Tawa, Lensa, dan Secangkir Kopi

The 1st winner of writing competition
Bekasi, 2015




Suatu hari, gadis itu tidak sengaja berkenalan dengan seorang pecandu kopi.
Pecandu kopi, mengenalkan si gadis dengan sahabatnya, si penggila fotografi.
Maka cerita ini tentang mereka, dan aku, sang takdir, sebagai saksinya.
Kukenalkan pada kalian...
Jelita, si gadis cantik yang tidak beruntung.
Mandala, seorang pecandu kopi yang salah langkah.
Dan Raga, si penggila fotografi yang hilang arah.

Lihatlah Mandala! semua detail di dirinya sempurna. Tidak ada celahnya, apalagi salahnya. Hai kamu, AWAS JATUH CINTA! Tetapi Mandala tidak peduli. Hatinya dikunci seribu gembok. Kemudian, mendadak seribu gembok itu membuka dengan sendirinya dan jatuh ke jalanan. Sewaktu dia berkenalan dengan gadis berdagu runcing yang dia kenal dengan nama Jelita.
Jelita, siapa pula yang sanggup jalan dan melewatinya begitu saja. Dia punya segalanya. Tetapi dia lebih suka jadi pasif. Masa bodo dengan orang-orang yang ribut dengan hidup yang lainnya. Tapi tiba-tiba dia peduli, pada seseorang bertangan dingin yang menjabatnya kemarin sore. Raga namanya.
Lalu, ada Raga yang duduk asyik dengan SLR nya. Tampan luar biasa, tapi tidak ada yang sadar, begitupun dirinya sendiri. Dia yang selalu bicara apa adanya dengan nada datar-datar saja. Tidak pernah tertarik dengan apapun. Tidak pernah mau ikut-ikutan dan jadi sorotan. Lalu dia kini ingin jadi yang paling diperhatikan. Karena seseorang telah mencuri paksa perhatiannya. Seseorang yang terlalu banyak bicara dan teramat senang tertawa. Yang mengomentari hobi fotografinya, lalu dengan anggun mengenalkan dirinya sebagai Jelita.
Mereka diseret sampai di sana, untuk saling mengenal dan bertukar terlalu banyak hal. Ada sejuta cerita yang bisa mereka urai sambil duduk di sana. Ditemani kopi, diselingi suara jepretan, dan dibumbui dengan tawa. Siapa yang tahu, jika banyak cinta yang beterbangan minta dijangkau. Sementara satu sama lainnya hanya bisa saling menanti. Hanya terus menunggu. Hanya tidak tahu harus bagaimana.

"Foto lo bagus nih hasilnya," kata Raga menatap serius ke arah kameranya. Padahal dia bicara pada Jelita. Tetapi memang begitulah adanya dia.
Jelita tertawa lagi, "Gue masih nggak ngerti sama sense dari sebuah foto. Kalo itu bukan foto gue, rasanya nggak spesial sama sekali." Jelita tidak mengerti. Tentu saja!
Mandala menyeruput kopinya lalu tersenyum. "Nggak semua hal bisa kita mengerti. Gue juga nggak ngerti kenapa lo seneng banget ketawa," timpal Mandala tersenyum tulus.
Andai saja aku bisa berbisik, memberi tahu mereka tentang masa depan. Tetapi aku hanya takdir. Aku mati. Karena sesungguhnya terlalu banyak tawa yang mereka lepas. Terlalu banyak bagian yang diabadikan dengan lensa. Terlalu banyak kenangan dari rasa khas secangkir kopi biasa.

Terlalu banyak...
*****
            Kalau saja Tuhan mengizinkan aku bicara. Sebab aku sendiri tak tega menemani mereka menjalin cerita cinta yang terlalu banyak menyebabkan hati pecah. Karena kedua hati yang saling jatuh cinta itu pada akhirnya bersatu dengan sendirinya. Raga dan Jelita. Mereka menyingkirkan Mandala tanpa sengaja. Mandala yang hidupnya begitu sempurna kini jadi satu-satunya yang dibuang. Ia telah menunggu sekian lama, telah menanti dengan sabar, tetapi berakhir ditepikan.
Tidak ada yang salah. Maka dari itu, percuma saja main salah-salahan. Raga dan Jelita terlanjur  sama-sama cinta. Mandala, juga terlanjur membuka hatinya terlalu lebar untuk Jelita. Yang Raga dan Jelita ketahui hanyalah hubungan mereka yang selalu baik-baik saja. Tetapi Mandala, dia dibunuh terus-menerus oleh ketidaktahuan itu dan ketidakberdayaan itu. Pergi sajalah Mandala! Cari saja ceritamu sendiri lalu bahagia di sana!
“Man, gue sama Raga jadian,” kata Jelita waktu itu. Dengan senyum riang khasnya yang membuat tidak seorangpun tega menyakitinya. Sambil menggenggam tangan Raga erat-erat. Mendeklarasikan pada Mandala dan secangkir kopinya soal hubungan mereka.
            Mandala hanya bisa tersenyum. "Selamat ya," seolah bicara pada kopinya. Karena ucapannya juga hambar, pahit bahkan. Tidak sampai hati dia mengucapkannya.
"Jelita mau nraktir lo hari ini Man," sahut Raga tak berdosa. Sahabatnya itu bahagia. Terang-terangan bahagia. Nyamuk yang sedang terbang pun tahu kalau laki-laki itu sedang berbahagia.
"Jangan gitu, santai aja,” jawab Mandala. Tersenyum. Tidak tulus. Karena dia terluka. Karena dia sakit. Karena dia sekarat. Tetapi dia tidak mau menghancurkan momentum mahal nan berharga milik sahabatnya dan satu-satunya gadis yang dia cintai. Tidak!
"Man, lo kapan nyusul nih, biar kita bisa double date," tanya Jelita bercanda. Tetapi candaannya tidak tepat. Canda itu menyakiti. Sementara Mandala memaksakan senyumnya, Jelita justru tersenyum lebar sekali, tidak lupa Raga yang tiba-tiba membuat suara jepretan dari kameranya. 
"Nanti aja, gampang lah gue nyusul," jawab Mandala asal. Tuhan, tolong selamatkan laki-laki malang ini. Tuhan tolong! Mandala, dia mengharapkan segala yang terbaik untuk Jelita. Segalanya, termasuk membiarkan gadis itu menjalin hubungan bahagia dengan sahabatnya sendiri. Hanya saja, terkadang dia berharap. Andai... Andai saja kebahagiaan seorang Jelita adalah dirinya sendiri.
Lantas cerita ini terus berlanjut tanpa sesuatu pun berubah. Hubungan Jelita dan Raga tidak bisa diharapkan putus. Jelita menggantungkan hidupnya pada Raga. Dia mencintai Raga, terlebih lagi, dia membutuhkan Raga. Dan Mandala yang malang, dia mawar layu yang tidak pernah mati. Sebab biar dia layu, dia akan terus bernapas demi menjumpai senyum Jelita walau hanya seminggu sekali.
*****
Seorang Raga tidak pernah banyak bicara. Karena dia memikirkan terlalu banyak kata di kepalanya sampai-sampai dia urung mengeluarkannya dan mulai menjabarkannya satu persatu. Termasuk ketika dia berdiri di sebuah persimpangan, dimana kanan dan kiri sama pentingnya. Malam itu, Raga hanya tidak sengaja mempir ke rumah Mandala untuk mengambil beberapa kertas tugas. Mandala yang malas-malasan menyuruh Raga mengambilnya sendiri di meja berantakan yang dipenuhi tumpahan-tumpahan kopi yang mulai mengerak.
Tidak ada yang aneh, sampai Raga yang iseng mengangkat cangkir kopi Mandala dan menemukan tulisan Jelita:) di atas piring alasnya. Dan ternyata terselip beberapa foto Jelita di bawah pajangan gelas-gelas kopi kesukaannya. Jika selama ini ternyata sahabatnya sendiri mencintai gadis yang mendedikasikan cintanya untuk Raga, sulitkah untuk mengorbankan salah satunya demi yang lainnya? Raga merasa ini tidaklah adil. Tidak untuk Mandala, tidak pula untuk Jelita, dan dirinya. Tidak adil karena sahabatnya sendiri harus berbohong padanya tentang perasaannya sendiri
Maka Raga menemui Jelita di pagi yang cerah. Senyum itu menyambut, seperti biasa. Senyuman khas bahagia yang membuat Raga goyah. "Jelita, hubungan kita harus selesai."
Raga tidak sanggup menatap wajah itu. Wajah yang menantangnya dengan kecewa dan sakit hati. "Kenapa?" serta mata yang sebentar lagi akan menumpahkan segala isinya.
"Nggak bisa.... kita nggak seharusnya kayak gini."
"Ya kenapa!!" teriak Jelita tidak sabaran.
"Karena Mandala juga jatuh cinta."
Siapapun, tolong selamatkan mereka!
*****
Raga jadi titik pusat di mana semua amarah itu meledak dan bersumber paling besar. Lalu pada akhirnya, Raga juga yang paling lama terbakar apinya. Jelita marah besar. Dia ngamuk nggak karuan. Gadis itu membenci Raga, lalu membenci Mandala. Tapi tak seorangpun bisa berbuat banyak.
"Lo bego karena ngambil keputusan yang salah," caci Mandala.
"Lo yang bego! Lo yang nggak mau jujur sama perasaan lo," balas Raga dengan nada yang menanjak naik.
"Gue nggak mau jujur karena gue nggak mau nyakitin dua orang sekaligus! Lo pikir gue egois!?" Mandala tidak kalah keras berteriaknya.
Raga diam sejenak. "Tapi kalo lo bilang, gue nggak perlu jadian sama Jelita."
"Terus apa artinya? Lo jadian atau nggak, lo berdua emang sama-sama cinta kan?" sahut Mandala tidak mau kalah.
Raga hanya terdiam. Kini semua orang membencinya. Kini semua orang menyalahkannya. Bahagia bisa juga sesulit itu.
"Kalo lo bilang dari awal Man, kita bertiga bisa jadi sahabat aja. Duduk di cafe sambil ngopi, sambil motret, sambil ketawa. Lo pecundang!" Raga menyalahkan Mandala.
"Dan kalo lo nggak ngambil keputusan kayak gini, hidup lo berdua akan bahagia. Gue pada akhirnya akan move on dan pacaran. Kita bisa nongkrong di situ sampe punya anak cucu," Mandala tidak mau disalahkan. "Sekarang lo tahu Jelita nggak mau lagi ketemu kita berdua. Lo juga tau Ga, lo akan ngebayar keputusan ini seumur hidup lo." Mandala lalu meninnggalkan Raga.
Raga duduk merenung di sana. Sendiri. Dia tahu dia akan berakhir sendiri. Tanpa aroma semerbak Machiatto maupun tawa yang membuatnya selalu rindu.
*****
Jelita sangat marah. Raga tentu harus membayar mahal. Tetapi bagaimana? Karena perasaan benci yang tak gentar membuat sarang di hati Jelita masih kalah dengan perasaan cintanya. Laki-laki itu masih saja terselip di pikirannya. Semua detail tentangnya melekat dengan sempurna. Hatinya justru ngilu setiap kali kenangan bahagia yang masih segar di ingatan banjir di otaknya. Raga yang suka memgabadikan apa saja dari lensa kameranya. Raga yang cuek dan nggak ribet. Semua tentang Raga.
"Gue minta maaf," ucap Mandala di sebuah coffe shop yang ramai.
"Gue bingung, Man. Gue nggak tahu harus ngapain. Gue nggak tahu mau benci ke siapa, harus marah ke siapa, mau move on kayak apa, nyusun semuanya lagi dari mana. Gue nggak tau," jawab Jelita jujur. Berbicara dengan lesu, dalam tempo yang lambat.
"Maaf, tapi gue nggak bisa memperbaiki apapun."
"Gue mau marah sama kalian berdua. Karena lo, Raga mutusin gue. Karena Raga, hubungan kita bertiga berakhir kayak gini. Tapi di sisi yang lain, gue tahu, lo juga manusia yang nggak bisa milih mau jatuh cinta ke siapa, Raga juga manusia yang nggak mau jadi jahat karena bikin temennya berkorban. Mungkin, emang gue yang tersesat di sini."
"Lo boleh benci gue. Karena sekuat apapun gue berusaha memperbaiki semuanya, ternyata gue emang nggak bisa.”
"Begitu pula gue cinta sama Raga. Di saat gue benci sama dia pun, hati gue masih jadi pemenang yang duluan ngeproklamasiin cinta. Terlanjur, Man...."
Hati Mandala masih nyeri mendengar pengakuan itu. Biar tidak baru sekalipun. "Gue tahu."
"Gue nggak bisa ketemu Raga dulu, Man. Karena gue terlalu sakit hati. Setiap ngeliat dia, ada entah berapa banyak kata yang pengen gue ungkapin tapi nggak tahu kayak gimana. Ujung-ujungnya gue cuma bisa nangis. Gue juga nggak bisa ketemu lo dulu, Man. Karena setiap kali gue ngeliat logue mau nyalahin lo sekaligus merasa bersalah. Gue nggak tau harus milih yang mana."
"Gue tahu, Ta...."
Jelita kemudian menyodorkan beberapa tiket bioskop. “Tiket perpisahan. Gue mau stop ketemu kalian dulu setelah hari itu. Gue butuh banyak waktu buat ngerapiin semuanya. Itu akan jadi hari terakhir kita bertiga bareng-bareng.”
"Berpisah sampai kapan, Ta?"
Jelita menggelengkan kepala. "Maafin gue, Man. Gue nggak tahu sampai kapan. Gue nggak tahu kapan hati gue bisa memaafkan dan benar-benar siap untuk mulai semuanya dari awal lagi."
Mandala terpaksa. Walaupun dengan berat hati. Lebih baik melihat gadis itu bermesraan dengan Raga daripada tidak melihatnya sama sekali. Mandala tahu Jelita benar, mereka harus tetap hidup. Mereka harus sama-sama melepas ketergantungan satu sama lain. Harus! "Gue akan dateng, Ta. Dan gue akan dateng bareng, Raga."
*****
            Mereka sepakat menghabiskan hari itu untuk berbahagia. Untuk tidak mengungkit apapun dan menyinggung masalah itu. Berusaha untuk tertawa dan bahagia dengan wajar. Tapi tidak seorangpun sanggup membohongi hati yang sedang menangis.
            Perpisahan harus terjadi. “Sampai Jumpa” harus diucapkan. Dan hari berakhir dengan sisa kepingan hati yang pecah, sisa ketangguhan diri yang menyerah, dan sisa air  mata yang tidak lagi bisa dibendung. Berpisah, tapi sampai kapan?
*****
Cafe itu tidak banyak berubah. Susunan mejanya, pajangan di dindingnya, aroma semerbak kopinya, lantai kayunya, pemandangan di luarnya. Tidak ada yang berubah. Sudah lima tahun. Sudah lima tahun berlalu tanpa seorangpun mau mampir dan duduk di sana sejenak. Mereka cukup tahu diri untuk tidak terjerumus ke dalam kenangan masa lalu yang rumit. Tidak untuk seorang Mandala yang perlu mencari tempat nongkrong lain demi kafein. Tidak untuk Jelita yang harus mencari kesibukan dan teman-teman baru agar dia tidak lupa caranya tertawa. Tidak pula bagi Raga yang harus kabur travelling jauh-jauh demi menyingkirkan foto-foto lama dan menggantinya dengan yang baru.
Undangan itu begitu mendadak. Undangan untuk kembali lagi menyusun masa depan bersama-sama. Tetapi sudah lima tahun. Sudah lewat dua belas bulan di kali lima. Sudah selama itu mereka berusaha mengorek lubang dan mengubur diri sendiri. Maka karena ingin menantang keteguhan diri, sampailah mereka di cafe itu lagi. Duduklah mereka di sana lagi. Sementara cafe itu tetap sama saja, ketiga manusia itu justru yang banyak berubah.
Mandala yang sukses di salah satu bank internasional, datang dengan kemeja kerja yang sudah lusuh. Jelita yang kini kerja di majalah dan meluangkan beberapa waktu untuk jadi pembicara, datang dengan terusan floral. Raga, yang jadi fotografer terkenal di perusahaan swasta dan sibuk keliling dunia, datang dengan kemeja kotak-kotak dan jeans kebesaran. Sudah lewat zamannya mereka cuma ketemu pakai T-shirt dan converse. Sudah lima tahun...
Yang hadir pertama, adalah aroma Machiatto dari cangkir Mandala. Mengembalikan atmosphere lama persis seperti lima tahun yang lalu. "Gila, udah lima tahu,n" kata Mandala usai menyeruput isi gelasnya.
Lalu tawa renyah Jelita. "Udah lama banget ya. Nggak nyangka butuh lima tahun buat move on."
Kemudian nyala blitz itu dari kamera Raga. "Udah lama nggak moto kalian."
"Untung Raga nelfon gue, kalo nggak, gue juga bingung gimana caranya ketemu kalian," kata Jelita tersenyum, mengingat telfon yang membawanya bernostalgia.
"Kalo nggak karena kue yang tiba-tiba nyampe ke meja kerja gue, gue juga mungkin nggak tahu kalo ternyata kalian juga udah siap untuk balik lagi ke sini," sahut Mandala yang berusaha menghindari senyuman Jelita.
"Dan kalo nggak karena temen lama gue tiba-tiba ngetok pintu dan minta masuk, gue juga mungkin udah terlanjur ngikhlasin semuanya."
Lalu mereka tertawa.
Masih banyak cerita yang belum usai. Masih banyak ending yang belum menemukan titiknya. Masih banyak tanda tanya yang memenuhi lembaran sebelumnya. Tetapi tidak seorangpun cukup berani untuk kembali dan memperbaiki. Mereka melewati lima tahun untuk memborgol kotak kenangan itu dan membuang kuncinya. Agar jika suatu hari mereka mampu membeli kotak yang baru dan mengisinya bersama lagi, mereka tak perlu menarik kunci untuk kembali mengintip ke dalam kotak yang lalu. Ada banyak kebahagiaan. Tetapi siapa yang tahu jika masih ada rasa yang tertinggal dari kisah sebelumnya? Yang bersembunyi malu-malu dan dihardik untuk tidak keluar dari persembunyiannya.

Hanya mereka yang tahu...

Tawa, lensa, dan secangkir kopi.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya