Three-In-One Project: BOHONG #3 Diam

Diam!


Cukup!


Hentikan dustamu itu

Kemarin kau ciptakan dusta A

Hari ini dusta B, lusa dusta C

Mungkin tidak akan pernah berakhir di Z


Aku lelah dengan semua alasanmu

Bukankah aku wanitamu? Kita sudah menjadi satu

Seandainya kau tidak pernah ada

Seandainya kau tidak mengenalkan aku dengan cinta

Sehingga aku tidak mengenal gairah

Mungkin saat ini aku masih mampu tersenyum

Mampu berkata pada dunia kalau hidup itu indah


Sekarang aku memilih diam

Memilih menutup hidupku

Mengakhiri semua tentangmu dalam diriku


AKU SUDAH SANGAT KECEWA



Hanya kata-kata itu yang tersisa. Hanya secarik kertas yang ia tinggalkan, sebelum ia mengembara dalam dimensi lain yang tidak kuketahui. Meninggalkan aku dengan jasadnya. Tak lagi kudengar riuhnya tawa. Kata-kata yang menyenangkan telinga pun tak terdengar lagi. Aku merindukannya kembali.


Saat itu, 22 Desember 2005, beberapa hari menjelang ulang tahunku. Untuk pertama kalinya aku melihat pertengkaran dalam hidupku. Si Pria pulang terlambat seperti biasanya. Aku membukakan pintu, lalu membawakan tas dan sepatunya. Ia duduk dikursi ruang tamu, bersandar dan melonggarkan dasi yang ia kenakan. Si Wanita pun datang dengan segelas air di tangannya. Alih-alih memberikannya, ia melemparkan ke muka si Pria. “Enak? Panas? Seperti itulah panasnya hatiku saat ini!” teriak si Wanita.


“Apa-apaan ini? Sudah gila sepertinya, Kau? Dasar gila!”


“Iya! Aku sudah gila dan hampir mati rasanya!” seru si Wanita dengan suara yang begitu keras. Airmatanya memenuhi matanya. Ia menangis. Ya, menangis untuk pertama kalinya.


“Katakan padaku siapa wanita itu? Wanita yang sudah kau tiduri selama bertahun-tahun. Aku sudah tahu semuanya. Kau jangan memberi alasan lagi. Dasar bajingan!”


“Jaga bicaramu! Kita tidak hanya berdua sekarang,” bentak si Pria sambil melihat ke arahku dengan tatapan sedih yang tak pernah kulihat sebelumnya.


Aku tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apapun. Pikiranku kacau. Wanita? Siapa yang dimaksud? Kenapa si Wanita begitu marah? Sudah berapa sering pertengkaran ini terjadi dan mengapa aku harus melihatnya sekarang?


Ah, sudahlah. Itu kejadian di masa lampau dan aku tidak perlu mengingatnya lagi. Toh, si Pria pun sudah pergi entah ke mana dan si Wanita juga sedang asik dengan dunianya. Sebaiknya aku pergi bekerja saja. Inilah hidupku. Usiaku 33 tahun dan aku tidak pernah merasakan tertawa lagi. Hari-hariku habis dengan melihat mayat hidup dan bekerja demi menghidupi tubuh-tubuh kelaparan.

Setiap pagi aku pergi bekerja dengan sahabat, sekaligus penjaga yang dewa langit sediakan bagiku. Melihatnya setiap pagi adalah kekuatanku. Setidaknya ada satu manusia yang menyayangiku dan ia benar-benar hidup.



Ia hadir di saat duniaku porak-poranda

Mengisi setiap relung yang kosong dan dingin

Menghangatkannya dan memberinya kehidupan

Mengajak jiwa dan pikiranku menari

Bersenandung nyanyian hidup

Entah apa jadinya jika ia tiada?



Saat aku hendak membuka pagar, sebuah motor datang dan berhenti. Tampaknya ia seorang kurir kiriman paket kilat. Terlihat dari lambang yang terdapat di box, di belakang motornya. Ia turun dan membuka helmnya dan tersenyum sambil mengatakan, “Apakah mbak Yasmin tinggal di sini? Ada titipan untuk Mbak Yasmin.”


“Saya sendiri, Mas,” sahutku sambil mengambil kotak yang ia sodorkan. Setelah memberikannya, ia pun segera pergi. Aku bingung memandang kotak tanpa pengirim tersebut. Hanya terdapat namaku di bagian atasnya. ‘Teruntuk Yasmin’.

Sahabatku yang sejak tadi berdiri di seberang jalan, segera menghampiriku. Ia menanyakan kiriman dari siapa dan aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan bingung. Ia mengambil kotak tersebut dari tanganku dan segera membukanya. Di dalamnya terdapat kertas yang dilipat dua. Ada dua lembar kertas. Kami membuka kertas tersebut dan aku terkejut. Ini tulisan si Pria. Ya, aku yakin sekali ini tulisan tangannya. Walau sudah lama berlalu, aku masih ingat betul ini tulisannya.


Kukatakan pada sahabatku untuk pergi lebih dahulu, karena sepertinya aku tidak akan bekerja hari ini. Butuh tenaga, pikiran, dan tempat untuk membaca tulisan si Pria. Dan kamarku adalah tempat terbaik. Aku menarik napas panjang dan mengumpulkan segenap tenaga untuk membuka kembali kertas tersebut.



Halo Yasmin...


Sekarang kau pasti sudah besar.

10 tahun kita tidak bertemu. Dan sekarang kau pasti tumbuh menjadi wanita yang cantik.

Maafkan aku yang setelah sekian lama, baru dapat menghubungimu kembali.

Jika surat ini sampai ditanganmu, berarti kau masih di rumah kita. Rumah yang penuh dengan kenangan.


Aku ingin menceritakan beberapa hal padamu. Aku tidak ingin mengakhiri hidupku tanpa mengatakan semuanya padamu. Ada rasa bersalah yang terus menggerogotiku dan rasanya sungguh tidak nyaman.


Aku menikahi wanita yang sangat hebat 30 tahun yang lalu. Sangat beruntung rasanya mendapatkan dia dalam hidupku. Dia wanita yang diinginkan banyak pria. Butuh perjuangan keras untuk mendapatkannya. Namun, Tuhan lebih mempercayakannya padaku. Setahun kemudian, kau hadir dalam kehidupan kami. Ku kira, Tuhan begitu tidak adil terhadap manusia lain, karena Ia melimpahi aku dengan karunia yang begitu besar. Aku sungguh menyayangimu, Yasmin.


Semua berjalan indah. Kau pun mengetahui itu dengan baik. Hingga akhirnya aku tergoda untuk mengecap kenikmatan dunia yang terlarang. Begitu  bergairah rasanya bermain dengan api. Dan saat itu aku mulai jenuh dengan kehidupan yang tenang, bahkan terlalu bahagia. Aku bertemu dengan seorang wanita penghibur. Dan dia memang benar-benar tahu caranya menghibur. Akhirnya, aku makin bosan dengan kehidupan kita yang bahagia. Sampai akhirnya ia mengetahui kebohonganku. Aku yang tidak pernah pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Uang yang habis dan tidak pernah aku jalankan untuk bisnis apapun. Pertengkaranpun mulai sering terjadi dengan wanita yang begitu kucintai.


Hingga akhirnya, pertengkaran yang menurutku tidak lagi dapat kutahan adalah ketika engkau melihatnya. Aku tak mau kau merasakan trauma dan luka mendalam, itu sebabnya aku putuskan untuk meninggalkan kalian. Aku malu pada dirimu, Yasmin. Dan aku tidak punya keberanian lagi menatap matamu.


Aku menyesali apa yang aku perbuat, tapi aku terlalu hina untuk kembali ke rumah. Tuhan memberikan aku pelajaran berharga yang  masih kujalani hingga kini. Dan aku tak mau kalian merasakan dampak pelajaran yang aku sedang jalani. Saat kau membaca surat ini, artinya waktu belajarku sudah habis, Yasmin. Dan aku sedang dihakimi atas apa yang kuperbuat padamu dan wanita yang begitu kucintai.


Kau tidak perlu memaafkanku. Karena bukan untuk itu juga aku mengirimimu surat ini. Aku hanya ingin kau tahu apa yang kulakukan selama ini dan mengapa aku harus meninggalkanmu. Terkadang menjadi dewasa, malah membuat kita susah untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain. Seandainya aku jujur sejak awal pada wanita yang kucintai. Ah, sudahlah, semua sudah terlambat sekarang.


Kutitipkan kertas yang lain untuk wanita yang begitu aku cintai. Maukah kau memberikannya padanya, Yasmin?


Aku sangat menyintaimu dengan segenap hatiku, Yasmin.


Kuremas kertas tersebut dan melemparkannya ke dinding. Seandainya ia batu, mungkin akan terdengar dentumannya. Aku tidak bersedih, bahkan meneteskan airmatapun aku enggan. Jika ia memang berencana untuk pergi selamanya, seharusnya ia tidak perlu mengirimiku surat. Bodoh. Idiot. Bajingan.


TIDAK! Aku memang sedih. Aku sangat sedih. Terlalu sedih.


Kuhampiri si Wanita yang terduduk di kursi peraduannya. Ku coba mengatakan isi surat dari pria yang pernah mengisi hidupnya. Ku pegang erat tangan si Wanita, sambil membacakan apa yang tertulis,



Sayangku, Elena

Pucuk pohon cemara tidak akan bertambah tinggi

Tidak akan ada lagi burung yang bertengger padanya

Sekarang ia hanya menunggu rembulan kembali meneranginya

Sehingga ia dapat mengakhiri hidupnya dengan kehangatan

Jika rembulan berkedip padanya, maka selesailah penantiannya

Hanya milik rembulanlah ia selamanya

Tidak akan ada lagi burung yang bertengger padanya



Kupandangi wajah si Wanita, ia mulai tersenyum. Matanya berkedip. Seakan ia memahami apa yang kubacakan untuknya. Namun, senyum itu makin menghilang dan memudar. Mata itupun mulai tertutup. Ini berjalan ke arah yang salah. Dia hendak kemana? Bagaimana dengan aku? Ini tidak adil. Tidakkkkkkkk. Ini terlalu menyakitkan.



Apakah ini akhir?

Atau ini pembebasan?

Dua manusia yang begitu saling menyintai

Lalu iblis menarik yang satu dan membuainya

Hingga ia menjadi selihai dan penuh tipu layaknya si iblis


Tapi....

Permainan tipuannya pun terbuka

Membuat lubang besar bagi yang satunya

Hingga ia menjadi seperti hantu, berkeliaran di mana-mana


Lalu...

Mereka coba untuk saling berhubungan

Mengakhiri semua yang mereka mulai

Kebohongan dan pengkhinatan

Tak ada lagi si Wanita

Tak ada lagi si Pria


Dan aku..


Hanya aku



*****



Tentang Penulis:
Seorang wanita kelahiran 26 tahun lalu, di tanah ibu pertiwi. Menyukai dunia sastra seperti ia menyukai lagu-lagu bermakna kehidupan. Sedang mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan bidang akademisnya. Dan ia bernama Elen Yulance Yosepha.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya