Panggung kisah

        Ada skenario yang bercerita ketika aku dalam drama. Aku sedang berperan di sudut panggung, memperhatikanmu berlarian kesana dan kemari. Aura-mu berpendar, memercik seperti serpihan bintang yang ditarik gravitasi matahari. Dibawah sorot rembulan dari spotlight yang remang, aku masih mengagumimu. Bahkan kalaupun panah dari jemari Rama berusaha menyoyak cinta di dalam raga, kau tetap serpihan kecil yang kusimpan seorang diri.
        Aku tak mau membuat rekayasa. Aku ingin kita bercerita dengan sendirinya. Panggung itu adalah bumi dimana kaki menemui pijakannya. Seluas tanah dan air apabila menjadi semu. Katanya, rindu pada matahari hanya terbit ketika cahaya menjadi butiran salju. Maka biarkan setiap percakapan singkat itu menjadi fragmen-fragmen yang milyaran harganya. Walau aku penuh dengan pengharapan, aku tak akan maju dengan pedang untuk berperang.
        Kulitmu yang cokelat, rambutmu yang legam dan selalu rapih, hidungmu yang sudutnya meruncing, jika aku dapat menukarnya dengan separuh purnama, maka aku akan melakukannya. Namun aku hanyalah hamba perbudakan cinta yang dibuat membabi buta.
        Ada Eurus di Timur pada saat Romawi membawa kejayaannya, tapi kau selalu ada dalam lembar-lembar memori pada ruangan paling sempit sekalipun. Tak lagi ada panggung Coloseum yang memburu budak dengan gladiator. Hanya panggung sederhana berhiaskan lilin yang berkisah tentang penggalan kisah cinta pada abadnya. Kau bermain, aku bermain, tapi pada episode kisah dari dongeng yang berbeda.
       Hanya aku tak ragu apabila si jubah merah akan bahagia bersama Aladin suatu hari nanti, dan barangkali Jasmime tersesat pada epilog kisah lain.
        Kenapa kau tak lari saja, dan bermain di panggung ku? Biar kita jadi kisah baru dalam sejarah

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya