia anak UI, lulus cumlaude. Selamat ya, lo sekalian bisa mulai privat”
Liva. Mahasiswi UI. Lulus cumlaude. Dia seorang cewek yang punya masa depan jelas. Dari situ juga gue udah bisa menyimpulkan kalau dia adalah seseorang cewek yang punya planning besar dan peta konsep masa depan yang jelas. Gini nih, penerus Kartini yang menggunakan emansipasi wanita dengan baik. Gue salut sama dia. Tapi biasanya, anak pinter itu kutu buku, kutu buku itu berdekatan dengan istilah cupu dan nyebelin.
“Liv, kamu disini aja. Ngobrol-ngobrol aja dulu sama Dylan.” Mba Ana melirik ke arah gue. “Lan, gue masih mau ngurus ini-itu. Lo disini aja dulu ya sama Liva. Btw, dia fans lo” Mba Liva pergi keluar dan menutup pintu. Liva masih berdiri disana dan keliatan agak awkward. Gue nggak menyalahkan dia. Tapi jangan salahin gue juga karena gue nggak nawarin dia ini-itu. Semua orang tau kalo gue nggak bisa basa-basi.
Dia duduk di seberang gue. Mungkin dia capek berdiri terus dan menunggu gue mempersilahkan dia untuk duduk. “Sorry ya, sebenernya aku bukan manager profesional kayak mba Ana. Maaf kalau nanti aku juga banyak tanya sama kamu. Aku masih dalam tahap belajar”
“Lo kenal mba Ana dari mana?”
“Mba Ana temennya tanteku. Kebetulan karena aku lagi nganggur jadi aku terima tawarannya.”
Gue mengambil sepuntung rokok di meja dan menyalakanya. Sebernya, gue nggak pernah menikmati menghisap rokok. Gue masih nggak ngerti sense dari ngerokok itu sendiri. Tapi ketika gue bener-bener nggak punya sesuatu hal untuk dikerjakan atau bingung mau melakukan apa gue akan mulai merokok. Lumayanlah, naikin pamor supaya dikira anak gaul. Tapi alasan gue merokok saat ini, karena gue grogi. Gue juga Cuma mempergunakan sekitar satu batang setiap harinya dan itupun tidak pernah habis. Cuma sok jadi anak metropol yang bergaya ketika menghisap rokok. “Kenapa lo nggak cari kerja di Bank aja? Perusahaan-perusahaan besar pasti berminat sama proposal kerja lo”
Liva terbatuk-batuk. “Kerja itu butuh komitmen” dia batuk
Pada akhirnya gue nggak fokus sama jawabannya, gue malah fokus sama batuknya. “Lo lagi sakit batuk ya? gue punya obat batuk” gue menawarkan. Serius, gue nggak berusaha nyindir dia, gue bener-bener tulus nawarinnya.
Sorry, aku Cuma nggak biasa menghisap asap rokok.”
Gue memandangi sebatang rokok menyala di sela-sela jari gue. Gue jadi merasa bersalah ngeliat dia batuk-batuk karena benda kecil ditangan gue. Jadi gue menarik asbak di meja dan mematikan rokoknya. “Gue yang minta maaf. Sorry gue nggak tau kalo lo nggak bisa menghisap asap rokok.” Gue bener-bener merasa nggak enak hati.
It’s okay. Itu kan udah jadi style anak muda jaman sekarang. Kalau kamu memang rokok addicted, aku bisa keluar kalau kami lagi ngerokok. Tapi, kalau di mobil kamu bisa kan nahan rokok sebentar?”
Gue melihat raut wajahnya yang lucu dipenuhi rasa bersalah. Rasanya gue mau duduk disitu sampai tahun depan. Memandangi pipinya yang bersemu merah. Gue Cuma tersenyum dan bilang, “Nggak, gue bukan rokok addicted. Gue Cuma suka bosen aja, jadi gue ngerokok. Tapi itu nggak penting. Gue bisa nggak ngerokok”
Dia tersenyum. Senyumnya manis dan nagih. Kalau bisa, gue mau minta dia senyum terus-terusan. Padahal kalaupun gue rokok addicted, gue tau gue akan berhenti merokok kalau dia yang minta. Gila ya, bahkan dipertemuan pertama aja dia udah bikin gue kayak gini.
“Aku fans kamu”
“Oh ya?”
Dia mengagguk. “Aku suka lagu-lagu kamu. Lagunya nggak Cuma punya nilai jual tapi punya nilai historical. Dengerin kamu sama seperti lagi baca buku. Ada cerita yang tersampaikan di setiap kalimatnya. Bukan cuma lagu cinta yang liriknya itu-itu aja.” Gue seneng karena dia muji gue. Gue seneng karena dia pinter dan gue merasa diperlakukan sebagai seseorang yang sederajat.
Tapi lagi-lagi ekspresi yang bisa gue tunjukin cuma senyuman. “Gue nggak tau kalau lagu gue bisa jadi sehebat itu dimata orang.”
“Lagu kamu bagus. Itu kisah nyata? Seorang gadis penari dibawah hujan?”
Pada akhirnya gue tertawa. “Semua orang selalu berpikir seperti itu. Mungkin gue yang salah bikin liriknya. Yang ada dipikiran gue waktu itu adalah seorang gadis yang selalu menari dibawah hujan. Jadi seolah-olah gue ada disitu, menyaksikan dia menari dibawah hujan”
“Kamu romantis!” dia berpangku dagu sambil menatap gue. Gue balik manatpnya. Mungkin dia belum tau siapa gue dibalik kedok seorang cowok romantis ini. Tapi kalau dia masih berpendapat kalau gue romantis setelah dia tau siapa gue, dia hebat.
Pintu terbuka lagi, dan Mba Ana sedang berdiri disana dengan wajah lega. Wajah yang selalu gue lihat disetiap jam pulang kerja. Wajah lelah yang lega karena semua urusan beres hari ini. “Kita pulang yuk! Besok ada show besar”
Gue nggak ikhlas karena dia menghentikan pembicaraan gue dengan Liva. Entah kenapa, tapi gue betah ngobrol sama Liva. Mendengarkan opini dan komentar dia yang jujur aja rasanya berat di kuping. Rasanya konyol membayangkan gue sebagai orang lain yang melihat Dylan Mahesa diluluhkan oleh seorang gadis. Gue masih penasaran, seberapa jauh dia bisa membuat gue bertekuk lutut dan pada akhirnya menyerah pada apa yang orang sebut dengan ‘cinta’

                                ............................................................................

                Show hari ini cukup menguras tenaga gue. Bukan hanya karena gue harus nyanyi hampir lima belas lagu dipanggung, tapi karena ‘diharuskan’ melakukan banyak interaksi dengan fans. Bukan cuma sekedar sapaan “Selamat Malam” tapi gue juga harus mengatakan hal-hal seperti “Ko pada nggak semangat, belum makan ya?” Dylan Mahesa yang asli tidak pernah repot-repot melakukan itu.
                Ketika gue sampai di Backstage, Liva tiba-tiba muncul dan memeluk gue. Gue nggak pernah dipeluk sama seorang cewek kecuali nyokap gue. Ini adalah yang pertama kalinya dan dia adalah seorang gadis yang baru gue kenal kurang dari dua puluh empat jam yang lalu. Gue cuma bisa berdiri disana dan nggak melakukan apapun.
                Ketika Liva melepaskan pelukannya, gue baru sadar kalau sejak tadi gue menahan nafas dan jantung gue mulai loncat-locatan. “Kamu hebat banget hari ini, kamu keren!”
                “Cuma lo yang meluk gue setelah gue selesai show.” Pernyataan jujur itu keluar begitu saja. Datar dan nggak macem-macem. Gue merasa fine aja jujur sama dia meskipun sedikit memalukan.  Nggak ada beban, mengalir aja.
                Dia menaikan alisnya sambil menggigit ujung bibirnya. Gue tebak, mungkin dia malu dan mau ketawa. Dan pada akhirnya yang benar-benar dia lakukan adalah tertawa. “Aku lupa kalau nggak semua orang suka dan terbiasa dipeluk. Sorry, kebiasaan jadi susah di kontrol.  Aku terlalu sering meluk orang. Menurut aku itu ungkapan sayang yang wajar. Tapi next time, aku akan berusaha ngingetin diri aku untuk nggak meluk kamu lagi”
                Gue ngaku kalau gue sedikit menyesalinya. Gue memang risih dengan sebuah pelukan. Tapi pelukan Liva rasanya hangat, menyenangkan. Gue merasakan sayangnya dan kekaguman dia akan lagu gue dari pelukan singkat itu. “Gue juga akan membiasakan diri dengan itu!” Pesan yang mau gue sampaikan pada dia sebenarnya adalah ‘gue nggak papa kalau lo mau meluk gue’
                “DYLAAN TOLOOOOOOONG!” suara Mba Vera yang nggak jauh dari situ berteriak memanggil nama gue. Gue melihat mba Vera duduk bersandar di tembok dengan kaki dipenuhi darah yang mengalir dari atas. Wajahnya pucat pasi dan nggak berdaya. Liva yang tanggap langsung menghampirinya dan menelfon rumah sakit.
                Tapi, gue cuma terpaku disitu. Gue tau kejadian ini akan memicu beberapa kejadian tambahan. 1) Mba Vera akan menjadi seorang ibu dan dia akan langsung resign. 2)Liva akan menjadi manager resmi gue.
 Sekarang hanya akan ada gue dan Liva.



Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya