Arjuna

To the rain that falls down into the earth
and touch me softly
Thank you~



       Aku mengintipnya dari celah-celah rak buku yang tinggi. Sambil beradu kuat dengan sorot matahari yang yang berusaha mencolok-colok mataku. Aku mengaguminya, laki-laki dengan mata hazel yang begitu hangat, seperti lelehan cokelat yang lumer didalam mulut. Indah, lezat, menggairahkan. Aku bagaikan tersungkur setiap kali berusaha melekatkan mataku pada siluet dan bahkan setiap senti bayangan tubuhnya. Aku sering memimpikannya terbang dengan sayap putih dari bulu yang direkatkan hingga tebal. Mungkin dia jelmaan malaikat, pikirku liar.
     Arjuna. Begitu nama itu terngiang-ngiang dari fajar hingga gelap, tak pernah berhenti, tak pernah letih. Dialah satu-satunya yang berhasil menembakan panah kearahku dan membuatku tak berdaya. Aku sekarat dibuatnya dengan ribuan panah yang menancap setiap detiknya. Dia bisa saja membunuhku dan menghidupkanku.
     Dia selalu bersahaja, selalu seperti itu. Dia begitu indah ketika tenggelam kedalam tumpukan buku yang sedang dibacanya. aku melihat raganya duduk dan membaca dengan tenang tapi aku dapat merasakan jiwanya mengembara kemana-mana. Arjuna. Aku memperhatikan rambutnya yang rapih dan biasa saja. segalanya tentang dia, sederhana. Tapi menarik. Cukup untuk mencanduku seperti bius.
     Ya tuhan, dia bangkit dari duduknya. Tubuhnya tegap dan cukup atletis, tinggi dan menawan. Tapi, mau kemana dia? Tidak, tidak mungkin, tidak boleh, dia tidak boleh berjalan ke arahku, dia tidak boleh menghampiriku, tidak boleh menatapku. Aku begitu canggung, aku begitu tidak siap.
     Dia duduk dihadapanku. Ya ampun aku bagaikan diserap bumi ketika aku menatap matanya dan tenggelam didalamnya. Hangat, seperti perapian pada bulan Desember. "Aku rasa, mengapa kau tidak mencoba menghampiriku daan mengajakku berbicara? Kau mata-mata yang sangatsetia tetapi kurang handal. Kau membuntutiku seperti teroris"
     Api menyulutku hingga rasanya bukan hanya wajahku saja yang merona tetapi juga jari kelingkingku.. "Kau membuatku terdengar begitu menyedihkan. Mungkin kau punya refrensi privat menjadi mata-mata handal?"
     Dia tersenyum, "aku punya penggemar yang cukup cerdas, sangat mengesankan! Mungkin aku bisa mengajarimu menjadi mata-mata handal. Datanglah besok sore ke Cafe KENT. Persimpangan jalan Everdeen, dua blok setelah belok kiri. Aku akan lebih dulu tiba"
     Rasanya aku ingin menarik langit kedalam pelukanku dan membelah-belah angin seperti balita. "Apa kau akan meyediakan  kereta kuda untuk menjemput Cinderella dengan sepatu kacanya?"
     "Sepatu kacamu harus digunakan berjalan"

                                                          ....................................................

     Membayangkannya saja sudah membuatku hampir gila. Dia mengkonsumsi semua tenagaku hingga aku harus mati. Dia membuatku tak bisa makan dan tidur. Aku seperti orang gila yang tidak ingat dengan namaku sendiri. Dia menjadikanku butiran hujan yang hilang terus-menerus.
     Panah jarum jam pada dinding yang berdetak memburuku terus-menerus. Aku seperti melompati dekade demi dekade. Aku begitu sibuk dengan setumpukan baju yang akan kukenakan dan barisan sepatu yang akan kugunakan. Arjuna membuat segalanya rumit. Aku memutuskan pilihan pada sebuah dress selutut berwarna peach yang halus dan tipis. Bahannya jatuh dengan sempurna. Setiap kali angin meniupkan tepiannya, gaun ini seolah-olah akan mengangkatku ke langit.
     Ah sialan! Laki-laki itu benar-benar membuatku frustasi. Dia mematahkan setiap mili meter ketangguhanku. Aku berjalan melalui jalan Everdeen dengan jantunga yang mendetakan seluruh tubuhku. Laki-laki itu bahkan tidak bilang pukul berapa tepatnya. Aku melirik jam tanganku, pukul 04.00 sore. Belok kiri, dua blok dari situa ku melihat papan kayu bertuliskan "KENT". Aku memperisapkan diri. Aku mengendalikan grogiku (walau aku tidak bisa).
     Aku memasuki cafe itu, disambut dengan dentangan lonceng diatas kepalaku. Cafe itu begitu klasik, sangat hangat. Hanya ada beberapa meja kayu yang berbaris disepanjang jendela. Sisanya adalah rak-rak kayu tinggi yang dipenuhi oleh buku. dari yang masih sangat baru untuk dibaca sampai yang halamannya sudah menguning dimakan usia. Sepasang bola mata mengitntipku, lalu siluet itu muncul, Arjuna. Jantungku berdebar-debar, siap memacahkan tulang dadaku.
     "Kau sudah tiba?" Tanyanya.
     "Kau sudah tiba?" Aku balik bertanya. Bodoh. Tolol. Ceroboh.
     Dia tersenyum "Tentu saja, bukankah sudah kubilang aku akan lebih dulu tiba?"
     "Aku ingat kau pernah mengatakannya" timpalku.
     "Tapi aku berharap kau datang lebih cepat!"
     "Aku berharap kau memberiku jadwal pertemuan yang jelas. Kau membuatku ragu!"
     "Wanita memang selalu menyalahkan pria"
     "Pria tidak pernah mau disalahkan, koreksi, pria tidak pernah mau mengakui kesalahnnya!"
     Dia tersenyum lagi "silahkan duduk, pilih saja tempat yang kau suka, nanti aku akan menyusul" Katanya dengan lembut. Aku baru sadar kalau dari tadi aku sedang berusaha menahan bonot tubuhku diatas tungkaiku yang lemah. Aku memilih tempat secara acak lalu duduk dengan gugup.
     Arjuna menghampiriku dengan setumpukan buku yang diletakannya diatas meja. "Dimana pelayannya? Apa meraka tidak keberatan kalau kau membawa buku sebanyak itu?"Aku bertanya kepadanya dan dia hanya menggelengkan kepalanya.
     "kau mau makan apa?" Tanyanya padaku.
     "Aku mengangkat bahu. "Aku perlu menu list. aku tidak pernah datang ke Cafe ini sebelumnya Aku tidak tau apa saja yang mereka sediakan"
     "Arjuna mengetuk  meja lalu beberapa pelayan berseragam hitam putih datang menghampiri kami. "Bawakan saja makanannya untuk kami" Kata Arjuna.
     Pelayan itu membungkuk lalu kembali lagi dengan piring demi piring makanan-makan dan minuman-minuman lezat. Lagu "Almost is never enough" terdengan dari pengeras suara. "Cukup mellow, lagu ini sudah ketinggalan zaman. Aku rasa cafe ini harus memperbarui musiknya terus-menerus" kataku.
     Arjuna tidak bergeming, dia memotong steak diatas platenya lalu menatapku. "Aku tidak peduli. menurutku lagu itu selalu punya ceriita. Bukan trend dan waktu yang membuatnya hidup tetapi kisah yang diceritakannya" dia tersenyum kepadaku. aku berharap tidak salah memotong jari-jari tanganku. Senyumannya benar-benar mengandung sihir. "Aku bilang cafe ini, bukan kau!" kataku.
     "Cafe ini punyaku, lagunya adalah kekusakaanku" Katanya tenang, datar, biasa saja. Rasa bersalah terbang bergejolak didalam perutku. Bagaimana bisa aku mengatakan hal sebodoh itu! "Maafkan aku"
     Dia tertawa, "Tidak apa-apa, sungguh! Ngomong-ngomong aku ingin bertanya satu hal, aku ingin bertanya apakah benar namamu Julliette?"
     Aku merasa baru saja diguyur ber ton-ton susu hingga rasanya aku ingin muntah "Kau tau namaku"
     "Jadi, benar itu kau?" Dia balik bertanya
     "Bagaimana kau bisa tau namaku!" Aku menodongnya
     "Kau juga tau namaku bukan? Kau tau, sebenarnya disini kurang privasi. kalau kau sudah selesia makan, kita bisa membicarakannya dilorong sambil memilih beberapa buku mungkin? Pemilik tempat ini begitu baik hati sehingga tidak menetapkan harga bagi para peminjam!" Katanya dengan puas, memuji diri sendiri

                                                          ..........................................

     Aku bersandar di sebuah rak buku dari kayu Mahoni. Ada penerangan dari lampu spot yang tidak terlalu terang, lebih mirip dengan studio. Arjuna duduk disampingku dengan sebelah kaki ditekuk. Aku berdo'a semoga dia tidak mendengar detak jantungku melompat kegirangan.
     "Aku sudah lama memperhatikanmu. Mungkin kau yang tidak pernah sadar. Aku bahkan sudah mengagumi sejak kau masih memakan bekal sambil bermain ayunan" dia tersenyum simpul.
     "Bagaima.... Astaga bagaimana kau bisa tau?"
     "Aku anak laki-laki yang duduk disebelahmu setiap jam makan siang. Aku anak laki-laki yang membawakan snackmu, Aku anak laki-laki yang mengulurkan tangan ketika kau jatuh"
     "Aku tidak...."
     "Tidak ingat!" Tebakannya jitu. "Aku pengecut, semakin aku besar semakin aku takut mengajakmu berbicara. Aku tidak ingin kau justru menjauhiku karena aku mengajakmu bicara. Aku ingin menjadi temanmu, kau terlihat sangat baik waktu itu. Sampai aku harus pindah ke Kalimantan. Aku baru kembali setaun yang lalu dan mendapati diriku menemukanmu lagi. Aku takut salah mengenalimu, tapi itu kau, kau disini!" Katanya, seperti seorang anak kecil yang baru saja menang.
     "Aku tidak tau apa yang ingin kukatakan" Kataku jujur
     "Begitu juga denganku"
     "Yatuhan kau membuatku bingung" Aku mengacak-acak rambutku sendiri.
     "Bahkan setelah sekian lama, aku masih takut megajakmu bicara, tapi aku lebih takut mengulangi hal bodoh yang sama dua kali"
     Tiba-tiba aku tersipu dan tersenyum sendiri, menembus dunia khayal "Kau mengingatkanku pada Adam"
     "Adam?"
     "Adam Kent"
     "Itu nama cafe ku" katanya antusias "Kita pasti membaca novel yang sama. Adam Kent, Juliette..."
     "Dan Wanter, " Tambahku.
     "Kalau begitu, biarkan aku menjalani peranku sebagai Adam. Aku cukup bodoh dengan bertingkah sepertinya. Sekarang kau disini, aku ingin kau selama nya disini. Bersamamu, aku bukan lagi kepingan cerita"
     Aku tak tau apakah harus tertawa atau terharu. Semua perasaan itu menyulup masuk hingga terasa membakar pori-poriku. Arjuna menarik tanganku dan menangkupnya dengan tangannya. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya, merasakan wangi parfum dan sejuk tubuhnya. Aku takut menalan detik-detik ini hingga habis dan berlalu.
     "Kau tau, sebenarnya aku lebih suka pada Wanter dibandingkan Adam" Kataku jujur.
     Dia terkekeh, "Tentu saja kau lebih menyukai Arjuna"
      Langit mengulum-ngulum manis yang menelan segala pahit. Andai aku menyapanya sejak dulu, andai aku memperhatikannya sejak dulu, andai aku tau segalanya semudah ini sehak dulu. Tapi tuhan punya rencana, segalanya indah pada waktunya.


`~the end~



*Caharacter Adam Kent, Juliette dan Wanter adalah nama-nama tokoh dari novel Shatter Me, karangan Tahereh Mafi. Terbitan Mizan, 2011





   
,

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya