Dia, Sayang!

Semoga bukan untuk kamu...



Ada sakit yang lebih nyeri dari berdarah. Dan ada perih yang lebih membunuh dari dosa. Rasanya berjalan di setiap pembuluh darah. Berdetak bersamaan dengan jantung. Terikat disetiap tulang rusuk.  Lari-lari di dalam tubuh seperti anak kecil yang kecanduan main perosotan. 

Katanya, kamu akan menjagaku, apa menyelamatkanku ya? Ah, aku lupa, Sayang. Tapi kau tahu, sebenarnya, seseorang perlu datang menyelamatkan aku darimu. Iya kamu! Sebab denganmu aku bukannya bahagia, melainkan merapatkan semua luka ke pusat hati. Menyimpannya disudut kecil yang paling terpencil. Agar kau tidak harus melihat darahnya. 

"Aku mencintaimu, aku mencintaimu dan takan berhenti melakukannya." Katamu kala itu. Ketika kita terjebak macet panjang di lampu merah tengah kota. Hanya berdua. Didalam mobilmu.

Bagaimana caraku percaya, Sayang? Janjimu adalah sebaris puisi indah yang ingin selalu kukenang. Yang merdu dilantunkan dengan suaramu yang hangat. Tapi, aku khawatir hanya sebatas itu saja. Aku benarkan?

"Suatu hari kita akan mengenang", kataku.

"Hari ini?"

"Iya." Tapi aku tahu persepsimu dan aku tidaklah sama. Sayang, aku bukannya pasif, aku selalu berjuang untuk masuk kesana. Untuk ada di sekitar jantungmu agar kau hidup denganku. Untuk lelap di nadimu agar kita saling berjuang untuk menghidupi. Untuk singgah dihatimu agar kau melihatku dengan cinta.

Ah, tapi Sayang, masih ada dia dimana-mana. Masih kau hadirkan dia dimana-mana. Aku tidak bisa masuk. Sebab dia mengunci pintunya. Atau sebenarnya, kamu yang ingin menguncinya? 

Sayang, patah hati itu sederhana. Hanya jatuh, sakit, menangis, kemudian pindah hati. Tapi kecewa itu rumit, dan aku seratus persen yakin kamu tidak mampu menguraikannyannya, Sayang. 

Tidak akan pernah.

Dan kala itu hanyalah sisa kenangan hampir setahun lalu yang sedikit terisa. Mengenang di kerak kepala. Membuat perutku bergejolak setiap kali mengingatkannya. Bukan karena ingin poop. Tapi karena banyak kupu-kupu terbang didalamnya. 

"Aku suka baca Dilan" seseorang tiba-tiba menyapaku, Sayang. Tubuhnya tinggi tegap. Hidungnya mancung, sepertimu. Kacamatanya lebih kecil dari milikmu. Warna bola matanya lebih gelap. Tapi, dia memiliki bentuk rahang persis denganmu.

Aku melirik novel Dilan-ku. Novel hits sewaktu aku masih pakai seragam abu-abu. "Oh ya? Kenapa?" 

Aku sedang di Halte bus kampus, Sayang, ingin segera pulang. Kemudian dia menyandarkan tubuhnya di tiang Halte. Bertumpu di satu kaki dan menyilangkan yang lainnya. "Karena lucu. Para wanita menginginkan kekasih seperti Dilan. Para lelaki ingin jadi Dilan. Mana bisa..."

Aku teringat padamu, Sayang. "Memangnya, kamu nggak mau jadi Dilan?"

Dia tersenyum. Giginya rapih. Pipinya sedikit chubby. "Bukannya nggak mau, tapi tau pasti gak bisa. Gak mau maksain"

"Jadi, kamu tipe orang yang gampang menyerah ya?" Kataku bercanda.

Dia kemudian berjalan menghampiri dan duduk disebelahku. "Bukan. Kamu salah menilai. Aku bukan pesimis, tapi realistis."

Aku tersenyum. Kemudian aku mengingatmu, Sayang. Aku merindukanmu yang suka bermimpi dengan dalil optimis. Dan menilai realistisku sebagai pesimis. Sayang, aku menemukan orang yang sependapat denganku!

**********

Kalau luka nya berdarah dibersihkan dulu pakai alkohol, Sayang, jangan lupa kasih betadine biar cepat sembuhnya. Tapi kalau yang luka hati disembuhkan pakai apa, Sayang? Katanya sih, pakai cinta.

Sore itu aku bertemu dengannya lagi, Sayang. Pertemuan kedua dan dia masih mengenakan kaos Polo, hanya beda warnanya saja. Ah Sayang, aku ingat kamu lagi! Dulukan kamu selalu terlihat lebih tampan kalau sedang mengenakan kaos Polo.

"Eh, nona penjaga Halte. Ini kebetulan apa kamu memang sedang menunggu saya?"

Aku hanya tersenyum, "Saya menunggu bus. Kamu datang ke Halte untuk bus nya atau untuk saya?"

Dia kemudian duduk disebelahku, "untuk bus nya." Tapi kemudian dia memandangku jahil, "tapi untuk kamu, juga tidak apa-apa"

Aku tersenyum. Malu sebenarnya. Lebih tepatnya tersipu. "Jualan gombal".

"Besok aku mau datang ke Halte lagi. Kalau kamu mau bertemu aku kamu kesini lagi aja. Di jam yang sama."

Aku tertawa, "dengar ya, aku disini untuk naik bus. Bukan karena ingin bertemu kamu. Kalau besok aku kesini lagi di jam ini lagi dan bertemu kamu lagi itu bukan karena sengaja tapi...." tapi apa ya.

"Tapi...."

"Kebetulan yang berkelanjutan" kataku asal-asalan. Aku melirik ke setumpukan buku yang dia letakkan di pangkuannya. Ada sebaris nama disana, Arkaf

Sayang, dia manis sekali!

**********

Aku berjumpa denganmu lagi, Sayang. Rindu? Ah, benarkah? Aku tidak yakin. Sebab masih ingatkah caramu meninggalkanku waktu itu? Kesannya sedih sekali. Manis nya sudah kelamaan dikunyah. Sisanya sampah. Awww!!

Soalnya waktu aku nganter kamu ke bandara, bukannya ketemu pilot ganteng, malah nemu chat mesra kamu sama sang selingkuhan. Itu pesawat serasa take off dari hati aku, terus jatuh entah dimana karena kehilangan sinyal. Karena tiba-tiba otakku koslet.

"Gimana kuliah kamu?"

"Ya baik-baik aja." Iya aku rindu! Tapi iya, aku dendam! Nih, bekas luka sakit hati kamu masih belum hilang setelah satu tahun! Berandal!

"Udah lama juga ya, gak berasa" katamu sambil mengaduk seporsi makanan kesukaanmu. Restaurant ini dulu sering kita datangi ya, Sayang? Ingatkan?

"Ah iya. Sekarang aja kamu udah bisa ngaduk makanan sendiri." Dulu kamu selalu minta tolong perihal aduk-mengaduk makanan.

Kamu terhenti, dan menyadari perubahaan pada dirimu. "Banyak hal berubah. Tapi kebiasaanku belum..."

"Apa? Futsal?"

"Bukan, mencintaimu. Belum berhenti"

Tadinya aku mau terbang. Sekalian pulang kalau perlu. Tapi aku ingat masih ada luka yang belum tuntas. Luka atau rindu? Sepertinya keduanya, Sayang.

"Masih cengeng. Masih jualan gombal. Receh!"

"Masih salting"

"Aku nggak salting!"

"Itu pipinya langsung merah!" Katamu sambil tertawa. Ah iya, pasti pipi ku merah ya, Sayang? Aku jadi tambah mengenang. Kisah's (karena banyak jadi pakai s) bahagia kita dulu. Yang berjejeran seperti besi pagar. Tapi ujungnya tajam, nah disitu aku tersangkut, oleh kebohongan yang kamu buat dulu. Terus aku berdarah. Darahnya sudah berhenti, tapi lukanya masih belum hilang.

"Aku mau nanya. Sebenarnya aku nggak siap dengar jawabannya. Tapi aku penasaran"

"Apa?"

"Belum ada cowok yang dekat sama kamukan sekarang?

Aku yakin Sayang, yang kamu maksud bukan duduk sebelahan di halte bus. Aku juga yakin Sayang, yang kamu maksud bukan selalu duduk bersebelahan didalam bus. Aku yakin Sayang yang kamu maksud bukan membahas perkara realistis bersama-sama. "Tidak..."

"Atau belum?" Katamu mengoreksi.

"Belum!" Kataku optimis.

Malam ini kita tidak makan nasi, Sayang. Kita tidak mencerna makanan. Kita tidak minum mineral dingin dengan es batu. Malam ini kita akan tenggelam di gelas kenangan. Kita akan berenang di mangkuk rindu. Kamu dan aku, Sayang. Sekali lagi. Jika memang ini akan menjadi sekali lagi yang benar-benar sekali lagi.

Karena aku merindukanmu dengan kata sungguh dan sangat. Tetapi aku ingin menuntaskannya malam ini saja. Agar esok aku siap untuk mulai berpetualang lagi. Menuju halte bus kampus, Sayang. Menemui laki-laki yang 'katanya' tidak mau jadi Dilan si tokoh picisan.

Malam ini saja, Sayang. Semoga kau tidak kecewa. Jangan kecewa!


**********

Rindu-rindu pergilah
Datang lagi esok hari.

Itu lagu. Tapi tadinya liriknya tentang hujan, dan sekarang musim rindu. Rindu kamu sih, tapi sedikit. Soalnya kalau kebanyakan takut nggak sanggup. Lagipula sekarang ada Arkaf. Dia itu ibarat air hangat, rinduku ibarat gulanya, setiap kali ada dia, rindu itu larut entah bagaimana.

Sekedar pemberitahuan, Arkaf bisa mengaduk makanannya sendiri Sayang. Ah, aku jadi rindu dibutuhkan. Arkaf cepat kenyang jadi dia tidak mau menghabiskan sisa makananku yang masih banyak. Dia senang membantuku mengerjakan tugas. Dia suka mengajakku makan di kantin. Dia sering mengajakku nonton terus ke toko buku. Arkaf berbeda denganmu, Sayang.

"Kamu butuh pdkt berapa lama?"

"Yah tergantung aja, Kaf"

"Tergantung apanya?"

"Orangnya."

"Kalo sama aku butuh berapa lama?"

"Belum tahu"

"Kalau belum tempe?"

"Arkaf diem! Jayus! Receh!" Satu hal yang sama, dia dan kamu sama-sama tidak pandai melucu, Sayang.

"Ah kamu gak pasti. Aku suka yang pasti. Tapi aku suka kamu juga. Gimana kalau aku bikin kamu jadi pasti?"

"Hah maksudnya?"

"Aku mau jadi pacar kamu. Minggu depan harus jawab"

"Ko kayak pulsa ada tenggang waktunya?"

"Biarin aja. Biar cepet pacarannya"

**********

"Hallo, aku ingin bicara." Malam sekali aku menelfonmu, Sayang. Untung kamu masih mau angkat. Kamu sering insomnia dulu, sekarang masih? Maaf sudah lama tidak bisa menemanimu bergadang, Sayang.

"Iyaa... bicara saja"

"Seseorang menyatakan cintanya. Aku akan menerimanya. Aku akan resmi jadi pacar orang"

"Oh"

Kita diam berlama-lama. Jeda. Tarik napas. Buka mulut. Tidak jadi bicara. Tidak selesai-selesai.

"Selamat ya! Dia pasti lebih baik dari aku. Dia tidak merokok kan? Dia rajin ibadah? Dia mau mengingatkanmu makan? Apa dia akan mengajakmu main ice skating juga? Dia pasti akan membawamu ke Venice ya?"

Sayang, jangan begitu. Kamu hanya membuat aku sedih. Jangan begitu, dia baik, tapi ini bukan masalah siapa yang akan menggantikan siapa. "Iya, dan semoga saja."

Jeda lagi.

"Makasih ya buat semuanya. Maaf aku banyak merepotkanmu."

Aku terdiam, sumpah aku jadi sedih! "Iya sama-sama. Aku juga terimakasih banyak."

"Aku akan merindukanmu. Sangat!"

Aku tahu. "Aku juga." Akan merindukanmu yang terlelap pulas di pangkuanku. Merindukanmu yang sering mematapku dengan kedua bola mata cokelat terangmu. Yang selalu menggodaku dengan candaan jayus. Yang senang membicarakan masa depan. Yang suka sekali saus sambal.

"Katakan padanya, jika dia tidak lebih tampan dari aku, tidak lebih baik dari aku, tidak lebih romantis dari aku, setidaknya dia tidak menyakitimu seperti aku..."

Dadaku nyeri lagi, "jadi kamu mengakuinya?"

"Sebenarnya tidak mau. Aku benci memikirkannya. Apalagi mengakuinya begini. Aku mati-matian menjagamu dari orang lain. Tapi aku yang justru menyakitimu. Aku tuh naif ya"

Ulu hati ku seperti sedang kempes karena anginnya keluar semua. Wussh. Pengap. Tidak bisa napas. Dulu kamu pasti akan repot berusaha mempertahankan aku. Kamu sering menangis demi membuatku tinggal. Beberapa kali mengancam akan melakukan hal gila. Sayang, aku bahkan sudah merasa kehilanganmu sebelum benar-benar kehilangan.

"Iya. Naif. Aku sakit hati. Maaf karena selalu menjadi pendendam. Karena tidak bisa menjual kepercayaanku lagi padamu. Kalau aku boleh berdebat sedikit, aku merasa marah bahkan pada diriku sendiri. Karena aku tulus dan tidak bisa menerima keadaan."

"Tidak apa-apa aku mengerti."

"Tentu saja harus begitu."

"Katakan saja padanya jangan menyakiti gadis yang aku sayangi. Jangan menodai gadis yang kujaga baik-baik."

"Dia akan paham dengan sendirinya."

"Jadi malam ini kamu akan mulai melupakanku?"

"Kamu juga harus begitu."

"Tidak mau!"

"Loh kenapa?"

"Karena aku tidak ingin."

"Kenapa tidak ingin?"

"Tidak ingin saja. Aku masih sayang. Biarkan saja. Aku tidak akan mengganggumu. Sungguh! Tapi jangan memaksa. Aku tidak suka"

Kamu masih keras kepala, Sayang. Aku suka! Aku rindu, dan aku galau. Jangan begitu, aku jadi semakin berat hati meninggalkan kamu. Jangan egois.

Hey..." kamu masih mecoba memecah keheningan ya, Sayang. Aku akan mengingatnya sebagai kebaikanmu yang selalu membuatku senang.

"Iya...?"

"Aku tidak tahu mau bica apa lagi. Tapi ya, biarkan aku menyemogakan aku masih jadi yang paling sabar. Agar walupun bukan yang terbaik tapi kelak akan dicari lagi."

"Kamu akan mencari aku lagi juga?"

"Aku tidak mencari. Aku ingin menunggu. Menunggu kamu saja."

Ah, itu apa Sayang? Itu bukan janji dan lebih mirip bualan. Tapi setidaknya jika itu memang hanya sekedar omong kosong belaka, kamu membuat percakapan ini sedikit banyak melukaiku lagi. "Jangan begitu. Menunggu itu tidak menyenangkan. Aku tidak suka."

"Aku juga. Tapi bersamamu itu menyenangkan. Jadi, semoga kelak terbayar"

Aku diam saja.

"Kamu pasti sudah ngantuk. Biasanya jam segini udah mau tidur kan? Yaudah tidak apa-apa."

Mengapa aku merasa seolah aku yang perlu merelakanmu pergi? "Aku permisi..."

"Permisi minggat dari hidup aku?"

"Mau bobo. Tapi yang itu sekalian juga boleh." Kataku asal.

"Selamat malam. Bilang padanya, mantan pacarmu yang suka lupa dimana meletakan kunci mobil ini tidak pernah lupa mengucapkan selamat malam."

"Dia akan mengerti, Sayang"

"Tidur yang nyenyak. Kalau dia sibuk datang ke mimpimu, mimpikan aku saja."

"Kamu tidak sibuk memang?"

"Hanya sibuk membahagiakanmu."

"Malam..."

"Sampai jumpa jika kau rindu."

Kemudian sambungan telfon tertutup. Iya Sayang, sampai jumpa jika aku rindu.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya