Hidup Suka Lucu


"But in the end I wanna thank you
Because you make me that much stronger."
Untuk yang tidak pernah kemana-mana
Disini, tanpa diminta:)


Masih marak di kepalaku suara-suara yang mengutarakan keresahannya. Gegap gempita membuat praduga-praduga yang membuat wadahnya ingin pecah. Hidup suka lucu, tiba-tiba berantakan dengan sendirinya, padahal aku susah payah menyusunnya dan menjaganya tetap baik-baik saja. Mau hujan, mau panas, mau badai, otak ini seperti mengunciku di satu titik dimana kebahagiaan tinggal bayang-bayang semu yang tertinggal di balik punggungku. Tidak apa-apa. 
Aku memaksakan diri fokus pada genangan-genangan di sepanjang gang yang sempit, menuju sepetak sekolah terpencil yang masih menawarkan kebahagiaan berupa tawa anak-anak yang jarang makan ayam. Kubawa sekantung plastik merah besar berisi nasi uduk dan telur dengan susah payah, harga dari senyum anak-anak itu setiap Jumat sore. Rutinitasku bersama beberapa orang teman yang bergantian mengajar, dan aku secara rutin memilih Jumat sore.
“Tepuk tangan dong tepuk tangan!!”
 Suaranya terdengar asing. Ketika aku sampai di bangunan tanpa pintu itu, ku lihat juga wajah yang yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Aku menyipitkan mata, berusaha memfokuskan tatapan ke arahnya, malas ambil kacamata di dalam tas. 
“Eh, ibu gurunya dateng ya? Itu ibu guru kalian atau kembang desa? Soalnya tampangnya minta banget di kawinin besok.”
 Anak-anak tertawa, aku sendiri justru hanya menahan diri untuk tidak tertawa apalagi marah-marah. Candaan jayus yang mungkin tidak dipahami anak-anak itu hanya bisa kutukar dengan senyum seadanya, sambil masuk kedalam dan duduk di belakang, menunggu laki-laki itu selesai berparodi.
 “Yaudah deh ya, karena gurunya udah dateng dan kaka jadi grogi diliatin terus jadi, Wassalam.”
Laki-laki berbalut jaket biru dongker dan jeans terang itu meninggalkan anak-anak seperti meninggalkan telur-telur bebek, menghampiriku yang duduk di belakang sambil terperangah menunggunya melakukan sesuatu hal yang lebih aneh lagi. 
Dia hanya menundukan tubuh sedikit kemudian mengulurkan tangan, “Gue Jevo. Ini makanannya mau dibagiin kan? Gue bantuin ya”
“Seanna”
Dia menjabat tanganku. Aku bisa merasakan buku-buku jarinya dan tulang jemarinya yang panjang dan ramping. Genggamannya kuat tetapi terbilang singkat. Kemudian dia membawakan kantung plastik merah tersebut ke depan tanpa permisi, membantuku membagikannya kepada anak-anak. Ah, kejutan!
“Duduk yang rapih ya, sampahnya dibuang di tempatnya.”
“Selamat Makan!” Aku menambahkan. 
Dia kemudian menatapku. “Kadangkala yang sederhana itu dibutuhkan”, aku menambahkan, menjawab tatapannya, kemudian berlalu ke tepian ruangan.
“Lo nggak makan?”, katanya sambil membuntutiku.
“Udah tadi. Sorry ya, gue gak tau ada lo disini, jadi gue beliin porsi makannya pas.”
“Nggak papa gue juga abis makan tadi.”
 “Oh gitu. Ko lo tau tempat ini, darimana?”
“Dari tadi.” Kemudian dia tersenyum jahil.
“Parah sih lo garing banget!”
“Kalo gue lucu udah jadi pelawak sekarang”
“Sekarang jadi apa, jadi kodok?”
 “Gila sih lo lebih garing dari gue! Gue mau diem aja nggak tega, mau ketawa tapi nggak ada yang bisa diketawain. Yaudah gue senyumin aja lah ya, hadiah karena lo cantik hari ini.” Kemudian dia menyunggingkan senyuman sok manis ke arahku.
Semoga pipiku tidak bersemu. “Receh banget sih gombalan lo. Udah deh, jawab dulu pertanyaan gue.”
“Tau dari Alif. Dia temen ngampus gue. Gue minta tolong dia bikinin website buat business gue, tapi syaratnya gue harus ngajar disini selama sebulan. Untung seminggu sekali boleh, mana pas gue dateng nggak ada orang.”
 Aku tertawa mendengarkannya yang langsung bercerita panjang lebar, “Lagian sok tau, terus tadi di depan ngapain, monolog?”
“Ya ngapain ke, gue suruh aja mereka nyanyi segala macem. Btw, lo rutin kesini?”
“Cuma setiap Jumat sore sih, palingan kalo emang lagi senggang atau lagi mau kesini, ya gue kesini aja. Kita kan setiap hari gantian ngajarnya.”
“Then what you got or what will I get eventually?”
Aku tersenyum, “Happiness, Kindness, Love, A lot of intangible things”
“hm… basi juga ya.”
“Kita taruhan kalau sampe setelah sebulan lo masih mau dateng lagi kesini.”, aku mengulurkan tangan meminta persetujuan.
“Apapun taruhannya, Deal!” Dia menjabat tanganku dengan yakin. Dia tidak mengerti seberapa lucunya hidup ini. Esok saja mungkin bisa berubah sesuka hati, apalagi sebulan yang akan datang. Selamat menikmati kamu, Jevo!

*****

Masalah-masalah itu seperti hujan bulan Desember, kuantitas dan kualitasnya luar biasa, berada pada rata-rata atas. Untunglah aku punya tuhan, yang lebih besar dari semua kerumitan ini. Tetapi tetap saja, hamba kecil yang tidak tahu kemana harus berlari ini hanya bisa mengadu, bersimpuh, sambil menangis-nangis. Seperti aku, menghabiskan hampir sejam duduk di dalam mobil, membiarkan wajahku basah dan merah oleh ketidak berdayaanku. Di parkiran sebuah swalayan kecil yang sedang sepi. 
Tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobilku.
Aku buru-buru mengelap air mataku kemudian memasang kacamataku. Aku menurunkan kaca tanpa memastikan siapa orang di luar sana yang iseng ngetok-ngetok. 
“Tuhkan bener Seanna! Ngapain lo disini, gelap-gelapan lagi, nonton bokep ya lo!”
Aku mengangkat wajah, hapal benar suaranya Jevo yang selalu high tone. “Apa sih Jev, gue cuma lagi bersemedi aja disini.” aku tersenyum.
 Kemudian dia menatapku sepersekian detik, “Lo kenapa Se, nangis?”
“Nggak Jev, apasih! Lagi flue gue.”
“Kenapa Se…?”
“Nggak papa dibilang.”
“Nggak lo kenapa-napa, ya lo kenapa?”
Diintrogasi justru membuat semua cerita-cerita menyedihkan itu luber lagi di dalam kepalaku. Aku seperti bisa mengimajinasikan segalanya secara rapih dan runtut. Aku tidak bisa menahan mata ini dari aktivitas menangis. Tangisan ini tidak mau digubris, seenaknya keluar sendiri. Jevo tiba-tiba hilang dari balik kaca, pintu penumpang disebelahku terbuka, dan dia masuk kesana, duduk disebelahku tetapi diam saja. Aku tahu dia pasti bingung harus apa.
 “Kenapa sih Jev, udah gue nggak papa” aku mengangkat wajah, mengelap airmata sambil tersenyum ke arahnya. Meyakinkan laki-laki ini bahwa aku baik-baik saja. 
Dia menarik napas, “Gue nggak tau mau ngapain Se”
“Ya nggak usah ngapa-ngapain Jev, Emang mau ngapain?”
“Yaudah-yaudah cerita dulu coba, lo kenapa? Yakan siapa tau aja ternyata gue satu-satunya orang di dunia ini yang bisa bantu lo. Kenapa sih, lo putus? Apa ujian lo nggak lulus?”
“Nyokap gue besok operasi”
“Se, seriously?” Dia diam. Akupun tidak ada bedanya. Aku menatapnya, tetapi justru tatapan itu membuat aku semakin ingin menangis. Seolah-olah aku dikasihani karena aku menderita dan cerita itu benar-benar menyedihkan. Aku tambah sulit menahan tangisku. 
Dia mengusap-usap punggungku, berusaha meredakan isakanku. Tetapi tidak berapa lama kemudian, dia mendekat, juga menarikku mendekatinya. Dia mendekapku. Membiarkan aku bersandar di bahunya, membahasi bajunya dengan air mataku dan bahkan ingus gratisan. 
Hangat.
Rasanya sudah lama.
Sudah lama tidak ada yang melakukannya. Sudah lama aku merasa sendiri. Sudah lama aku merasa ditinggalkan oleh semua orang. Sudah lama aku merasa hidup sebagai individu bukan dalam keterikatan sosial. Sudah lama.
Dan Jevo membuat perasaan-perasaan itu berlalu. Malam ini. Dengan sebuah pelukannya. Tiba-tiba saja. Tanpa permisi. Tanpa diharapkan. Tanpa di duga-duga.
“Mulai besok, gue anterin lo kemana-mana ya, Se.”


     *****

“Lahiya tante, Seanna mah gitu, nanti dia yang salah saya juga yang kena marah. Untung saya orangya sabar.” 
Bunda tertawa, mendengarkan Jevo terus-menerus berceloteh ringan. Menceritakan hal-hal sederhana dengan gayanya yang khas. Membiarkan aku menyendokan nasi ke atas piringnya. Berbulan-bulan berlalu dan dia hampir tidak pernah absen 7x24 jam. Dia bahkan menemaniku bulak-balik ke rumah sakit waktu keadaan sedang menyedihkan. Dia membawakanku nasi uduk di Minggu pagi dan makan bersama di ruang tamu. Kadang dia membawakan martabak keju ke rumah ketika aku sedang tidak ingin bicara. Dia bahkan ke rumah sakit sendiri kalau aku sedang terlalu sibuk, membawakan bunda sebungkus bubur langganan kami kemudian pulang lagi. 
Benarkan, hidup selucu itu! Dia kalah dengan taruhannya, dia bahkan lebih sering mengajar dibandingkan aku sendiri. Kami menghabiskan banyak waktu bersama, bercerita tentang berbagai macam hal. Dia membuat masalah-masalah tersebut lebih mudah kujalani. Sesederhana dia membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa.
“Apaansih Jev, itu kan emang lo yang salah, lo nya aja nggak mau ngaku!”
“Tuhkan tante, saya disalahin terus. Gue udah kebal tau Se lo salahin terus.”
“Seanna emang gitu orangnya Jev, dia doang yang paling bener” bunda ikut-ikutan
“Lah apa-paan ko jadi bikin kongsi gini. Curang banget” aku tidak terima.
Anak ini bahkan berkali-kali numpang makan di rumahku semenjak bunda sembuh. Satu meja bersama keluargaku. Suasana selalu lebih ramai dengan keberadaannya. Keributan di meja makan ini berlipat-lipat ganda. Membuat keluarga ini selalu merindukan celotehannya. 
Beberapa jam kemudian, Jevo pamit pulang. Sudah puas mengganggu ketentraman keluarga ini. Aku mengantarkannya sampai ke depan, laki-laki super rewel ini selalu minta ditemani sampai mobilnya menghilang di ujung gang. Manja memang! Mobilnya juga selalu di parkir di luar rumah, dibawah pohon jambu, malas katanya kalau masuk ke garasi karena harus buka tutup pagar sendiri. Iyalah, dia kan laki-laki, masa aku yang harus melakukannya!
“Se, masuk deh sini sebentar, CD Coldplay gue mana ya”
“Ih cari lah, pasti ada di tumpukan CD. Pelan-pelan!”
“Udah Se, nggak ketemu. Coba lo yang cari dong!”
“Ya tuhan Jevo, itukan cuma CD. Cari sendiri sih!”
“Ya ampun Se bantuin bentar doang, kan biar lo cepet masuk rumahnya”
“Sampe gue cari ketemu, lo kasih gue hadiah ya”
“Bawel banget, cepetan bantuin dulu, Se!”
Aku mengalah, laki-laki ini selalu berakhir membuat aku mengalah. Aku jadi sulit teguh prinsip kalau sama dia. Dia selalu punya jutaan cara mendapatkan apa yang dia inginkan. Kata dia, “Banyak jalan menuju Roma, Se”. Jadilah aku masuk ke mobilnya, memberantaki rak CD nya yang pada dasarnya sudah berantakan. 
“JEV! Astaga, ini Coldplay ya!” aku mengangkat CD Coldplay itu ke depan wajahnya. 5cm di depan matanya. Supaya dia bisa melihat 
CD Coldplay itu lebih dekat dibandingkan mimpi-mimpinya. Kudekatkan lagi sampai 2cm bahkan. Geregetan sekali sama laki-laki ini. Jelas-jelas CD itu ada di rak, memang dia saja yang tidak mau mencari.
Dia nyengir, dengan wajah tanpa dosa itu, “Eh? Iya makasih ya, Se.” Kemudian dia mengambil CD itu dari tanganku.
Aku masih ngomel-ngomel sendiri perihal Jevo yang malas sekali mencari sambil membantunya merapikan rak kecil itu. Menyusun tumpukan CD di dalamnya agar si manja yang satu ini lebih mudah menemukan CD yang sedang dia cari, agar aku tidak perlu masuk ke sini dan….
Dan tiba-tiba,
Tiba-tiba saja aku merasakan bibir itu mendarat di pipiku. Tepat disana. Aku tahu aku tidak berimajinasi. Aku merasakannya. Bibir laki-laki yang selalu manja dan baru saja mengaku-ngaku kehilangan CD Coldplay. Laki-laki yang tentu saja sedang duduk di sebelahku saat ini, detik ini. 
Aku bisa merasakannya ketika dia mendarat lembut disana. Tidak terburu-buru seolah penuh dengan perhitungan. Singkat, tetapi waktunya tepat sekali. Seperti tidak kurang dan tidak lebih. Dia mendapatkan momentum itu! Si gila ini melakukannya dengan teramat baik. Oh Shit!
Aku hanya bisa menatapnya tidak percaya. Tidak punya kata-kata.
1. Jangan panik!
2. Jangan panik!
3. ASTAGA AKU PANIK!!!
“JEV!!!” Aku hanya bisa melototinya dan menepuk bahunya. Kehilangan tenaga untuk melemparinya dengan setumpukan CD yang baru saja aku rapihkan. “JEV ISSSH!!!!!”
Tetapi dia hanya menatapku cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. Ada ribuan kupu-kupu yang terbang diperutku dan jantungku rasanya sedang main trampolin. Astaga aku terasa sedang berada dimana-mana, sedang berhalusinasi, sama gilanya dengan manusia ini! Aku tidak tahu apa harus marah atau senang atau membiarkannya saja atau memutilasinya sekarang juga atau apa?!?!
“Katanya lo minta hadiah Se, yaudah kan gue kasih.”
“Ih gila nih orang emang!” Kutinggalkan rak CD itu di kursi penumpang kemudian keluar dari mobilnya. Dia masih cengar-cengir dari dalam mobil, menggodaku dari jendela. Sumpah aku tetap tidak bisa marah padanya. Aku justru ikut tersenyum dan menanggapinya sebagai sebuah candaan receh ala Jevo Nugraha.
 “Selamat malam Seanna, mimpi indah ya.”
“Pergi lo ahelah Jev!” aku hanya bisa pura-pura marah.
Kemudian mobil itu melaju pergi. Aku menatapinya sampai dia hilang diujung gang. Tetapi pipi ini masih bisa merasakannya. Adegan beberapa detik yang membuat seluruh tubuhku bereaksi. Aku merasa tolol, karena aku bahkan tidak mampu menahan diriku untuk tidak senyum-senyum sendiri setiap kali mengingatnya.
Astaga Jevo, sekarang aku lebih gila daripada kamu!

*****

Ada teori-teori yang terverifikasi dengan rasa dan fakta tanpa perlu menyertakan angka dan statiska sebagai landasannya. Ada hal-hal yang diterima oleh hati nurani dan mengesampingkan logika. Sebegitu lucunya hidup, sudah kubilang jutaan kali, sesulit ini memprediksinya. Buku  The Architecture of Love karangan Ika Natassa yang sempat kubaca siang tadi, membuat aku termenung lama menunggu macet di tengah ibu kota. Terbayang-bayang ketika Raia bergumam dalam hatinya, “Tapi ada satu ciuman yang tidak pernah ingin dialami seorang perempuan, Riv. Ciuman yang harus diikuti oleh penjelasan”, sambil menatap gamang ke arah River, laki-laki yang mendaratkan ciuman di malam musim dingin yang penuh kegamangan.
Rasanya aku ingin berada disana mendampingi Raia, membuat suatu konspirasi tentang suatu gagasan yang amat sangat benar tersebut. Menghadirkan serta sosok Jevo Nugraha agar dia mengerti bahwa tindakannya malam itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang hanya bisa dijawab oleh waktu.
Kamu kemana, Jevo?
Seolah terbirit-birit melarikan diri seusai malam itu. Membuat aku menggantungkan perandaian-perandaian spekulatif. Mebiarkan aku menghabiskan malam sendirian berharap semoga dia baik-baik saja dan tiba-tiba ingat aku. Membuat aku suka tiba-tiba kehilangan selera karena terlalu rindu. Sebegitu mengesalkannya!
Sesi curhatku tadi sore dengan Marissa hanya ditutup dengan saran diplomatisnya, “Mau gimana juga ya kadang kita cuma bisa jalanin, Se. Ada banyak hal diluar kendali kita. Apalagi hati manusia, Se. Siapa yang tau? Bahkan teori manapun nggak ada yang bisa menjabarkan cara kerja hati dengan spesifikasi yang rinci, Se.  Kalau lo kuat dan mau bertahan ya lakukan. Kalau lo ngerasa anggak kuat dan sia-sia, ya tinggalkan. Sesederhana itu ko, Se.”
Ah, mungkin aku perlu segelas hot chocolate dan waffle demi menyenangkan sebagian hatiku yang mulai ikut kedinginan. Aku berbelok masuk kedalam TIS, parkiran sudah lenggang, barangkali orang-orang memutuskan untuk langsung pulang kerumah, makan malam bersama keluarga, daripada menghabiskan sisa malamnya duduk sendirian disini.
Kaca mobilku diketok-ketok lagi. Disana, sosok yang sedang kupikirkan itu berdiri. Tesenyum lagi. Tepat wajah yang kurindukan, yang ingin kuserang dengan jutaan pertanyaan. Yang ingin kuminta pertanggung jawabannya karena tertuduh secara sengaja melakukan kekacauan yang menimbulkan kegalauan berkepanjangan tanpa ada aturan pakai.
“Ehehehe, Seanna” Dia masih cengengesan. Barangkali laki-laki ini tidaklah berubah, akulah yang berubah terlalu mengharapkannya. 
“Dari mana lo?”
To the moon and back, Love.”
“Jangan ngejayus.” Aku jadi sensitif terhadap candaannya.
Dia senyum-senyum sendiri, kemudian tanpa diundang masuk kedalam mobilku. Duduk disebelahku dengan wajah penuk maksud. Jangan itu lagi, kumohon jangan itu lagi!
“Dih, lo ko menjauh gitu sih, Se? Emangnya mau gue apain?”
“Berisik Jevo!”
“Se, gue abis bersemedi tau tadi di dalem kafe. Gue nyebut nama lo 3x terus tiba-tiba lo muncul beneran. Jangan-jangan kita jodoh, Se?”
 “Terserah lo, Jev.”
 “Nggak-nggak gue serius. Gue udah memikirkan ini tujuh hari tujuh malam. Sekarang kita serius ya, Se. Nih, jadi gini, gue emang belakangan ini meminimalisir kontak sama lo, gue penasaran sama perasaan yang sebenarnya lagi gue rasain.” Dia diam sejenak, “Ahelah, Se! Gue bingung jelasinnya gimana!”
Aku tertawa, “Apasih, ya tinggal jelasin aja.”
“Nah, yaudah, gue kira lo bakal nyariin gue, tapi ko lo kayaknya kalem-kalem aja. Gue yang justru malah gelisah mikirin lo mulu gitu. Hp gue jadi gue pegangin terus, kalo ada chat buru-buru gue buka, siapa tau dari lo. Ya gitu pokoknya,Se.”
“Iya, Jev. Terus?” Laki-laki ini memang tidak perlu tahu yang sebenarnya.
“Ih gue tuh takut lo marah gara-gara waktu itu gue….”
“Cium?”
Dia cuma mengangguk, “Gue reflek. Mau ngelakuin dari kapan tahu tapi guekan bukan siapa-siapa lo, Se. Jadi pokoknya gue udah memastikan kalau gue sayang sama lo, nggak neko-neko. Gue sayang sama lo sebagai sahabat tapi ternyata ada perasaan yang lebih juga. Ah, nggak tau ah Se, intinya gue lagi nembak lo, lo mau nggak jadi pacar gue?”
Aku mungkin akan sama gilanya dengan dia. Sepersekian detik perasaan itu bercampur aduk. Semua jenis perasaan larut jadi satu. Kalau bisapun, aku lebih baik loncat keluar dari jendela. Apasih maksudnya si manja ini, berani-beraninya mengungkapkan perasaan begitu saja. “Ini tuh lo serius nggak sih? Lo nggak punya duit buat beli bunga atau cokelat gitu, Jev?”
“Ah Seanna! Gue beli sama pabrik-pabriknya deh kalau lo nerima gue. Gue serius! Lo nggak tau apa ini jantung gue serasa naik histeria dari tadi ngungkapin beginian.”
“Terus gimana dong, Dufan nya harus gue tutup?”
“Se, serius! Gue bunuh diri pake pulpen nih lama-lama.”
“Gue nggak tau, Jev mau jawab apa.”
“Demi apa? Lo nggak ada perasaan apa gitu ke gue, Se? Masa gue nembak jadi garing gini sih, lo pura-pura excited atau apa gitu, Se.”
Aku cuma diam, menatapnya lama-lama. Harus aku apakan manusia ini? Bagaimana cara aku menafsirkan keberadaannya, kesediannya, kemudian hilangnya dia beberapa pekan belakangan dengan dalil memperjelas perasaannya. Iya Jev, Aku sayang. Tetapi bagaimana cara mengatakannya? Rasanya aneh.
“Ah, Se lama! Gue tau lo pasti nerima gue ko.”
Kemudian laki-laki yang selalu sembarangan itu menarikku, aku merasakan bibirnya lagi, tepat di bibirku. Singkat, dia menciumku. Laki-laki ini menciumku. Aku bisa merasakan wangi napasnya, ritme nya yang tidak beraturan, dan detakan jantungnya yang berloncatan. Aku hanya diam. Membiarkan dia melakukannya. Membiarkan dia mendapatkan momentum itu lagi. Membiarkan waktu di sekelilingku membisu dan berhenti. Membuat detak jangtungku mungkin kelelahan karena berdetak terlalu sering.
Dia tahu. Dia yakin.
Bahkan Jika aku tidak mengatakannya,
sekalipun.



Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya