Denting Sebuah Gelas

Tidak untuk siapa-siapa
Sebab aku diingatkan,
Bahwa menulis tidak harus memiliki muse

Setiap malam aku akan berada disana, dipindahkan dari rak-rak tinggi di dapur menuju sebuah meja makan yang ramai. Aku akan berdenting, selagi ikut berdansa di tangan mereka, mendengarkan mereka bercakap-cakap kemudian tertawa. Mereka senang mengisiku dengan wine merah, kadangkala hanya sekedar soda murah.
 “Aku akan menjemputmu esok pagi, semoga cuaca bisa lebih bersahabat.”
“Pukul 8 pagi, aku tidak mau terlambat dan tidak dapat jatah makan siang.”
“Apapun  yang kau mau…”
Mereka mengangkatku dan sebuah gelas yang selalu menemani bisuku di lemari, membuat kami bersinggungan kemudian berdenting di udara. Menyaksikan mereka tertawa selagi berbagi kisah yang rasanya tak perlu diperbincangkan. 
Perempuan itu, aku lama menemaninya menjalani hidup, menemaninya berkencan dengan pria demi pria yang suka singgah di flat kecil merah muda ini. Menemaninya tertawa, menemaninya bercinta, bahkan menemaninya menangis meronta-ronta sambil membanting benda-benda disekitarnya, kecuali aku. Kecuali aku yang sampai sekarang selalu saja terselamatkan, selalu di ambilnya kembali dari lemari kemudian menemaninya lagi di atas meja. 
Aku, si gelas dari lemari.
Sudah berminggu-minggu aku melihat laki-laki itu singgah, membuat perempuan ini tertawa sambil menyantap sepiring fettucine, kadangkala hanya beberapa bungkus nachos dan saos keju. Terkadang aku dibiarkan mengintip dari kaca lemari tempat aku singgah, menyaksikan mereka berpelukan mesra di ruang tengah sambil menonton DVD tentang dunia yang penuh keajaiban, berusaha menebak-nebak perbincangan macam apa yang sedang mereka biarkan terbang di udara selagi mengisi kekosongan. 
Tetapi perempuan itu masih saja menangis di malam-malam dimana laki-laki itu tidak datang. Sendirian, sambil memutar lagu-lagu perihal perpisahan. Tidak lama, kemudian dia mengangkat deringan telepon dan tertawa, seolah-olah kesedihan itu keluar dan berjalan disepanjang kabelnya. huh, kabel yang malang…
“Benarkah, kalian sudah jadian?” 
“Aku akan kesana, aku tidak akan membiarkan sahabatku menangis sendirian.”
“Apa, besok? Salon? I’ll come with you!”
“Besok aku temani.”
“Don’t you think we have to meet this afternoon? I miss you so badly.”
Semua baik-baik saja. Setidaknya itu yang disampaikan suaranya kepada orang-orang yang jauh di seberang sambungan telepon. Tetapi aku tau dia tidak baik-baik saja. Perempuan yang setiap pagi harus menutupi kantung matanya yang bengkak ber jam-jam di depan cermin. Perempuan yang pulang larut malam, menghabiskan seporsi nasi goreng sambil menatap kosong ke arah angin-angin yang lalu lalang. Perempuan yang sudah lama tidak baik-baik saja.
Dia, tidak baik-baik saja.
Tetapi aku hanya bisa memandanginya dari kaca rak-rak tinggi ini, atau sesekali menemani kesendiriannya dalam kebisuan, menyantap makan malam di atas meja. Terkadang ditemani beberapa tangkai bunga di dalam vas yang kusaksikan kematiannya setiap malam. 
Laki-laki itu datang terus-menerus selama beberapa pekan, kemudian beberapa bulan, melewati beberapa purnama. Membawakan surat-surat cinta dan beberapa kotak cokelat. Membiarkan perempuan itu melompat-lompat kegirangan, bersandar di lengannya, dengan semangat yang selalu meluap-luap. Setidaknya, ketika bersama laki-laki itu, semua perihal soal rindu dan sedih menguap sejenak, menciptakan awan mendung di angkasa. Setidaknya, ketika bersamanya, perempuan itu tidak perlu berdiri berjam-jam didepan cermin  keesokan paginya sekedar mengurusi kantung matanya yang manja.
Sampai suatu malam,
Ketika langit diramaikan oleh cumulunimbus yang sedang berpawai dan hujan yang tidak berhenti berpesta, juga desau angin dingin yang berdansa kesana-kemari, aku menjadi saksi bersama sang waktu di atas meja itu, lagi. Sekali lagi. Ketika perempuan itu duduk berhadapan dengan laki-laki yang lama singgah dan membuatnya lama libur dari aktivitas merenung. Terdiam. Tegang. Dingin. Tidak menyenangkan.
“Kenapa tidak bilang dari awal kalau akan pergi?” siapapun bisa melihat kesedihan itu kembali membuat sarang di dalam matanya.
“Sebelum ini, aku tidak tahu pasti jadi pergi atau tidak.”
“Lalu kenapa memutuskan untuk pergi.”
“Karena aku pikir ini yang terbaik.”
“Jadi kau tidak baik-baik saja jika tetap disini?”
“Bukan begitu, maksudku…”
“Kau tau aku akan baik-baik saja.”
I know you’re not
“But we both know, we can do nonthing about this.” tetap dengan tempo bicaranya yang mantap dan percaya diri.
“We can….”
“No.” perempuan itu memotong, seperti sudah bulat dengan keputusannya, “you better go. I know you better go. Better go away, better go from here, better go somewhere, yes you better go”
“You give me nothing but an empty space between us. We can fight at least a bit more. ”
“No we can’t. Even if you can, no I can not!”
“Do we have to end up this way?”
            “Yes we have to.” Perempuan itu mengalihkan tatapan seolah tidak ingin didebat, sambil menahan air mata yang mulai antri untuk segera tinggal landas.
Kemudian laki-laki itu bangkit, dengan wajah penuh kecewa dan sorot mata sedih yang penuh dengan amarah. Menarik mantelnya dari sandaran kursi, menatap perempuan itu dengan tatapan tidak percaya sekali lagi, kemudian bergegas keluar. Mebiarkan pintu dibanting oleh angin sampai pajangan-pajangan di ruang tamu bergoyang. 
Dan sendiri lagi, dihadapannya, menyaksikannya menangis. Melihat tiap tetes air mata itu meluncur dan dibebaskan. Melihatnya berkawan dengan kebiasaan lamanya, menangis, bersedih lagi. Membiarkan aku dan seluruh barang-barang bisu di flat ini ikut berkabung, menyaksikan tuan kami terpuruk lagi, kacau lagi, berantakan lagi.
Tetapi kemudian dia bangkit berdiri, mengangkatku keudara kemudian melemparku. Membuat aku terbang sepersekian detik membelah angin sebelum pada akhirnya membentur tembok dan hancur. Pecah. Membiarkan sisa Wine merah tumpah dimana-mana. Tersungkur, dengan tubuhku berserakan dimana-mana, terbelah-belah. 
Aku pikir, aku akan melihatnya besok pagi, kembali mengurusi si kantung mata manja. Aku pikir, aku akan duduk lagi bersamanya di malam yang sepi, mendengarkan lagu-lagu sendu sambil membiarkannya merenung. Aku pikir, aku bisa menjadi saksi kisah cinta dan patah hati berikutnya, melihatnya tertawa kemudian menangis di bab yag selanjutnya. Aku pikir aku tidak akan bernasib sama dengan gelas-gelas lainnya yang harus terbuang di tempat sampah seusai menjadi bukti kemarahannya dan kehilangan bentuk.
Tetapi tidak.
Dan aku hanya bisa menyemogakan, semoga dia tetap kuat walau tidak baik-baik saja, dan walaupun ini hanya sebaris doa dari gelas yang dia pecahkan.


Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya