Paradoks Warna



Dia Biru.
Tidak selalu haru, tapi memang suka membuat rindu. Dipadamkannya seluruh yang membara dalam diriku, dengan lembut. Dengan kedalaman matanya yang teduh. Dengan tutur katanya yang halus. Dengan atensi dan kebaikan hatinya yang tulus.
"Merah, jangan marah, kalau senyummu memudar cantikmu jadi tidak bisa ditakar, aku jadi makin suka", katanya.
Kadang-kadang dia sendu. Padahal sih, dia hanya ingin merenung dengan khusyuk. Di dalam heningnya yang selalu membuatku takjub, karena diamnya dia selalu membuatku ingin gugur dan meluruh. Ingin kutatapi saja sampai aku kehabisan marah dan dihadapannya meranum, mengulum senyum.
"Merah, sini duduk! Temani aku baca buku, nanti akan kuceritakan padamu cerita yang lebih lucu dari putri salju.", katanya.
Kadang ketika aku sedang naik pitam, dia hanya akan diam dan membuatku malu, karena aku seperti marah kepada angin lalu, sedangkan orang dihadapanku mendengarkan sambil melamun. Tetapi dia selalu menghibur, karena rela biar aku perlakukan buruk, padahal maksudnya bukan begitu, tetapi aku memang tidak bisa sedikit patuh.
"Merah, jangan mengutuk! Kamu sih tetap membuat aku tersipu, tetapi kalau lebih lembut, kan jadi lebih imut", katanya.
Dia bilang sabar, padahal aku suka yang segera dan buru-buru. Meskipun aku juga suka dia, tapi aku tidak bisa melambat seperti siput. Semua perhitunganku rasional, terstruktur, dan sesuai prosedurku. Dia biasanya ikut-ikut, tapi kalau sedang menyebalkan, jadi suka menguji kesabaranku yang batasnya tidak lebih besar dari butiran salju.
"Merah, pelan-pelan saja! Nanti juga kita sampai disana", katanya.
Ironisnya, aku selalu ingin cemburu. Aku yang egois jadi lebih egois dan sedikit-sedikit cemberut kalau dia sudah dekat-dekat dengan para gadis yang suka sok malu-malu. Kecentilan sampai suka tarik-tarik baju. Kalau sudah begitu, aku pasang wajah paling membuat bersalah sambil manyun-manyun. Tidak mau balas chat nya sampai besok pagi turun. Aku senang kalau dia merasa bersalah dan minta maaf mulu. Kemudian dengan nada merayu, “Merah, jangan suka iri kepada mereka. Mereka itu cuma tebal bedak, kalau kamu bisanya bikin tebal cinta.”
Ah Biru!

**********
Dia Merah.
            Tidak pernah aku melihat seseorang dengan semangat yang benar-benar membara. Mata yang selalu berkilat-kilat dengan cahaya setiap kali senja merangkak ke angkasa. Tidak pernah ada yang tertawa dengan caranya, tidak pernah takut dengan dengan argumen orang-orang. Selama dia bahagia dan bebas, dia akan mengudara di tiup-tiup angin kesini dan kesana. Kata orang dia pemarah, bagiku dia hanya suka bercanda dengan cara yang luar biasa menyeramkan. Dia mengajarkanku bahwa melangkah melwati aturan menyanangkan. Dia mengajarkanku kehidupan lebih sekedar bernapas dalam penat.
            “Biru, jangan suka menunduk! Hidup itu memang kalut tapi tunjukan kamu tidak takut! Biru pasti sanggup” katanya.
            Dia senang beradu pendapat karena prinsipnya haruslah menang dalam pertempuran. Dia mengalah karena lelah dan pada hakikatnya tidak pernah mau mengalah, untung saja aku lebih suka mengalah daripada berperang. Kata-katanya selalu berani dan orasi nya selalu di dengar. Tidak penuh dengan drama dan tepat sasaran.
            “Biru, hidup itu bukan orang lain yang menuntut! Kalau mau berpendapat tidak perlu melugu begitu!” katanya.
            Dia menyukai hal-hal yang indah tetapi sederhana, semoga aku salah satunya. Tidak suka komitmen dan bertahan lama-lama walaupun aku berusaha memohon kepadanya. Kesabarannya hanya sebesar biji zara, kalau dipaksakan, tetap dia nanti yang marah-marah. Dia meledak kapan saja, tetapi banyak orang senang di dekatnya dan menuruti aturannya. Aku paham dia bukannya membentak, tetapi suaranya lantang, dan keramaian itu mengisi ruang kosongku yang hampa.
            “Biru, nyanyian burung merdu, langit indah kalau sedang mendung, topi barumu luck.” katanya.
             Dia penuh dengan spontanitas. Aku kagum kaarena dia sangat berani dan mencintai tantangan. Dia tidak perna bisa duduk diam berlama-lama mengerjakan hal-hal yang menurutnya tidak memberikan apapun untuk hidupnya. Dia membuat batasan-batasan yang membuatku sadar bahwa begitulah keteguhan yang sesungguhnya.
            “Biru, jangan jadi penurut. Jangan selalu mau kalau disuruh, kamu itu seharusnya terbang jaur!”katanya.

            Dia mandiri, aku jadi takut tidak berguna sama sekali di dalam hidupnya. Dia bisa kemana-mana tanpa takut tiba-tiba mati di tengah jalan. Dia bilang dia tidak pernah takut salah karena hidup adalah belajar, tetapi bagaimana jika aku kesalahan itu juga? Tapi dia selalu meyakinkan, “Biru, jangan suka membuat praduga buruk. Kalau aku suka kamu, meskipun aku tidak bisa memasakan bubur, tetap saja aku suka kamu. Jadi jangan suka berpikir begitu.” katanya.


Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya