Kepada Gama



Kau dan aku.

Kita dicandu dua hal yang teramat berbeda. Sementara aku teramat jatuh cinta dengan kelopak-kelopak bunga segar di dalam vas dan aroma semerbak yang terkadang membuat beberapa lebah mampir disana, kau berbeda. Kau jatuh cinta dengan waktu. Dengan obsesi. Seakan satu detik yang berlalu bisa membawakan petaka selama hidupmu. 

Kau jatuh cinta dengan jarum jam yang tidak pernah berhenti bergerak. Dengan waktu yang tidak peduli dengan masa. Kau dan waktu sama persis. Identik. Selalu bergerak. Selalu bekerja. Tidak rela berhenti. Aku tidak pernah merasa keberatan. Tidak sama sekali. 

Tetapi aku ingin bertanya, "Apakah menyisihkan sedikit waktumu untukku juga akan membuatmu rugi?"

Kamu mengetukan jarimu di meja kemudian menggulung lengan kemeja panjangmu, "Bukan seperti itu Ly, tetapi aku tidak mau menyesal di kemudian hari dengan menyia-nyiakan waktuku"

Matahari senja bergulung mesra di langit. Menyorotkan semburat jingga di meja yang kita tempati. "Jadi menyisihkan waktu untukku sama dengan menyia-nyiakan waktumu juga ya Gam?"

Kemudian telfonmu berdering. Air mukamu berubah sewaktu melihat nama yang tertera di layarnya. Entah siapa. Kamu menepi sebentar dari meja kafe dan berbincang sebentar. Kamu kembali sambil menggigit bibir. Aku tau Gama, aku hafal. Kamu akan pergikan?

"Apa? Pekerjaan? Pergilah Gam..." aku memaksakan diri untuk tersenyum.

Kamu balik tersenyum, "terimakasih Ly". Kemudian kamu lekas pergi. Meninggalkan aku begitu saja. Seperti hari yang sudah-sudah. Sendirian. Padahal aku ingin berbincang denganmu lebih lama. Aku ingin membunuh waktu bersamamu. Tetapi aku lupa Gam, kamu tidak pernah mau membunuh waktu bersamaku. Iyakan? 

Kamu barangkali berpikir aku mengerti. Tetapi sejujurnya aku tidak mengerti. Tidak sama sekali. Tidak sedikitpun. Aku hanya tidak mau memulai pertengkaran denganmu. Tidak Gama. Tidak! Tapikan aku tidak pernah meminta apapun kecuali waktumu. Iyakan? Aku tidak pernah minta dibelikan ini-itu. Aku hanya mau waktu mu. Waktu mu yang teramat segalanya itu Gam. Hanya itu Gam.

**********

Hari ini masih hari selasa. Tapi tiba-tiba aku ingin pergi keluar. Mampir ke toko bunga dan membeli beberapa tangkai mawar. Biasanya aku keluar di hari minggu. Tetapi aku sedikit bosan hari ini, jadilah aku merantau ke toko bunga.

"Gam, cobain. Ini enak banget!" 

"Haha iya mana Vi. Sini cobain" 

Aku menoleh mendengar sepenggal nama itu disebut. Aku melihat sosokmu. Tinggi jangkung, masih dengan setelan kantoranmu yang nampak sedikit lusuh. Dengan seorang gadis yang menggelayut mesra di lenganmu. Menyodorkan gelas coffe ke arahmu. Ada nama "Salvia" tertulis digelas plastik itu. 

Aku tercengang. Jadi, kau sudah berpaling ya Gama? Dari Lily ke Salvia. Dia persis cantik seperti bunga Salvia Gam, dengan tubuh ramping tinggi dan rambut yang diwarnai merah. Kulitnya kecokelatan tetapi cantik. Apa artinya aku dibandingkan sosoknya yang begitu menarik Gam. Aku, Lily, hanya punya satu warna, putih. Apa menariknya jika kau bandingkan dengan dia? Tidak ada apa-apanya. 

Aku hanya berdiri tercengang sementara kamu saling membagi tawa dengannya. Tetapi kemudian kamu menangkap sosokku. Berdiri disana dan terperangah. Aku hanya bisa tersrnyum. Karena tidak tahu harus bagaimana lagi. Tetapi kamu harus tau betapa sakit rasanya Gam.

Melihat kamu, satu-satunya orang yang membuatku mau bersabar terus-menerus. Yang memaksa aku memahami bahkan hal-hal tidak masuk akal sekalipun. Orang yang aku cintai, yang berusaha aku pertahankan, yang membuat aku selalu menunggu, ternyata selama ini sudah jauh berpaling. Rasanya sakit Gam. Sakit sekali. Aku sampai-sampai tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. 

Tetapi aku terheran-heran ketika kamu tetap memutuskan untuk berlari kearahku. Tidak perlu menjelaskan apapun Gam. Sudah jelas!

"Ly..."

Aku ingin diam saja. Ingin tidak bergeming. Tetapi bagaimana mungkin jika hati yang terasa perih ini mendorong air mataku untuk jatuh Gam? Jadi aku menunjukan luka itu padamu. Barangkali kau juga perlu tau jika luka itu teramat dalam Gam. Sangat-sangat dalam. 

Aku tersenyum. Tidak. Sebenarnya, aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Seharusnya kamu bilang Gam..."

"Maaf Ly"

Aku mengusap air mataku, menepuk pundakmu dua kali, kemudian pergi. Karena aku tahu, biarpun aku berdiri disana, menangis semalaman, memohon kepadamu untuk kembali mencintaiku, hatimu juga sudah terlanjur berpaling. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan. Mungkin sudah terlalu lama. Jadi sia-sia saja. Benarkan Gam?

**********

Aku tetap senang memandangi meja di sudut itu Gam. Karena hanya diatasnyalah si jam yang tidak letih bergerak mau singgah menemani para bunga menemui ajal nya di dalam vas. Hanya kerana disanalah aku masih bisa mengenang kita. Seolah kita masih saling berdampingan dan saling berbagi.

Bel berbunyi. Aku berjalan menuju pintu. Siapa yang hampir tengah malam begini ingin kubukakan pintu. Kubuka pintu perlahan-lahan.

"Miss, hmm maaf mengganggu. Ini hadiah perkenalan, katanya anda menyukai bunga. Benarkah?"

Aku membuka pintu itu lebih lebar. Lalu dia menyodorkan se-bucket bunga kearahku. Aku menerimanya dengan hati-hati. "Lily?"

Dia mengangguk. "Sama seperti nama anda. Kalau saya tidak salah..."

Aku tersenyum. "Iya, benar. Anda sendiri?"

"Miller..."

Miller? Aku teringat dengan Dusty Miller. Dedaunan cantik yang warnanya keperakan. Seperti laki-laki beekulit putih, berambut pirang, dan bermata abu-abu, yang sedang berdiri dihadapanku.

"Kalau punya waktu senggang, ikutlah denganku. Bibiku punya toko bunga di persimpangan jalan dekat sini"

"I will..."

Aku akan meletakan bunga ini di vas. Aku perlu mengingatkan diriku jika sang "Lily" harus hidup lagi. Seperti jam disampingnya. Seperti kau Gama. Aku perlu beranjak. Barangkali laki-laki ini akan terus memberikan aku bunga yang baru ketika yang satunya mati. Barangkali dia akan menghidupkan jiwa ini lagi jika saja akan meredup.

Siapa yang tau, iyakan Gama?

Aku hanya berdo'a, semoga kau disana juga baik baik saja



Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya