Surat Singkatku


Ada kata-kata yang tanggal dari baidnya. Kalimat menjelma frasa yang tak lagi ada artinya. Jika cinta menjadikanmu pendendam, maka lebih baik bagimu untuk diam. 

Ada yang tersurat dari yang tersirat. Kalau aku salah satunya, itu bukan lagi kejutan. Karena bagimu, akulah sang tersangka. Biarlah berlalu segalanya. Yang indah telah jadi sejarah. Aku dan kamu hanyalah sepenggal cerita lama.

Ada setangkup cinta yang kau tadah.
Dari retakan percaya.
Dan sisa putus asa. 

Ini bukan perkara apa yang telah direnggut darimu. Ini adalah perkara yang kau beri tapi tak kau ikhlaskan berlalu. Karena hadirku menjadi pilu, telah lama kuputuskan untuk menjauh. Tapi kau pandang aku hanya sebagai benalu.

Aku selalu memilih untuk bungkam. Aku pikir, diam adalah cara terbaik menguraikan pikiran. Tapi diamku tak lagi bermakna. Sebab bisu membuatku justru menderita. Dan kepadamu, kutuliskan surat berisi beberapa baid hasrat yang ingin segera kutuntaskan.

Tidak ada yang diam. Tuhan tidak menciptakan padi yang dengan sendirinya menanak diri menjadi nasi. Yang berjuang adalah seisi jagad raya, dan aku adalah bagiannya.

Aku bukanlah ombak. Aku tidak memecah belah. Bila kau berpisah, maka begitulah kisahnya. Aku hanya ambil bagian, tidak banyak, mungkin cukup untuk jadi sasaran tembak saja. 

Badai tidak pernah menjelma menjadi Aku. Kekacauan itu adalah milik kepalamu sendiri, dan hati yang digundahi penyesalan. Aku tidak merusak ketika tiba. Aku tidak melukai ketika pergi

Berdebum jatuh segala yang dibangun. Aku menyaksikan semuanya retak dan runtuh satu-persatu. Ada hal yang perlu dibatasi. Aku menghargainya dengan atensi baik yang tidak ingin aku kutik. Tapi bisakah, batasku juga kau hargai. Ada garis yang tak bisa kau lewati. Sedikit lebih banyak privasi. Ada banyak hal yang perlu kubangun untuk diriku sendiri.

Tidak ada lagi yang tertinggal. Selain sisa kenangan dan seluruh asumsi yang kita ciptakan. Bukan aku tak ingin memperbaiki, tapi barangkali memang beginilah yang terbaik. Sebab disalahkan tak bisa melulu menyabarkan. Aku pula manusia yang tak ada bedanya.

Surat ini tak kutujukan untuk siapapun. Terkecuali seseorang yang sering menujukan surat singkatnya kepadaku. Atau seringkali mengenangku dalam memori yang membuatnya berduka. Maaf jika satu halaman ini membuatmu semakin membenciku. Aku telah hatam dibenci.

Jadi biarlah,
Dirimu jadi perkara yang ku ikhlaskan juga.
Dan bencimu, adalah sisa kisah tertinggal yang masih mampu dikenang. 

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya