Three-in-One Project: BOHONG. #1 Kamu Boleh Panggil Aku Pembohong

Bumi dan penduduknya kini bagaikan pikiran dan jiwa yang terpisah di dua raga. Tidak bisa jalan sebagai kesatuan yang selaras. Selagi bumi yang kejam tak mau peduli dengan apapun dan memilih diam saja, penduduknya justru terlalu banyak ikut campur, ribut sendiri. Tetapi mau bagaimana, jika memang aku bagian dari keduanya.

Beginilah aku, sebuah pion di atas bidak catur. Awalnya, kukira kemenangan adalah tujuan akhir yang membawaku pada kebahagiaan tanpa tepi. Sampai aku berhenti di satu titik dan mengerti, ini hanya permainan! Jika selesai, maka mainkanlah lagi. Jika kalah, maka jadilah pemenang. Jika menang, jangan mau jadi yang kalah. Maka ini akan berputar terus-menerus. Yang terpenting menang, bukan?

Hidup yang melatihku sampai jadi pemain ulung. Mereka berbisik dari mulut ke telinga, lalu sampai lagi ke telinga yang lain, bilangnya aku "pembohong".

Tidak tahukah mereka, rumitnya hidup jika aku membuka topeng dan tampil sebagai diriku sendiri? Aku takut benar, karena aku sendirian. Aku takut jujur, karena aku berbeda. Aku hanya bertahan selagi mempertahankan apa yang terasa berharga. Dan kebohongan, seringkali adalah mantra terkuat yang membuat orang sudi memandangku. 

Ada satu, dua... oh, tidak! Sebenarnya ada jutaan, mungkin milyaran, atau entah tidak terhitung banyaknya. Sejumlah itulah aku berbohong. Cari muka sana-sini, buat pencitraan agar disayangi.
Memangnya aku salah? AKU INI SENDIRI! Aku butuh mereka yang mau mencintai. Hanya tidak ada yang cukup peduli. Makanya aku berbohong, karena berbohong menyenangkan.

Awalnya, aku hanya berjuang menutupi apa yang ingin kusembunyikan dari jangkauan orang lain. Tetapi semakin lama, kebohongan itu jadi kebutuhan, jadi kesenangan, jadi ambisi, jadi rule permainan agar lebih menyenangkan dijalani.

Aku tidak berbohong untuk menyakiti. Aku hanya berbohong untuk mempertahankan diri. Agar di mata kalian, aku sama. Aku tidak berani jadi berbeda. Aku ingin baik-baik saja seperti kalian. Aku hanya ingin dilihat, hanya ingin dianggap keberadaannya, hanya ingin begitu.

Tetapi semakin aku giat menipu, semakin banyak hati yang cedera. Aku juga ingin membahagiakan mereka. Tetapi jalan yang kutahu hanya berbohong, semakin banyak berbohong, terus-terusan berbohong. 

"Kamu tahu, ketika kamu berbohong, kamu hanya melakukan banyak kesalahan dalam satu waktu. Kamu menghancurkan kepercayaan, kamu melukai hati yang menyayangi, dan yang terpenting, kekecewaan yang kamu tanam perlu dibayar dengan seluruh kebaikan kamu yang tidak lagi ada artinya," katanya di suatu malam gerimis.

Entah siapa yang tidak mengerti siapa. Aku berbohong karena aku ingin dipercaya. Tetapi begitu salah jadinya.

Semua orang senang mencaci-maki. Mereka akan jadikan aku topik obrolan seru, lantas membuangku dengan label "pecundang". Aku terbiasa dibenci. Lalu orang-orang akan mulai lupa. Mereka dengan senang hati meninggalkan dan tidak sedikit pun berniat kembali.

Aku tidak peduli! Aku bisa hidup di mana saja. Anggap saja sedang bermain. Kalah dengan yang satu, maka lakukanlah dengan yang lain.

Tetapi seseorang hadir dengan cara yang berbeda, dan tidak lantas pergi ketika yang lain sudah muak. Ia bahkan rela menjatuhkan air mata untukku yang tidak ada nilainya. 

"Jangan salahkan aku, jika aku tidak bisa membencimu. Jangan tatap aku seperti itu, jika memang aku membencimu, tetapi tetap bertahan mencintaimu. Jangan sudutkan aku, jika memang aku tetap ingin bertahan di sini. Jangan..."

Aku hanya ingin tertawa. Karena ketika semua orang buru-buru angkat kaki, dia justru memilih sakit hati tetapi tetap tinggal di sini.

"Nggak akan bisa," kataku jujur.

Aku tidak berbohong soal ini. Karena aku membiarkannya menjalani cerita yang lebih baik daripada membuat kesepakatan dengan hidupku yang rumit dan dipenuhi kebohongan. Tetapi matanya menantangku. Menunjukkan padaku tekadnya yang ribuan kali lipat lebih besar dari penjabaran tentang hidupku yang tidak bisa lurus.

Maka kubiarkanlah....

Kita akan mulai berhitung dari sekarang. Aku tidak akan pernah salah, bahkan tidak satu menit pun akan aku lewatkan. Siapa yang akan menyerah lebih dulu? Yang berjuangkah? Atau yang diperjuangkankah? Sebab aku bukan tidak mau berubah, aku hanya cukup tahu diri kalau aku tidak mampu berubah.

Kita akan mulai permainannya. Dia dengan cara dan aturannya sendiri, maka aku pun akan begitu. Aku tidak akan berusaha mendesaknya keluar, tetapi bisa jadi dia merasa terdesak dan menyelesaikan permainan lebih dulu.

"Kamu bisa hidup lebih baik dari ini," ucapnya serius.

Aku hanya bisa mengangkat bahu "lihat saja nanti" dengan niat tak ingin sedikit pun memberinya harapan dan berakhir mengecewakan.

Dia hanya bisa tersenyum. Menyimpan kekecewaan itu di balik kedua bola matanya yang indah. Berjuang untuk seseorang yang tidak ada apa-apanya.

"Jangan gitu dong. Kalau mau sesuatu, ya diperjuangkan."

"Meskipun dari awal udah tau kalau kita nggak akan bisa dapetinnya?"

"Loh, siapa yang bilang? Kamu Tuhan? Seenaknya aja bilang nggak mungkin," katanya protes. 

"Tapi Tuhan ngasih hambanya petunjuk."

"Jangan suka bawa-bawa petunjuk Tuhan. Tuhan ngasih jalan, tapi itu pilihan kamu buat milih jalan itu atau ninggalin jalan itu. Cuma pengecut yang nyerah sebelum mulai perang."

"Pengecut selalu ada di zona aman."

"Tapi pengecut tidak pernah menang."

Aku terdiam. "Aku selalu menang."

"Tidak, kamu tidak pernah menang. Kamu selalu kalah. Kalah, karena kamu tidak jujur. Kalah, karena kamu berbuat curang. Kalah, karena kamu menyakiti hati yang lain, hanya karena ingin jadi yang paling depan. Kamu kalah, karena kamu berjalan sendirian, karena kamu ditinggalkan, karena kamu dibenci semua orang. Kamu tidak pernah benar-benar menang. Kamu hanya 'merasa' menang."

"Kalau begitu, aku AKAN menang."

"Aku akan membantumu untuk menang."

"Bagaimana jika aku menang dan kau kalah? Bagaimana jika aku berhasil, tetapi kau terlanjur tak punya banyak tenaga? Bagaimana jika mendampingiku sama artinya dengan mati?"

"Tidak! Jika kau menang, maka aku hidup."

"Kita kan nggak tau apa-apa!" kataku mengingatkan.

"DAN KAMU NGGAK TAU APA-APA JUGA!" katanya protes habis-habisan.
Aku diam. Memang. Tidak ada yang tahu. Seperti dia yang tidak tahu. Dan aku pula yang tidak tahu. Tapi seberapa hebatkah aku, sampai dia berani bertaruh untuk kebaikanku dan menyisihkan sedikit hidupnya untukku?

Dia tahu siapa aku, aku tahu siapa dia, dan aku yang tahu tentang diriku sendiri. Aku dan dia akan melihat, dan seluruh semesta akan jadi saksinya, apa jadinya aku dan dia suatu hari kelak. Dia dan aku boleh berdebat. Tapi pada akhirnya, kemenangan yang akan memihak. Entah aku, entah dia, atau bisa jadi "kami", entahlah...

"Kita akan menang bersama," katanya tiba-tiba. Seolah dia mampu menyimpulkan diamku.

"Lihat saja nanti..."

*****



Desva Hikmah Herzani, lahir di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1998. Gadis manis ini memiliki satu kegemaran yang pasti, yaitu menulis, menulis, dan menulis. Cita-citanya menerbitkan novel suatu hari nanti. Selain itu, Desva juga memiliki berbagai hobi, antara lain makan, ngemil, baca novel, nonton bioskop, dan berkhayal. 

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya