Bersamamu

http://totidemverbissum.blogspot.co.id/2015/12/konkret.html?m=1

Ada yang lebih sendu dari rindu. Yaitu gerimis ngericik yang tidak tahu mau berhenti atau jalan terus. Kata bunda, jangan lupa pakai payung, sebab gerimis paling jago bikin sakit. Tapi katanya, "Ini sih cuma gerimis, kalau belum hujan, belum seru!"

Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Dia seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Melihatnya menyetir di mobil kala gerimis membuat hatiku ikutan sejuk. Ah dasar curang! Hanya karena sebuah foto, dia berhasil menjebakku sampai disini dan pulang bersamanya. 

Tapi tak apa, sebab aku yakin hati ini sedang demam cinta. Kata orang cinta itu fluktuatif dengan diagram yang tidak tentu bentuknya. Kataku, cinta itu adalah jagad raya mengembang yang bisa pecah kapan saja, dan letaknya ada di kepalamu.

"V, kamu suka lukisan? Besok ada pameran. Kalau kamu suka, besok kita bisa pergi bersama"

Aku menggeleng. 

"Kenapa?" Tanyanya.

"Aku mau mendengarmu memenuhi janji. Untuk seorang idealis, aku rasa menepati janji bukanlah hal yang sulit bukan?"

"Janji apa?" Matanya menerawang kemana-mana. Nampak cemas dengan tagihanku. 

"Katamu mau bercerita?"

Dia tertawa, "Nanti V, ada saatnya"

"Kapan saatnya?"

Dia tertawa, "V bercerita itu tidak seperti makan bubur. Bercerita itu lebih mirip reformasi, kita butuh momentum yang tepat untuk bisa menjalaninya. Seperti gerhana, perlu menunggu semuanya dalam kondisi siap dan sejajar"

"Astaga Mars. Ini adalah momentum yang sempurna. Kita. Hujan. Didalam mobil. Lagipula aku sudah lebih dari siap."

"Hmm..." dia nampak menimbang-nimbang sebentar. Dengan dahi yang berkerut. "Aku tidak pandai bercerita"

"Benarkah? Coba dulu, biarkan nanti aku yang menilai."

"Baiklah. Jadi begini, kamu tahukan, kita itu terlahir sebagai individu. Tapi kita tercipta untuk bertransformasi menjadi plural. Seperti pasangan suami istri. Kemudian ibu dan anak, seperti itu. Karena pada dasarnya semua manusia dilahirkan dengan sikap kooperatif yang porsinya tidak timpang."

"Seperti Romeo dan Julliette?" Tanyaku.

"Juga seperti Bony and Clyde. Menurutku, kejahatan adalah turunan dari rasa egois. Tetapi mereka bisa mengesampingkan rasa egois itu. Dan egosentrisme itu adalah mereka berdua. Karena mereka bersama. Karena mereka utuh. Maksutku, di sisi lain mereka menjadi sorotan karena mereka adalah pasangan. Karena mereka saling mencintai. Partner in crime. Sedangkan cinta itu berada diposisi..."

"Yang berlawanan? Dengan rasa egois?" Kataku menyela.

"Tepat sekali!" 

"Jadi...?"

"Cinta itu fleksibel. Bisa tumbuh dimana-mana. Bahkan di otak kriminal sekalipun. Bahkan diantara egoisme sekalipun."

Aku sontak tertawa. "Ada apa?", tanyanya.

Aku geleng-geleng kepala. "Tidak. Kamu itu lucu ya! Katanya mau cerita tapi justru memaparkan pendapat. Delapan puluh persen ceritamu tadi adalah teori yang aku rasa, sedang lari-lari dikepalamu. Kamu harus belajar dengan anak sejarah, bagaimana cara yang baik memaparkan kisah Bony and Clyde." 

"Tidak perlu. Intinya, besok jadi nemenin aku kan? Jangan bilang 'liat besok' aku lebih suka segala macam hal yang pasti" To the point sekali dia...

Aku tersenyum, "memangnya kamu bisa apa kalau aku memang mau menggunakan kalimat itu?"

"Bisa suntuk semalaman mikirin kepastiannya", katanya dengan wajah jenaka. 

"Ah basi, ngobral gombal!"

"Besok aku jemput jam 4 sore!" 

"Loh ko curang! Kan aku belum bilang iya"

"Kata orang jawa, diem itu pertanda iya"

"Rasis!"

"Iya udah non... jadi besok maunya dijemput jam berapa?" Katanya lembut.

"Jam 4 sore" 

Dia tertawa, "kenapa kamu gak bilang iya dari tadi aja? Kan kita jadi gak harus bikin polusi suara"

Aku tertawa, "tapi suara aku bukan polusi"

"Iya-iya kalau maunya begitu. Sekarang kita mau langsung pulang aja?"

"Menangnya mau kemana lagi?" 

"Mencari segelas kafein barangkali?"

"Ah aku bukan pecandu kafein. Kita pulang saja."

"Aku tau, sebenernya kamu seneng kan besok aku ajak jalan"

Aku tersenyum, "aku juga tau, sebenarnya bukan itu kan yang mau kau ceritakan".

Raut wajahnya mendadak salah tingkah. Padahalkan aku cuma bercanda. Lagipula aku asal ngomong saja. Tapi kemudian aku tahu, bukan Bony dan Clyde yang ingin dia ceritakan, melainkan dongeng lain yang barangkali lebih kompleks. 

Tapi... aku juga tidak mau bertanya. Mungkin dia benar, bercerita itu butuh momentum yang tepat, seperti reformasi ya? Aku akan menunggunya. Dengan sabar. Asal denganmu, aku sabar!

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya