Sampaikan Padaku Walau Hanya Satu Kata

Diperuntukan untuk yang tersayang,
Dan satu-satunya,
Dan yang paling buta,
Dan yang paling tidak peduli
Pada seseorang yang berjuang, juga menyerah demi dirinya


Aku melihatnya dari kejauhan. Dan rasa tangguh itu mengendur lagi. Terus menanyakan keyakinan itu sendiri. Aku mengulanginya berkali-kali. Sampai beberapa waktu lalu aku mengerti, bahwa menyerah hanyalah kata dan keinginan belaka. Karena cinta membuatku tak bisa bangkit usai bertekuk lutut dihadapannya. Dia yang membuatku sebegini tersiksanya. 

"Silena" dia menghampiri lagi, dan dia tersenyum lagi, bibir itu bicara lagi, menyapa lagi, melafalkan namaku lagi, mata itu manatap lagi, melihat lagi. 

"Iya?" Dan aku tersenyum lagi, berdiri dihadapannya lagi. Lalu hatiku berdegup lagi, sakit lagi, lalu patah lagi. "Kenapa El?" 
Elano. Laki-laki tampan yang punya rekor terbaik memecah belah hatiku lalu menyusunnya sampai utuh kembali. Laki-laki yang hampir genap dua tahun membuat aku pernah mati dan pernah hidup. Dia yang membuatku bingung sendiri. Dalam malam-malam yang terus menggemakam namanya. "Mau ngingetin aja, besok shooting terakhir buat project kita. Jangan lupa jam 4 sore ya Len. Terus, gue suka banget sama dialog terakhir. Lo keren!" lalu dia melambaikan tangan dan pergi begitu saja. Setelah sempat membuatku terbang sebentar.

"Sampaikan padaku walau hanya satu kata" dear Elano....

Aku bergumam dalam hati.
..........................................................

"Sampaikan padaku walau hanya satu kata" laki-laki itu berjalan menjauh menyusul ombak yang ditelan langit terbenam. Meninggalkan pasir di pesisir. Diantara kelabu dan hujan gerimis yang sedang menangis. "Cinta", lalu tubuh itu semakin jauh dibawah kaki melangkah. 

"CUT!" Elano berteriak, lalu bertepuk tangan setelahnya. Kami semua saling bergembira. Aku, Elano, Niko si artis utama, Rena sebagai lawan mainnya, dan beberapa teman yang ikut menyumbangkan partisipasinya di short movie ini. Kami saling merangkul, tidak peduli dengan gerimis tajam yang berlomba mendarat paling cepat. "Buat lingkaran semuanya, sebelum pulang kita berdo'a" kata Elano.

Kami membuat lingkaran kecil diatas pasir pantai. "Semuanya, gue makasih banget buat bantuan kalian. Terutama buat Niko dan Rena, kalau nggak ada kalian film ini nggak akan ada" dia bahkan tidak menyebut namaku. Aku yang berdiri dihadapannya bagaikan mentari yang baru saja menghilang. Sudah tidak ada rimbanya. "Dan untuk kalian semua yang ada disini." Dan untuk orang-orang yang tidak teristimewakan baginya. Yang tidak berwujud orang di retina matanya. Termasuk yang membuatkan "naskah kecil" untuk maha karyanya yang besar. 'El, aku sudah terbiasa dengan itu' 

"Untuk itu, sebelum kita pulang ada baiknya kita berdo'a dulu. Semuanya, tutup mata ya. Berdo'a menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdo'a dimulai"

Aku hanya bisa berdo'a tentangnya. Aku lupa caranya memohon dan berterimakasih pada tuhan atas hal-hal lainnya. Setiap baris kata itu, terselip namanya disana. Nama yang pemiliknya bahkan tidak sadar bahwa orang di dekatnya begitu mencintai. "Berdo'a selesai"  dia membuka mata lalu beranjak pergi. Begitulah caranya mengucapkan selamat tinggal. Dia mengucapkan "selamat tinggal" tanpa mengatakannya. Dia hanya pergi menjauh. Memaksa orang lain memandangi punggung tegap itu menghilang di kejauhan. 

Kadang aku ingin berteriak di telinganya. Mengingatkannya bahwa akulah yang menyedu kopi untuknya sewaktu kami harus lembur usai sekolah. Akulah yang menawarkan sejuta solusi untuk memerangi masalahnya. Akulah yang bertahan meski tidak pernah digubrisnya. Akulah yang memberikan segalanya ketika dia tidak memberikan apapun kepadaku. 

Elano, "Sampaikan padaku walau hanya satu kata. Cinta...."

Aku ingin tertawa. Ingin menertawakan kisahku sendiri. Mengapa hidup ini begitu lucu. Aku tersangkut dengan cintaku atas dirinya. Disaat dia enggan, bahkan untuk memandangku sedikit lebih lama. Segalanya selesai. Project itu sudah selesai sekarang. Tugasku selesai. Pertemuan singkat itu selesai. Senyuman, sapaan, tatapan, sudah tidak punya episode lagi. Seri nya sudah habis. Sudah mentok ending. Endingnya? Tidak bahagia....

Andai bisa, aku ingin menampar takdir. Memakinya atas dongeng Piluh yang sengaja dia rangkaikan untukku. Sialan! Aku menyalahkannya karena ini-itu.  'El, dan kamu tau? Aku nggak akan nyerah. Aku nggak nyerah untuk menyerah. Disaat aku merasa nggak sanggup angkat kaki dan menjauh dari kamu, disaat itu juga aku akan mengingatkan diriku untuk mundur. Disaat mataku menemui wajahmu lagi dan goyah, disaat itu juga akan kuingatkan diriku bahwa wajah itu juga yang mengacuhkan aku dan membuatku sakit hati ribuan kali.'

Karena ketika hati ini berbisik 'sampaikan padaku walau hanya satu kata'

Mulut ini hanya bisa diam. Mata ini hanya bisa menatap. Telinga ini hanya bisa menyimak. Dan tubuh ini hanya terpaku di tanah. Lalu 'Cinta' mengambang di udara untuk selama-salamanya.

Aku menyerah. Aku sudah selesai. Selesai dengan semua tentangmu.

.........................................................

Dua tahun yang telah berlalu....

Jati telah meranggaskan diri lalu berfotosintesis lagi. Kepercayaanku atas sikap defensif masih setipis benang jahit. Kau boleh pasang taruhan mengenai keberuntungan, tetapi percaya padaku, keberuntungan akan membuatmu bangkrut karena kalah taruhan. Keberuntungan itu hanya kedok manis penipu kasat mata yang sanggup membohongi seisi dunia. "Silena" suara itu mengaung merdu memantul-mantul ditelingaku. Suara yang sudah lama pupus dan tenggelam entah dimana. Resign dari hidupku dan tidak lagi nampak. Aku berbalik. "Elano..."

Dan kutemui segala tentangnya yang membuat segala tentangku tidak berdaya dan meledak jadi sejuta keping. Disaat aku pikir aku menang, dia tunjukan padaku bahwa sebenarnya aku tidaklah pernah menang. Aku hanya mengundurkan diri dari permainan. "Len, udah lama nggak ketemu," dan perbincangan itu melebar kemana-mana. Menanyakan kabar. Menanyakan hidup. Menanyakan si ini- dan si itu. Lalu akhirnya bertanya "gue laper nih, mau makan bareng nggak?"

Mungkin kau memahami, bahwa aku tidak pernah bisa mengungkapkan kalimat penolakan untuk setiap ajakanmu. Biarpun aku menyerah dan resmi mengundurkan diri. Maka duduklah kita di sudut resto mall tengah kota. Membicarakan segalanya. Hal-hal yang berlalu dengan kita berpura-pura sebagai dua orang yang tidak saling mengenal. Kau sedang menempuh pendidikan kedokteran di universitas negeri terkenal. Aku membayangkanmu lalu-lalang di lorong rumah sakit. Dengan jas putih dan stetoskop tergantung di lehermu. Menyapa pasien dan beramah-tamah. 'Tetap ya El, kamu tetap mempesona'

"Gimana Len sekarang, udah ada dong nih yang nemenin lo malem mingguan."

HAHA Lucu! Hati ini bahkan masih butuh perawatan setelah babak belur dia habisi "Belom El, masih fokus kuliah. Lo sendiri gimana?"

"Rena apa kabar ya Len?" Bola mata itu berlari menerawang jendela. Jadi, selama ini gadis cantik itu yang membayangi setiap harinya? Yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengingatku. "Gue denger, dia kuliah di Jerman. Gue juga udah lama nggak kontak sama dia. Kenapa? Jadi selama ini lo ngejar-ngejar dia ya El?"

Dia manatapku. Tersenyum. Senyum itu memacu kecepatan merobek-robek nadiku. "Dari dulu Len. Dari jaman pertama kali gue masuk sekolah. Gue nggak bisa lupain dia. Bahkan setelah dua tahun berlalu tanpa sekalipun gue berani ngehubungin dia, yang bisa gue pikirin cuma dia Len"

'Elano, kamu duduk disitu dan merangkai kata-kata. Tetapi aku duduk disini merasa seperti sedang kau tusuk-tusuk dengan pisau. Dunia kejam ya?' Aku memainkan garpu sebentar lalu memberanikan diri menatap matanya. "Lo cowok, kenapa lo nggak buat kejelasan? Apasih yang ditungguin sama cowok-cowok kayak lo? Coward tau nggak! Nggak gentle"

Dia menghembuskan napas. Menyerah dengan percakapan ini. "Gue ngajak dia ikut di project, gue berusaha melibatkan dia, dan semuanya kembali pada profesionalitas. Gue niatnya mau makin deket sama dia. Tapi justru gue ngerasa punya tanggung jawab disitu. Finally, gue cuma bisa ngebatin sendiri."

Disaat aku bercakap dengan bulan dan menanyakan tentangnya, dia justru menanyakan tentang Rena. Disaat aku ada disana untuk dia, dia justru menghadirkan Rena untuk mendampinginya. "Kadang Len, penolakan itu jauh lebih manis daripada penyesalan karena lo nggak pernah mengungkapkannya. Lebih baik lo mengungkapkan perasaan lo mumpung orang itu masih ada disekitar lo." Ucapnya.

Kalau saja memang semudah itu. Kalau saja memang aku bisa menurunkan sedikit ego, kesombongan, dan pesimisme mengenai segalanya tentangnya, ketika dia teronggok di depanku dan berkata tanpa tau aku sedang ditelan pemikiran itu. "Itu kenapa gue suka banget Len dialog terakhir dari naksah yang lo buat.."

"Sampaikan padaku walau hanya satu kata..." sahutku

"Cinta" kami mengucapnya bersamaan. Tetapi tidak akan pernah sampai. Aku mengucapkannya untuk dia, dia mengucapkannya untuk Rena. Dia mendengarkannya tanpa tau itu untuknya, dan aku mendengarkannya dengan hati mati yang tau bahwa aku bukanlah pemiliknya.

Setidaknya aku tau, menyerah bisa jadi adalah kebaikan yang menyakitkan

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya