Three-In-One Project: BOHONG #2 Ketika Dia Berbohong

Sudah ribuan kali rasanya aku menatap raut wajah di depan cermin. Paras yang menyiratkan rasa iba, seolah meminta belas kasihan, nampak teraniaya. Menjijikkan! Aku sungguh muak melihat raut wajah ini.

Betapa garis-garis tegas di sudut bibir, binar percaya diri yang terpancar dari mata, semua telah pudar. Segala kekuatan yang tadinya ada kini berganti menjadi rona kesedihan, jika tidak ingin dikatakan kesengsaraan.

Lamunanku terbuai...

Aku pertama kali mengenal lelaki itu dua tahun silam, dalam sebuah aksi mahasiswa di depan istana negara. Kala itu aku masih sangat idealis, berbeda dengan bayangan yang sedang kutatap dalam cermin saat ini. Bayangkan, aku berharap mampu menggulingkan rezim militer yang berkuasa, atas nama rakyat dan mahasiswa. Atas nama demokrasi.

“Maaf, namamu Aruna ya?”

Sesosok lelaki yang belum pernah kukenal menepuk bahuku. Aku menoleh dengan heran. Di tengah kerumunan massa seperti ini, aku tak berpikir ada yang akan mengenaliku secara khusus. Lelaki itu membalas keherananku dengan sebuah senyuman.

“Namaku Rangga. Aku mahasiswa kampus sebelah. Ketua divisi kajian aksi strategis BEM,” katanya seraya mengulurkan tangan.

“Eh, iya namaku Aruna,” ujarku tergagap.

Kusambut uluran tangannya yang hangat. Ia cukup menarik, mengingat saat itu kami tengah berpeluh di bawah terik matahari. Namun aku tak akan pernah bisa melupakan sosoknya yang tinggi, alisnya yang tebal dan nyaris menyatu, sorot matanya yang tajam, dan senyumnya yang menawan. Ada kesan misterius dalam dirinya yang membuatku terpesona.

Dan dari sanalah semuanya berawal...

Dalam sekejap, duniaku dipenuhi oleh Rangga. Ia selalu hadir dalam setiap forum diskusi yang digelar di kampusku, mendukungku saat aku menjadi moderator dalam debat panas antarcalon ketua BEM, menjemputku setiap pulang kuliah, menarikku semakin larut ke dalam pusaran hidupnya. Begitu terus selama beberapa bulan hingga akhirnya ia menghilang begitu saja.

Suatu ketika, aku mencoba mencari Rangga di kampusnya. Aneh, para mahasiswa di sekretariat BEM tak ada yang mengenalinya. Bukankah ia berkata kepadaku bahwa ia adalah ketua kajian aksi strategis BEM? Aku pulang dengan perasaan bingung setengah mati.

“Orang itu aneh, Runa. Dia membohongimu soal identitasnya, entah apa lagi yang akan ia tutupi darimu. Tinggalkan dia, jangan pernah mencarinya lagi,” kata Sheila, sahabatku.

Akan tetapi aku tak pernah mendengarkan Sheila. Setiap ucapannya masuk dari telinga kanan dan langsung keluar melalui telinga kiriku. Aku menginginkan Rangga. Aku telah terobsesi dengan sosoknya. Sebut aku naif, tetapi hanya dalam sekejap Rangga mampu membuatku menginginkannya.
Lalu, aku kembali berjumpa dengan Rangga...

“Hai, Aruna. Lama tak jumpa,” ucapnya ramah.

Seolah tak ada rasa bersalah, ia menghampiriku yang baru saja selesai kuliah dan mengajak pulang. Aku tak bisa menepisnya. Aku tak meminta penjelasan apa-apa dari Rangga. Aku lega bisa melihat sosoknya lagi.

“Runa, kamu adalah gadis paling tolol yang pernah kukenal. Aku menyayangimu, tapi kamu sungguh tolol,” kata Sheila keesokan harinya.

“Tapi aku mencintai dia,” kataku hampir terdengar seperti gumaman.

“Dia? Siapa dia? Apa Rangga nama aslinya? Kuliah di mana? Latar belakangnya seperti apa?” bentak Sheila.

“Maaf, Sheila. Tapi aku yakin Rangga punya penjelasan yang masuk akal soal kebohongannya kemarin.”

“Kalau begitu, tanyakan segera!”

Namun aku tak pernah menanyakan. Aku hanya tahu Rangga memang kuliah di kampus sebelah, tapi sama sekali tidak ikut BEM. Ia termasuk salah satu mahasiswa penyendiri yang kelakuannya kerap mengundang kontroversi. Luar biasa cerdas, tetapi sering memberontak.

Rangga berkata kepadaku ia terpaksa berbohong saat berkenalan, agar aku tertarik dan mau berbicara kepadanya. Bagiku itu adalah kebohongan yang romantis.

Aku kembali pada raut wajah yang terpantul dalam cermin...

Satu tahun setelah mengenal Rangga, aku memutuskan untuk memberi kejutan tepat di hari ulang tahunnya. Rencananya, aku akan muncul mendadak di pintu rumahnya dengan hadiah dan kecupan manis.

Hanya untuk menemukan kenyataan...

Rangga berada di dalam rumah, bersama seorang perempuan cantik laksana malaikat. Parasnya seolah membuat Rangga tersihir. Setidaknya itulah kesan yang aku tangkap saat melihatnya dari balik jendela. Jemarinya tak dapat lepas dari tubuh sang malaikat yang putih seperti pualam, bibirnya tak pernah jauh dari rambut hitam panjangnya.

Aku terpaku, entah harus berbuat apa. Ingin berlari dan berteriak, namun alih-alih aku hanya mengeluarkan telepon genggamku.

“Rangga, kamu di mana? Aku ke rumahmu ya,” tulisku dalam sebuah pesan singkat.

Lama tak ada balasan. Entah berapa lama aku berdiri di pekarangan rumahnya, hingga telepon genggamku akhirnya berbunyi, “Jangan hari ini, aku sedang tidak di rumah. Sedang main futsal bersama Bagas dan Radit.”

Hatiku hancur. Namun aku tetap diam dan berlalu...

Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja aku melihat Rangga bersama sang malaikat di kafe tempatku dan Rangga biasa berkencan.

“Aruna, kenalkan ini Jocelyn. Kami sekelas waktu SMA dulu. Lucu sekali tiba-tiba kami bertemu hari ini setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu,” kata Rangga santai.

Lalu, yang waktu itu kulihat membuatmu terbuai dalam dekapannya itu siapa? Kembaran Jocelyn? Aku hanya bisa meratap dalam hati.

Namun aku kembali diam. Berpura-pura tidak tahu apa-apa. Berpura-pura baru pertama kali berjumpa dengan Jocelyn. Berpura-pura Rangga mencintaiku dengan tulus, seperti aku mencintai dan takut kehilangannya. Rangga sudah terlanjur menjadi duniaku. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpanya.

Aku menatap raut wajah yang terpantul dalam cermin itu sekali lagi...

Muak! Aku yang dulu aktivis mahasiswa, penuh prinsip, selalu membela hak kaum marginal, kini telah berubah menjadi perempuan paling lemah sedunia. Tak berdaya di bawah telapak kaki lelaki. Terinjak-injak harga dirinya oleh makhluk bernama Rangga.

Dan setelah kebohongan demi kebohongan yang telah ia lakukan, setelah menghilangkan sinar mentari dalam hidupku, hari ini ia membuangku.

“Aruna, kamu adalah perempuan hebat, namun kamu bukan pasangan jiwaku. Maafkan aku, Aruna,” katanya.

“Jocelyn ya?”

Lama tak terdengar jawaban darinya. “Iya, sejak awal aku tahu bahwa aku dan dia ditakdirkan bersama,” kata Rangga pada akhirnya.

Aku hanya bisa diam. Kulangkahkan kaki menjauh darinya. Berharap hatiku juga mampu pergi darinya. Aku tidak tahu bagaimana cara bangkit dari semua ini.

Praaangggg!!!

Aku pecahkan cermin yang memperlihatkan raut wajah penuh kesengsaraan ini. Tanganku berdarah, tetapi seolah aku tak merasakan sakitnya. Kuambil potongan cermin yang tajam menyerupai bilah pisau. Inilah jawabannya.

Tak boleh ada akhir yang sempurna dalam kisah ini. Jika tidak bagiku, maka tidak pula bagi Rangga. Entah akan kugorok leher ini hingga menodai cermin dengan darahku sendiri. Atau kutikam Rangga tepat di jantungnya saat ia tengah bercinta dengan sang malaikat.

Biarkan bilah cermin ini yang akan memberikan jawaban.
*****
Tentang Penulis:

Anitya Wahdini, lahir di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1983. Menjadi seorang ibu, sebelum menjadi seorang guru. Menyayangi murid-muridnya seolah mereka itu teman, sahabat, partner, dan anak-anaknya sendiri. Memiliki obsesi tersendiri pada warna pink dan serial Glee. Ingin jadi aktris Broadway seperti Lea Michele di kehidupannya yang lain. Selalu berkhayal!

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya