Hujan Nanti

 Aku merindukan hujan.
            Jatuh semalaman, berpesta, membuat kerusuhan di setiap jendela, sambil menyapu setiap keresehan yang berjatuhan di sepanjang jalan yang pernah kulalui bersamamu. Seperti waktu berjalan mundur, kepala dan dadaku mengenang jutaan jam yang lalu ketika semua mimpi kita terasa seperti angan-angan. Tidak hanya keberanian, tetapi sikap pantang akan rasa bersalah untuk meraupnya satu-persatu.
            Bertahan. Menyerah. Membuat jarak. Gagal. kembali. Bertahan. Kemudian mengulang siklus yang sama diam-diam. 
            Mata yang kutatap berulang kali. Aku pernah melihatnya bahagia, kemudian sedih, lega, kemudian putus asa, penuh pengertian, kemudian berusaha tidak peduli, hangat, kemudian membeku. Tetapi dengan cara apapun, aku selalu menginginkannya. Kalau beralih dan berpaling, aku selalu merasa ditinggal sendiri. Aku akan lebih sedih, sampai lupa caranya menangis, padahal kamu tahu betapa cengengnya aku.
            Aku rindu hujan.
            Tetapi ada gundah yang mengkhawatirkan setiap kali aku memikirkannya. Aku teringat betapa mudahnya kehilanganmu beberapa waktu lalu. Rasanya aku harus bangun setiap pagi dengan sejuta kemungkinan yang tidak pernah ada polanya. Terkadang kau tiba, terkadang kau pergi, terkadang kau menunggu, terkadang mulai hilang sabar. Betapa takutnya aku. Masih ada sejuta hal yang ingin aku bicarakan dan sejuta mimpi yang mungkin hanya bisa kita wujudkan jika berdua, dan parahnya aku tidak tahu apa kau benar-benar ingin tinggal. Malamku jadi panjang, padahal tetap tidak berbintang.
            Kita akan mulai membahas pertrichor dengan perasaan yang lebih ringan.
            Betapa jauhnya perjalanan yang kita lalui. Tetapi kekhawatiranku kali ini akan selalu berakhir dipelukmu, digenggaman tanganmu, disetiap tawamu, dan rasa percaya diri bahwa kita masih disini untuk satu sama lain. Semua ketakutan dan perdebatan itu, seringkali aku hanya ingin tahu seberapa besar inginmu disini. Apakah aku cukup penting sehingga mampu membuatmu tinggal atau sekedar kerumitan yang akan segera kau lewatkan. 
            Kamu sudah berkali-kali berpikir untuk pergi, dan aku selalu disana, menyaksikannya, menunggu kemana keputusan itu akan menemui persinggahannya, bersiap  untuk berjuang atau melupakan, dan aku tidak pernah ingin kembali lagi kesana. Tidak akan pernah! Membahas mengenai perahu dan nakoda tidak menyenangkan. Membayangkanmu bahagia dan aku tertinggal dibelakang sebagai bayangan tidak pernah menggembirakan. Aku selalu benci membicarakannya, walaupun sakitnya selalu mampu membuatku berpuisi. 
            Katanya, kamu juga rindu hujan.                                                         
            Aku tidak tahu apa kau masih ingat berkali-kali, dibawah guyurannya kita pernah berduka. “Salahkah kumenuntut mesra?” tanyanya, tanyamu, tanyaku. Mengapa tidak boleh? Apa aku yang terlambat? Atau kau yang berlarut? Tetapi kala itu sangat mesra. Aku tahu caranya tersenyum ketika satu kedipan lagi, air mataku akan segera terjun bebas. Kamu pasti lebih paham. Betapa hal datang dan pergi tetapi kemudian aku memaksamu untuk tinggal. Dan betapapun romantisnya, aku tidak ingin mengulangnya. 
            Aku masih mengenang betapa lamanya hujan tidak turun.
            Sebuah indikasi betapa waktu bergulir dan kita terjebak disini. Aku mempeributkan masalah kecil yang kamu buat, kamu meributkan betapa tidak adilnya aku karena tidak mengenang juangmu. Aku semakin takut, bagaimana jika ketakutanku yang membuat ketakutan itu sendiri terwujud. Paradox katamu, betapa kamu mencintai kata itu. Dan sekarang kamu akan mulai memikirkannya lagi.
            Jika hujan turun lagi nanti,
            Dia akan menyampaikan betapa rindunya Ia pada kita. Pada setiap malam yang kita habiskan mengadu, melupakan ramainya jalanan, sebab esokpun semu. Pada setiap pagi bijaksana, yang selalu mengantarkan senyummu yang sehangat tungku, menyatakan kau masih disini, tidak tahu sore. Pada setiap pesan singkat yang menjadi berbaid-baid puisi, karena rasanya enggan berakhir, padahal jalan setapakpun tak nampak. Pada setiap maaf yang mengantarkan kita kembali, mengulang lagi, berusaha lagi. Pada setiap kecewa yang gagal menanggalkan.
            Aku hanya akan kembali kepadamu.
            Karena semua rasaku membutuhkanmu sebagai hunian. Mereka akan pulang beriringan walau jalanan berbatu dan naik-turun. Bukan sekedar ingin, aku akan menamainya nanti, tapi kupastikan mereka pulang. 
            Selalu padamu.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya