Berhitung, Dok.
“There was love all around
But I never heard it singing
No, I never heard them at all
Till there was you”
Aku yang tak pernah lebih tangguh dari daun jatuh tertiup
angin ini pada akhirnya kalah, kembali lagi menyelami kenangan itu di dalam
matanya. Dibatasi meja dan dua cangkir matcha, serta seluruh
kecanggungan yang kami bawa. Sejak melihatnya dari pintu kafe ketika datang,
aku sunguh-sungguh menahan hasrat untuk tidak berlari memeluknya, menumpahkan
seluruh kerinduan itu di bahunya, agar dia paham betapa tidak menyenangkannya
perasaan ini. Rindu yang dihadapkan pada harga diri dan sia-sianya sebuah
ekspektasi. Bahwa semua cerita yang aku pertaruhkan demi kredibilitas ternyata
tidak sebanding dengan realitas.
Dan aku hanya duduk membiarkannya
menyaksikan keheningan itu tetap bungkam. Berandai-andai waktu dihentikan
disini saja. Aku tidak perlu memilikinya, aku hanya ingin duduk disini
menatapnya. Aku hanya ingin menumpahkan seluruh rindu yang tidak sanggup
kutampung. Tanpa perlu menerima amarah dan sisa kecewanya yang belum mampu dia
lepaskan.
Berlama-lamalah dia memikirkan apa
yang akan dia katakan, agar dia memperlambat waktu. Agar beberapa jam yang
tidak akan terulang esok ini setidaknya menenangkan aku. Agar apa-apa yang
tidak lagi berarti baginya ini setidaknya membuatku lega malam ini. Setidaknya,
biarkan begitu satu kali ini saja.
“Bagaimana pasienmu, Dok? Beres
semua?” Aku berusaha memulai pembicaraan, sambil menyeruput matcha hangat
tersebut dari bibir gelas.
“Setengah harapan hidup, setengah
harapan mati. Bukankah harapan selalu begitu?”
**********
Aku selalu benci rumah sakit. Suara
berderit ranjang-ranjang pasien yang di dorong dengan terburu-buru, kursi roda
yang berjalan modar-mandir, wangi-wangi karbol di sepanjang lorongnya, juga
harapan-harapan hidup yang teramat terbatas. Atmosfer rumah sakit selalu tidak
menyenangkan. Aku tidak pernah suka berada disana
Tetapi malam itu aku
terpaksa harus bermalam disana, menemani omahku yang sedang menjalani perawatan
medisnya. Tidak menyenangkan memang, tapi aku menganggap ini sebuah kewajiban
dan sekedar bakti yang harus aku laksanakan. Rumah sakit omah, malah spesial.
Gedungnya terpisah-pisah. Disambung lorong outdoor panjang
yang lampunya juga tidak banyak. Sepanjang jalan ditemani bunyi jangkrik dan
kodok suka loncat-loncat menyebrangi lorong.
Hampir pukul 12 malam ketika aku
terpaksa turun, menelusuri lorong itu jauh menuju apotek. Butuh sekitar 15
menit untuk sekali tempuh, 30 menit untuk perjalanan bulak-balik. Kalau bisa
pakai Gojek, mungkin sudah kupesan sejak tadi. Belum lagi hawa-hawa semi mistis
dan cerita-cerita seputar hantu-hantu yang suka ku curi dengar dari
suster-suster.
Aku berjalan
terburu-buru, sesekali melirik handphone dan jam tangan dengan
gelisah. Bulu tengkukku berdiri, aku mulai mengimajinasikan segala macam hal
yang aneh-aneh. Kemudian handphone ku berdering, aku yang
kaget, refleks melemparnya ke udara. Ah tidak, arah lemparannya justru
kebelakang.
“Brukk!”
Aku bisa melihat handphone itu
mendarat tepat di kepala laki-laki itu. Ketika dia sedang berkonsentrasi
mengendarai sepedanya menyusuri lorong. Membuat kacamatanya miring dan melorot
ketika hp itu melakukan benturan. Dia kehilangan keseimbangan beberapa saat,
sepeda itu miring-miring kehilangan arah sehingga dia terpaksa
memberhentikannya. Kemudian laki-laki dengan jas putih dan stetoskop di
lehernya itu memungut handphoneku seusai membetulkan
posisi kacamatanya. Dia menatapku ragu sambil menyodorkannya.
Aku menerimanya,
“Maaf, Dok. eh?”
Dia mengusap-usap keningnya sambil
tersenyum,”Iya nggak papa.”
Usianya mungkin sekitar awal 20-an.
Dokter muda kurasa. Dengan potongan rambut rapih dan tipis, mungkin bisa
disebut botak, meskipun aku tidak mau menyebutnya begitu. Pipinya kemerahan,
mungkin sudah bersepeda berpuluh-puluh putaran seharian ini, atau sebenarnya
ingin marah karena baru saja “ditimpuk” handphone.
“Maaf ya, Dok. Saya parno sendiri
dari tadi jalan disini.”
“Iya nggak papa, mau kemana?”
“Ke apotek, kata satpam di gedung
ujung. Saya juga nggak tau tapi di sebelah mananya. Mana daritadi saya jalan
berasa nggak sampe-sampe.”
“Oh gitu? Saya juga mau kesana. Kalau
kamu mau saya boncengi, nanti saya antar sekalian ke apotek.” Dia menoleh ke
belakang, “Tapi boncengannya berdiri, nggak papa?”
Kalaupun aku harus naik ke pundaknya
atau duduk diatas stang sepeda aku tidak akan menolak. Tidak ada tawaran yang
lebih baik dibandingkan tawaran seseorang yang mau menemanimu ke apotek ketika
jam hampir menunjukan tengah malam. Mau bagaimanapun, itu jauh lebih baik
dibandingkan harus berjalan sendirian, di tambah aku tidak tahu letak pasti
apoteknya.
“Boleh?” aku bertanya
meyakinkan. Please Dok, jangan berubah pikiran.
“Boleh.” Dia menjawab singkat sambil
tersenyum.
Aku naik di belakang, beberapa kali mengucapkan
maaf karena harus berpegangan pada pundaknya. Dia mengantarkanku ke apotek,
untunglah urusannya di selesaikan di ruangan yang tidak jauh dari apotek.
Setidaknya jika aku melihat suster di apotek tidak napak, aku bisa berteriak
dan masih punya harapan seseorang akan menolong.
Beberapa menit
kemudian, dia kembali lagi, “Sudah? Saya mau kembali lagi ke sana, saya antar
lagi saja ya?”
“Waah, Dok saya nggak mungkin nolak.”
Aku kembali berdiri dibelakangnya,
berpegangan pada pundaknya. Membiarkan dia menggoes sepedanya perlahan-lahan.
Mungkin saja ada peraturan “Tidak Boleh Ngebut!” disini atau semacam “Yang Bawa
Sepeda Harap pelan-pelan!” atau bisa jadi rumor semacam, “Jangan berisik, nanti
penunggunya marah!”
“Dokter jaga malam?”
“Iya, namanya juga pemula.”
“Setiap malam?”
“Tidak juga. Tapi lumayan sering.”
“Terus, Dokter sendirian?” aku tidak
bisa menahan hasrat ingin tahuku.
“Yang tugas jaga ada beberapa tapi
kan nyebar kemana-mana.”
“Dokter berani?”
“Apa yang harus ditakutin?”
“Yah yang seram-seram, Dok. Masa
nggak ada?”
“Ada, tapi kayaknya nggak perlu
dibawa takut, nanti malah kepikiran sendiri. Sudah sampai, mau langsung ke
atas?”
Dia menurunkanku tepat di depan
gedung omah di rawat, aku masih harus jalan menelusuri lorong bawah, menaiki
tangga, melewati lorong atas, ah kenapa perjalananku seperti Dora The
Explorer, rasanya jauh sekali. “Iya deh saya langsung ke atas aja,
makasih ya, Dok”
Dia hanya tersenyum, “Iya sama-sama.”
kemudian melajukan sepedanya lagi, entah mau kemana. Di sepanjang jalan menuju
kamar Omah, aku tiba-tiba memikirkan hal-hal aneh semacam, “Bagaimana jika
ternyata tidak ada dokter yang jaga malam sambil naik sepeda disini?” atau
“Bagaimana jika ternyata dia bukan manusia?”, “Bagaimana jika aku ternyata
hanya berhalusinasi?” Hiih bulu ku kembali merinding.
Tapi, dia tampan
juga.
**********
Aku ingin
membuat time table, setiap kali mengingatnya. Segala hal
tentang aku dan dia seperti tersusun dan terstruktur rapih. Tahapan-tahapan
yang kami jalani berurut dan runtut seolah dia enggan kehilangan satu
langkahpun. Aku yang penuh spontanitas hanya bisa mengikuti pola diagramnya
yang selalu menunjukan progress. Akan ku jabarkan time table yang
berhasil kubuat beberapa hari belakangan ini, sambil terus merindukannya. Iya,
rindu!
Minggu pertama, dia
membantuku menebus obat
Minggu kedua, dia
membantuku menebus obat, namanya Damaresh, panggil saja Dama. Aku bilang
padanya, namaku Theana, lalu dia mulai memanggilku Thea
Minggu ketiga, dia
mengajakku makan malam bersama
Bulan pertama, dia
mengajakku nonton bioskop. Dia menjemputku dirumah, kemudian mengantarku walau
malam sudah larut. Berpamitan dengan orangtua ku, meminta maaf sebab dia
memulangkan anak gadis malam-malam. Tidak sopan katanya.
Bulan ketiga, dia selalu
menelfonku ketika malam tiba, seusai menuntaskan tugas-tugasnya. Ketika aku dan
dia sama-sama menunggu malam sedikit larut dan tidur dengan tenang. Dia selalu
menanyakan kabar, bagaimana aku menjalani hari, dan beberapa obrolan ringan
lainnya. Kami sudah mengganti kata Saya dengan Aku sejak
beberapa waktu sebelumnya.
Bulan ke enam, dia
memberikan aku sekeranjang penuh buku-buku baru yang ku catat dalam list pembelian
sampai beberapa bulan selanjutnya. Seusai menemaniku membeli beberapa keperluan
ngampus, kemeja baru, dan make up yang sudah mulai habis.
Katanya, “Aku sayang kamu, bunga itu cepat layu, cokelat pasti langsung habis,
kalau buku bisa disimpan sampai tua, sampai kamu rindu lagi, dan gunanya
banyak.”
Tahun pertama, mengenalnya
adalah hal yang luar biasa. 6 bulan menjalin hubungan dengannya jauh lebih luar
biasa. Aku paham, aku membaginya dengan semua orang. Dr. Damaresh Barata milik
semua orang, tidak hanya milik keluarga dan kekasihnya, Theana Rossa.
Satu tahun tiga bulan, Dama
sibuk. Dama sibuk. Dama selalu sibuk. Aku hanya punya 20 menit setelah pukul
sembilan sebelum dia tidur. Hanya cerita singkat yang mulai kehilangan topik.
Dia bahkan seperti tidak punya sabtu minggu. Kontak dengannya sangat minim
bahkan beberapa kali hilang. Aku sangat ingin memahami
kesibukannya.
Satu tahun empat bulan, Dama
memberikan waktunya untuk semua orang kecuali aku.
Satu Tahun enam bulan, Dama,
aku menyerah!
Masih kuingat fase terakhir dari
penjabaran time table ku yang amat sangat sederhana. Ketika
aku pada akhirnya mengatakan padanya, “Dama, aku menyerah!”
Aku ingat benar betapa rindunya aku
dengan bapak dokter itu. Dengan orang yang tidak lagi punya waktu untuk sekedar
menjemputku makan malam dekat rumah. Dia seperti tidak punya libur. Aku sendiri
tidak pernah libur memikirkannya sambil rindu. Pahamkan betapa sulitnya?
Aku datang, membawakan mie goreng
yogya kesukaannya dan segelas kafein andai malam ini dia perlu lembur, ke
apartementnya. Ketika dia membukakan pintu, dia hanya tersenyum ringan kepadaku
sambil berkata santai, “Loh kamu, sini masuk!”
Tidak ada pelukan selamat datang atau
sekedar sapaan mesra. Aku ini siapa, pasien nya di rumah sakit kah? Tidakkah
dia rindu dengan beberapa ratus jam yang tidak lagi dia gunakan untuk
menemuiku. Yang dia gunakan sibuk membaca setumpukan buku dan mengabdi pada
tugasnya. Tidakkah setidaknya dia memikirkanku atau rindu, sehingga
kedatanganku membayar tuntas semua waktu yang dia gunakan untuk itu?
Aku masuk, menghangatkan makanan yang
aku bawa, meletakannya di atas piring, menyajikan diatas meja kerjanya di sudut
ruangan. Dia hanya tersenyum. Hanya itu. Aku hanya menatapnya dari sofa.
Memperhatikannya sibuk sendiri. Tidak mau menggubrisku, tidak mau mengajakku
bicara. Dia punya dunia baru dan tidak ada aku didalamnya, tidak ada!
Hatiku rasanya tidak
karuan walau dia hanya diam disana. Untuk seseorang yang tidak berusaha
melakukan apapun, ternyata dia melakukannya dengan baik, iya, menyakitiku.
Rasanya ada jutaan kata yang ingin aku tumpahkan dihadapannya, ada jutaan
keluhan yang ingin aku tamparkan ke wajahnya, dan ada jutaan rindu yang ingin
ku kembalikan kepadanya. Aku harap, aku bisa. Aku harap, aku sanggup.
Aku bangkit dari sofa, merapikan
barang-barangku, memasukannya ke dalam tas, melihatnya sekali lagi, “Dama, aku
pulang!”
“Loh, The. Mau
kemana?”
“Pulang, udah malam”
Dia bangkit berdiri, dia pintar, dia
pasti tahu kapan keadaan menjadi tidak nyaman. “The?”
“Apa”
“Kenapa kamu?”
“Nggak papa, aku balik, hati-hati.”
Aku melangkah menuju pintu, tidak mau melihatnya. Ingin tidak menggubrisnya
seperti dia melakukannya. Ingin tidak memperdulikannya seperti dia
melakukannya. Aku hanya ingin sesederhana dia, itu saja.
Dia kemudian meraih lenganku,
“Kenapa?”
“Nggak papa, capek aja, mau balik
dulu.” aku tersenyum
Dia mengamatiku, satu detik, dua
detik, beberapa detik, “Kamu kenapa, The?”
Aku menatapnya balik sambil
menimbang-nimbang harus apa. Haruskah bertahan dengan statement tidak
apa-apa, ataukah harus memeluknya untuk menyalurkan seluruh rindu itu,
ataukah aku harus marah padanya karena dia harus bertanggung jawab atas semua
kekecewaanku, bagaimana? Aku bersandar di tembok, lelah sekali, hanya
menatapinya, menatapi wajah itu lama-lama, kemudian tanganku membelai wajahnya,
“Dama, kamu lupa sama aku?”
“Lupa apa The?”
“Kamu darimana aja?”
“The, aku sibuk, aku…”
“Aku tau kamu sibuk Dam, tapi
bukannya lost contact kayak gini, bukannya nge ignore aku
kayak gini, aku dateng kesini buat ketemu kamu, ngobrol sama kamu, aku kangen,
Dam.” aku menjaga suaraku tetap rendah sambil menahan emosiku yang sedang
mendidih di kepala.
“The, aku lagi sibuk banget. Banyak
pasien yang harus aku tangani.”
Aku tambah kesal, bukankah kata maaf
bisa menyelesaikan kemarahanku malam ini? “Dam, aku tau. Apa aku terlihat
seegois itu buat kamu? Tapi hubungan ini dijalanin juga pakai komitmen. Aku
nggak butuh dijenguk terus-terusan kayak pasien-pasien kamu, nggak butuh ditanyain
udah makan belum atau di antar jemput setiap hari. Tapi bisakan kamu sekedar
ngabarin aku?”
“Aku jadi suka lupa
waktu The, terlalu banyak kerjaan belakangan ini.”
“Lupa waktu atau lupa aku, Dam?”
Dia diam.
Untuk pertama kalinya semenjak aku
mengenal Dama, dia diam. Bukan karena dia ingin mengalah dan membiarkan aku
menang, tetapi karena dia tidak punya jawaban. Atau dia punya jawaban, tetapi
dia paham benar itu tidak pantas dikatakan dihadapan seorang perempuan yang
sedang mencintainya mati-matian.
“Kamu ada untuk
semua orang kecuali aku, Dam.”
“The, ini pekerjaan aku.”
“Dam, sesusah apa sih 2 menit kamu
sekedar untuk kasih kabar dan tanya kabar aku? Dari 20 menit perhari, 10 menit
perhari, 10 menit per 3 hari, 10 menit per 1 minggu, 5 menit per satu minggu, 2
menit per satu minggu, sampai kamu nggak pernah ada sama sekali. Aku tidak suka
berhitung, tapi aku menghitung setiap waktu yang aku lewatin tanpa kamu. Sampai
aku menghentikan seluruh perhitungan itu karena rasanya nggak pernah selesai, Dam.”
“Mau kamu apa, The?”
“Dama, aku menyerah!”
Aku masih ingat tatapannya yang
sangat lama. Seolah dia mengamatiku tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Tahukan
hal yang menjijikan dari seorang perempuan yang sedang marah? Mereka
tetap ingin dirajuk, diminta, dipaksa untuk bertahan lebih lama. Tetapi aku
seperti tidak mampu mengharapkan apapun dari sosok Damaresh Barata. Dia
membiarkanku pergi, seolah dia tidak mau melakukan perubahan, tidak mau
mengusahakan apapun, tidak mau memaksaku untuk bertahan disana dan bersabar.
Dia melepaskanku, begitu saja. Iya, begitu saja.
**********
Hampir satu tahun berjalan.
Aku tidak pernah lupa bagaimana
sulitnya melupakan dia, merindukan dia, mengingat dia dari setiap sudut tempat
yang pernah kita datangi, dari bill-bill dan tiket nonton yang kutemukan di
dompet, dari buku-buku yang kupajang apik di sepanjang rak buku, dari lagu-lagu
yang sering kami dengarkan di mobil, semua hal tentang apapun, dimanapun, dan
bagaimanapun seperti selalu saja mengembalikan aku pada Dama.
Tetapi hidup berjalan, waktu berlari,
dan aku tidak mungkin diam ditempat.
Tetapi pada akhirnya aku
mengikhaskannya sebagai perkara yang tidak selesai.
Tetapi kemudian dia menelfonku di
sore yang dingin, mengajakku untuk kembali bertemu.
Tetapi kemudian usahaku selama satu
tahun penuh ternyata sia-sia.
Tetapi kemudian aku berakhir lagi
disini, bersamanya, dan sebuah tanda kekalahan.
“Bagaimana pasienmu, Dok? Beres
semua?” Aku berusaha memulai pembicaraan, sambil menyeruput matcha hangat
tersebut dari bibir gelas.
“Setengah harapan hidup, setengah
harapan mati. Bukankah harapan selalu begitu?”
Aku hanya tersenyum, meletakan gelas
kembali ke tempatnya. Bukankah apa-apa yang berada pada tempatnya selalu lebih
baik, eh? Pertanyaannya selalu saja begitu, ada tuntutan implisit agar aku
menjawab dengan suatu perkara lain.
“Setengah-setengah. Sisanya, mengenai
presentasi manakah yang lebih unggul dari yang lain adalah pilihanmu, selalu.”
Dia mengangguk, membenarkan, “Kita
selalu punya alasan kan untuk memilih? Dan kadangkala itu sekedar dorongan hati
nurani, bukan fakta dan data.”
“Seharusnya begitu. Dan semoga saja
dorongan nurani itu demi kebaikan semua orang, tidak hanya dipertimbangkan
untuk kepentingan pribadi. Semoga”
“Kadangkala apa yang terlihat buruk,
juga belum tentu begitukan?”
“Contohnya?”
“Seperti aku yang
melepaskanmu pergi waktu itu, karena aku tahu aku tidak bisa apa-apa dan kamu
tidak pantas menunggu.”
Aku terdiam.
“Aku tidak memaksa kamu percaya.” dia
tersenyum. Senyum yang aku rindukan dan selalu coba kulupakan selama setahun
belakangan, “Tapi aku senang kamu belum punya pacar.”
Aku mau tidak mau tersenyum.
Tahu tidak, rindu dan hasrat untuk
memeluknya itu bertambah berkali-kali lipat. Semakin dia bicara yang aneh-aneh
semakin aku merindukannya. Semakin aku ingin kembali kepadanya. Untuk
mempercayainya lagi, bersabar lagi, menunggunya lagi.
“Dama, kamu pikir, sesederhana itu
menjalin hubungan baru ketika terakhir kali kamu dibiarkan pulang begitu saja
oleh seseorang yang kamu tunggu berbulan-bulan lamanya?” Aku tersenyum, aku
tidak lagi punya hasrat untuk marah.
“Aku udah nggak sibuk, The.”
“Yah bagus dong.”
“Jadi nggak mau balikan?”
Aku tidak bisa tersenyum lebih lebar
lagi, “To the point sekali bapak dokter ini. Memangnya anda punya
alasan kuat apa supaya saya mau balik lagi?”
“Move on susah The”
Aku tertawa, “Denganmu, aku jadi suka
berhitung, jadi mari berhitung lagi. Aku menjalani satu minggu menangis, 2
minggu kemudian mengharapkan kau menghubungi, 1 bulan kemudian merindukanmu
tanpa henti, 2 bulan kemudian recovery, bulan-bulan kemudian
meyakinkan diriku bahwa tanpamu aku baik-baik saja, kalau dihitung-hitung ya
kurang lebih 1 tahun. Kemudian, kamu mengagalkannya dengan 1 jam saja duduk
disini dan berunding dengan damai?”
“Aku akan menggantinya dengan seluruh
sisa hidupku” dia sambil bercanda.
“Aku tidak mau, Pak Dokter. Kalau mau
memulai lagi ya mulai dari awal. Bukan 1 jam bersama kemudian balikan. Aku
tidak mau menyia-nyiakan usahaku satu tahun belakangan ini”
Dia tersenyum,
“Perhitunganmu sederhana tapi terperinci ya, ribet sih, penuh untung rugi, tapi
kalau memang harus begitu, ya akan aku jalani. Aku bahkan menerima keputusanmu
untuk berpisah walaupun tidak mau. Jadi sekarang, kalau aku mau, dan kamu
bahagia, ya kamu pasti bahagia sama aku, jadi pasti aku lakukan.”
Aku hanya tersenyum, menyeruput matcha ku
lagi.
Terserah kamu, Dama.
Asal melihamu sering-sering, aku
bahagia.
Comments
Post a Comment