Secangkir Kenangan

Diluar hujan deras.

Petirnya menggelegar.

Di dalam sini dingin. 

Tidak ada hubungannya dasar dungu! Mau diluar ramai sampai bikin parade sendiri, dan kedai ini diisi dengan perbincangan santai yang menyejukan, hati ini tetap satu. Maksudku, sendirian. Tidak sih, lebih tepatnya kesepian. 

Aku menyesap sebatang rokok yang terselip diantara jemariku. Seharusnya hidup sesederhana Gelato dan Ekspresso yang bersatu menjadi Affogato. Tapi tidak. Hidup itu roda. Terkadang kita diatas, terkadang kita kelindes dibawahnya. Hidupku seolah dijadikan minatur buat main catur.

Pintu kedai terbuka. Aku melihatnya berdiri disana. Cantik. Dengan jacket denim gelap dan skinny jeans hitam. Rambutnya lembap, nampaknya lumayan banyak kena hujan. Tetap dengan setelan casul khas nya. Dia menarik napas sebentar. Mungkin lagi menguatkan diri. Kemudian dia berjalan menghampiri, mengambil sebatang rokok di sela jariku dengan jijik kemudian membuangnya kebawah dan menginjaknya dengan ujung sepatunya.

Ketika dia duduk. Aku bisa melihat dua biji mata itu menelan kadar kesepian yang sama banyaknya dengan milikku. "Aku mau tau, sampai kapan kesepian itu kau suruh setia menemani?" 

Dia memanggil bartender kemudian memesan secangkir ekspresso hangat. Pesanan yang identik. Karena ekspresso mempresentasikan lebih banyak air daripada kopi. Seperti dia mempresentasikan lebih banyak luka dibanding bahagia. 

Dia kemudian menatapku dan tersenyum, "Sampai dunia membuktikan bahwa teori steady state itu benar adanya dan sesungguhnya big bang hanyalah khayalan fiktif seorang ilmuwan yang mencari popularitas"

Aku tertawa. Candaannya tidak pernah berubah. "Tidak usah muluk-muluk. Lihat saja yang didepan mata. Hujan masih turun. Bumi masih berotasi. Itu, kesepian kamu masih nunggu dikasih perintah untuk cabut."

"Kamu salah. Hujan tidak turun, dia menari di udara kemudian mendarat ketika lelah. Dan bumi tidak berputar, dia hanya berdansa dengan waktu. Dan kesepianku mencintaiku. Sehingga dia tidak pernah meminta belas kasih untuk pergi meninggalkan. Tidak seperti yang lainnya."

Adhiza. Masih khas dengan dunianya sendiri. Yang muram dan genap dengan gelisah. "Let's go play something!"

"Apa?"

"Kamu tulis semua rasa yang memenuhi hatimu setiap harinya, setiap malam aku akan datang. Akan aku bayar tiap lembar kertas itu dengan kebahagiaan. Aku tidak akan membacanya. Aku akan langsung membakarnya. Agar semua hal yang membuatmu tidak bahagia bisa segera aku musnahkan."

Dia justru tertawa, "jangan lucu! Bagaimana jika penyebabnya adalah dirimu? Bagaimana jika kedatangannmu yang terlalu sering justru membuat aku terus-terusan terluka? Lantas dengan apa kau menukarnya? Membakar diri?"

Aku terdiam. Iya Dhiz, aku salah! Aku yang salah karena sempat meninggalkanmu. Aku yang salah karena menghilang dan lari terlalu jauh. Aku tidak ingat jika aku tidak bisa membeli waktu. Dan penyesalan tidak mengobati. Dan aku tidak sadar jika aku meninggalkan gadisku meranggaskan diri sendirian. Mati ditelantarkan bersama sepi dan kerinduan. Tapi mengertilah Dhiz, aku sedang berusaha membayarnya. 

"Tidak bisakah sebentar saja kamu melupakan itu?" Aku memohon sedikit dispensasi.

"Tidak!" Katanya tegas. "Aku menghabiskan entah berapa banyak waktu berandai-andai jika kau tidak pergi. Membiarkan jariku beku menyusuri goresan hujan di kaca jendela. Mengendalikan seluruh ketakutan itu sorang diri. Tidak! Dispensasi dan amnesti tidaklah tercipta untukmu Dio"

"... aku bahkan rela membakar diri"

Dia tertawa lagi, "apa, membakar diri? Dio, kita sudah sama-sama dewasa untuk mulai melek dengan realita. Orang yang bahkan tidak mau memberikan kabar ketika dia akan pergi, tak mungkin rela membakar diri demi kekasih yang dulu ditinggalnya. Aku tidak senaif dulu Dio, aku harap kau juga begitu"

"Aku dulu, hanya berusaha menata masa depanku Dhiz"

"Egois. Setidaknya, tinggalkan aku dengan kata perpisahan. Tinggalkan aku dengan beberapa baid penjelasan. Bukan begitu caranya pergi ketika hari sebelumnya kau utarakan cinta"

"Kita perbaiki semuanya dhiz"

"Dio, kamu telah mengambil segalanya. Aku tidak lagi punya apa-apa. Maka relakanlah begini selamanya"

"Satu kesempatan lagi Dhiz."

"Aku menabung kepercayaan waktu itu, kemudian kamu habiskan untuk keperluan belanja masa depanmu. Kamu tidak pernah memberikan jaminan untuk investasiku. Dengan kata lain, aku telah pensiun dari semua bisnis itu."

Aku mengaguminya. Mengagumi dia yang tidak pernah berubah. Aku akan menghabiskan sisa hidup dengan menyesal. Karena melepaskan perempuan yang prinsip nya tidak pernah dapat dipatahkan. Mata itu kembali meruncing. Tidak lagi hangat seperti kali terakhir aku meninggalkannya di pekarangan sekolah beberapa tahun silam. Aku ingin melelehkannya dengan bara, tetapi baraku takan lagi pernah hidup. Tidak akan.

"Dulu kamu mau menghabiskan semalam suntuk berbicara denganku..." aku masih berusaha.

"Iya, dan dulu kau tidak lagi memberikan kabar walau aku habiskan semalam suntuk berusaha menghubungimu" katanya. Aku kalah.

"Dulu kamu selalu tersenyum setiap kali aku menjemputmu untuk pergi sarapan" aku masih mau mencoba.

"Iya, dan di suatu pagi kamu tinggalkan aku begitu saja. Jangankan senyuman, kata selamat tinggalpun tidak ada" dia menang lagi.

"Dulu kamu akan datang menjenguk sewaktu aku sakit. Membawakan makanan dan obat-obatan. Masih ingatkah? Kita pernah saling berbagi" ayolah, sedikit saja keajaiban.

"Iya, tetapi jangankan menjenguk. Kamu bahkan tidak berusaha mengirimkan pesan singkat sewaktu hatiku lebih sakit dari sekedar menggigil. Kamu tidak pernah peduli sewaktu aku sakit karena cemas. Masih ingatkan? Pada akhirnya kita hanya saling meninggalkan" dia juaranya.

Dia kemudian menyesap kopinya yang tidak lagi panas, kemudian mengelap bibirnya dengan tisu. "Aku harus pergi. Percakapan ini melelahkan. Besok aku masih harus pergi ngampus. Telfon aku lagi jika kamu menemukan topik baru"

"Yang seperti apa?" Kataku bertanya.

"Yang cepat selesai seperti bahagia. Tidak berlarut seperti luka. Yang indah seperti pertemuan. Tidak berakhir buruk seperti perpisahan."

"Itu namanya cinta"

"Ah tidak Dio, cinta itu fantasi." Katanya sambil tersenyum. Nampak yakin dengan perkataannya. Kemudian dia beranjak pergi. Meninggalkan aku duduk lagi disini. Sendirian. Memikirkan topik baru untuk dibahas. Agar dia rela menghabiskan beberapa puluh ribu nya dan waktunya untuk secangkir ekspresso lagi. Lagi.

Sayang sekali, persyaratannya terlalu sulit. Dan aku nampaknya tidak percaya diri untuk dapat memenuhinya. :)









"Everything will work out as it is destined. If something is supposed to happen now, it will. If it's supposed to happen later, it won't happen now. What's importanst is to be prepared. Since nobody knows anything about what he leaves behind, then what does it mean to leave early?"

*Hamlet, Shakespeare*

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya