Kursi Roda

Kau merebut hatiku. Kita saling jatuh cinta. Benarkah? Ataukah kita hanya saling menginginkan. Karena kita pikir, kita lengkap bersama. Berdua, kita sempurna.

Tapi kita tak lihat. Utara dan utara saling menolak. Api yang lebih besar tidak mengalahkan api yang sebelumnya. Tetapi, air akan memadamkannya. Panas tidak akan pernah mengakhiri kemarau, tapi hujan akan menyejukannya.

Maaf aku tidak bisa melengkapimu. Begitupula kau kepadaku.

Karena kita tidak saling membutuhkan. Apa yang kau butuhkan tak bisa kutawarkan. Apa yang ku butuhkan tak pernah kau berikan.

Maaf karena kita tidak bisa setimbang.

Karena aku tak bisa menutupi kurangmu, begitu pula lebihmu tak bisa menutupi miliku. Aku dan kau sama tinggi, sama rendah pula. Tak pernah bisa seimbang. Lalu bingung dengan persamaan. Kau dan aku identik. Dalam raga yang terpisah. Coba jabarkan padaku, bagaimana hadirku mempengaruhimu?

Aku ada maupun tidak, hidupmu rasanya sama saja. Begitupun aku.

Untukmu dan untukku, dunia nampaknya sama saja. Tak jauh berbeda. Aku sibuk dengan masa depanku, begitupun dengan kau. Kita berdebat, kita terdiam, kita tersadar, kita memaafkan lalu saling menjaga jarak. Tapi setelahnya kita akan saling memulai lagi. Kuantitasnya bertambah, kualitasnya meningkat.

Maaf aku tidak bisa meleburkan bara emosimu. Ketika kau marah, ketika kau meledak, aku mengecil, tak tau harus bagaimana. Maaf aku tidak bisa meredamkan ambisimu. Ketika kau nampak begitu kuat dengan seluruh keinginanmu, aku tak bisa berbuat banyak. Aku merasa tersingkir sebagai pecundang. Karena mimpimu begitu hebat. Begitu juga dengan kau. Kita berpura-pura memahami. Padahal, kita hanya sama-sama berusaha menyembunyikan ketidak tahuan kita.

Maaf aku tidak bisa merengkuh deritamu. Begitu juga denganmu.Kita berusaha membagi, berusaha menerima, berusaha berempati, hanya tidak tahu bagaimana harus bersimpati. Bagaimana menjadi pendengar yang bisa merasakan hati pendongengnya. Kita berpikir, tetapi ironisnya tida pernah berhenti. Sehingga, untuk merasakan apa yang otak tolak untuk pikirkan rasanya sulit. Logika kita bermain tanpa henti, berupaya mengalahkan hati.

Sadarkah kau? Bahkan ketika hujan gerimis di tengah lampu merah, kita tidak pernah saling menertawakan. Kita tidak membagi lelucon dan melepaskan beban di pundak. Kita terus menahannya. Membicarakan topik seputar nilai Math kemarin dan presentasi pagi. Membahasnya dan mengevaluasinya. Tidak adakata nyaman. Dimana kita seharusnya bernyanyi bersama dan mampir di warung emperan sekedar menyeruput semangkuk wedang jahe. Seharusnya kita tertawa sampai perut mulas dan pipi yang mulai memerah. Tetapi pernahkah?

Kita sempurna. Berdua, kita kuat. Berdua, kita pantang terkalahkan. Berdua, kita mengundang opini cemburu masyarakat luar yang menganggap kita bahagia. Jangan sampai, mereka mengintip kedalam dan hanya melihat pekatnya hitam yang kosong. Lihai nya kita, hebat sekali menciptakan sampul menarik yang membuat semua orang gigit jari.

Tapi ini melelahkan untuku. Begitu juga denganmu. Bukan begitu?

Kenapa kita tidak pernah saling melepaskan? Karena kita takut pincang! Kau dan aku, kita bukanlah apa-apa. Karena kita takut jadi berbeda, jadi cacat, karena kita tidak utuh. Tetapi yang sebenarnya, kita tidak pernah berubah. Tak satupun dari kita yang membuat salah satunya utuh. Kau adalah kursi roda untuk kakiku yang sehat. Begitu juga aku untukmu. Membantu, tetapi tidak berguna. Tidak vital.

Coba kau tanyakan pada dirimu, pernahkah kau mencintaiku? Atau perasaan itu konstan tanpa pernah mengalami cemburu dan bahagia. Dan hubungan ini kita jalin sebatas formalitas atas nama status antara dua orang yang 'katanya' saling mencintai. Tetapi tidak ada yang menilai, tidak ada yang menghakimi, mengapa kita takut terlihat salah. Justru yang tidak terlihat adalah yang salah

Kapan kata 'nanti' akan berakhir? Kita tidak berani mengakhirinya, tidak juga berani melangkah maju kedepan. Aku tidak sanggup lagi menggores kertas bersamamu sebagai garis sejajar yang tidak punya titik temu.

Kita beriringan, tidak untuk hidup saling berdampingan. Aku butuh puing-puing kecil yang bisa menyelinap masuk menutupi rongga kosongku. Begitu juga denganmu. Aku butuh selatan yang akan mengerat sewaktu berdekatan denganku. Begitu juga denganmu. Aku butuh hujan, setidaknya gerimis untuk memusnahkan kemarauku. Begitu juga denganmu

Begitupula aku dan kau bertemu untuk melihat refleksi sesama. Untuk menemukan jati diri di jiwa yang lainnya. Kita akan kehilangan kursi roda. Untuk sejenak duduk ketika tak lagi sanggup berdiri. Tapi kau dan aku, kita masih punya kaki untuk berdiri. Jangan takut. Aku sedang berusaha meyakinkanmu, bahwa kau kuat ada atau tanpa aku. Begitu juga denganku.

Keputusan ini terasa berat. Taukah mengapa? Karena kau laki-laki yang diharapkan jutaan wanita. Dan aku perempuan yang dipikirkan orang cukup baik menjadi pendamping. Tetapi kedua orang ini tidak untuk jadi satu. Percaya padaku, segalanya akan lebih baik setelah ini.

Dan kita belajar, kesempurnaan belum tentu membagikan bahagia

Bukankah begitu?

Comments

  1. aku udah baca blog kak desva sampai titik ini. dan dari semua yg udah aku lewati dan sempatkan menyelami hanya bagian ini yg menyentuh bagi aku. bukan yg lain tidak bagus, bagus kok. tapi ini relate bgt sama aku hehehe... keren banget kamu kak! semoga sehat selalu yaaa!

    - feby

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya