Memilih

P e r g i – M e n i n g g a l k a n
B e r t a h a n – D i t i n g g a l k a n

Mana yang lebih berat?

            Bagiku, sama berat. Pilihan memang tidak pernah menyenangkan. Seringkali aku ingin mendapatkan keduanya atau meninggalkan keduanya. Menurutku jika kamu memiliki sedikit saja kebaikan, maka kamu akan memilih bertahan. Jika kamu memiliki sedikit saja kemauan, maka kamu akan memilih pergi. Mana yang lebih baik? Bagiku, sama baik. Kalau kamu, bagaimana?
            Bukannya langit terlalu benderang untuk bertengkar tentang perkara yang selama ini berusaha untuk tidak aku ributkan? Aku bahkan tidak bisa melihatmu, atau bisa jadi tidak mau, karena kalau aku menatapmu, aku dipaksa menyadari bahwa aku telah lebih dulu kehilangan separuh harapan dan kepercayaan itu. Bahkan ketika aku belum siap. Mungkin aku memang tidak pernah siap. Aku tidak akan pernah siap.
            “Aku sudah lama berhenti” katamu.
            Iya. Berhenti menghubunginya. Berhenti menunggunya. Berhenti mengejarnya. Berhenti memilikinya. Tetapi kamu bertahan. Bertahan mengkhawatirkannya diam-diam. Bertahan memikirkannya diam-diam. Bertahan menginginkannya diam-diam. Mungkin, bertahan mencintainya diam-diam juga? Semua tebakanku serba spekulatif. Tapi aku maupun kamu sama-sama tahu aku baik dalam menebak dengan tepat. Tapi aku bahkan tidak punya cukup tenaga untuk mengungkapkannya dan memulai pertengkaran denganmu.
            “Iya” bagiku, tidak ada jawaban yang lebih baik daripada meng-iya-kan.
            “Tapi kamu nggak yakin!”
            Bagaimana mungkin aku meyakini hal-hal yang tidak ada kejelasannya? Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan orang yang tidak menghabiskan waktunya untuk memikirkanmu juga, iyakan?
            Hari ini aku menghabiskan hariku untuk pergi keluar. Tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa kepastian. Aku hanya ingin keluar, siapa tau dapat inspirasi harus bagaimana menghadapimu. Aku hanya ingin pergi, melarikan diri dari pikiran tentangmu, meskipun mungkin kedua-duanya gagal. kakiku sudah lecet, tapi lukanya tidak lebih sakit dari nyeri di dada, jadi tidak masalah, aku tetap berjalan meskipun entah kemana.
            Dari ujung jalan, aku lihat ada toko oleh-oleh dengan lampu kuning setengah redup dan papan kayu yang menggantung sekarat di depan pintunya. Aku berjalan kearahnya, siapa tau ada oleh-oleh manis untuk jiwa yang sedang tidak sehat. Dari luar, aku bisa melihat oleh-oleh yang barangkali umurnya sudah terlalu tua untuk tetap dipajang di etalase. Tetapi aku tetap memutuskan untuk masuk juga. Ketika aku membuka pintu, wangi debu yang lama tidak dibersihkan yang menyambutku. Ada debu tebal dimana-mana.
            “Hallo… selamat malam!” diikuti sapaan laki-laki tua dari kasir yang terlihat seolah-olah telah menungguku datang sejak ribuan tahun yang lalu. Dia keluar tergopoh-gopoh dari balik meja kasirnya, dengan tongkat yang menyanggah berat tubuhnya. Rambutnya sudah tinggal sedikit, itupun warnanya sudah putih semua.
            Aku hanya membalasnya dengan senyuman, tidak tahu harus membalas apa.
            “Cari apa, Nona?” tanyanya.
            Aku hanya mengangkat bahu, sambil menyapukan jemariku di pajangan-pajangan berdebu, “Tidak tahu, apa saja, mungkin ada yang bisa saya beli.”
            “Sini-sini, saya punya satu yang bagus.” Kemudian dia membawaku menuju meja kasirnya. Aku mengikutinya, kemudian duduk dihadapannya. Untuk ukuran meja kasir, meja tersebut terbilang cukup tinggi, sehingga kursi nya lebih mirip kursi bar. Ada akuarium dari kaca berbentuk bulat yang ditempeli tulisan “TIPS” besar-besar, meskipun isinya hanya beberapa koin recehan saja. Itupun masih membuatku takjub, barangkali koin-koin itu sudah lama dan tidak diambil-ambil, dengan harapan bisa beranak sendiri.
            Kemudian dia mengambil sesuatu dari lacinya, sebuah kalung, dengan liontin hijau kecil, tetapi manis, dan sebuah kaca pembesar, meskipun aku masih dapat melihatnya dengan sangat jelas. Mungkin kaca pembesar itu lebih banyak membantunya daripada pelanggannya.
            “Coba lihat sini, warnanya hijau. Seharusnya mengkilat, kalau sering-sering dibersihkan dan dipoles. Ah padahal sudah saya letakan di laci, maksutnya biar tidak terlalu banyak kena debu. Tapi tetap tidak bisa bertahan kilatannya.”
            “Hijaunya bagus, memang seharusnya semengkilat apa?”
            Kemudian pak tua itu mengangkat wajahnya menatapku, “Mengkilat sekali, dulu isteriku paling senang membersihkan yang ini. Yang satu ini paling jarang dipajang. Katanya, suatu hari kelak, kalung ini akan menemukan pemiliknya. Tanpa harus dipajang, tanpa harus dipromosikan, tanpa harus dipaksakan.”
            Aku tertawa kecil, dan yang sedang dia lakukan sekarang? Bukankah itu sebagian dari promosi? Beberapa orang menggunakan cerita untuk melakukan promosi dan dalam beberapa kasus, cerita adalah cara yang kuat untuk membuat keterikatan tertentu secara psikologi dengan konsumennya. Orang tua ini mungkin sudah belajar banyak sebelum terjebak menjadi pemilik toko oleh-oleh yang tidak laku ini.
            “Nah kamu pasti tidak percaya kan? Anak muda sekarang banyak tidak percayanya.”
            Aku tersenyum, “jangan salahkan kami yang sulit percaya pak, kami hidup di zaman dimana orang-orang berjanji tetapi tidak menepati. Ngomong-ngomong isteri bapak memangnya kemana?”
            Dia gantian tersenyum, “Isteri saya sudah meninggal. Sudah lama sekali. Umurnya masih muda waktu itu, mungkin sekitar pertengahan 40. Rambutnya masih hitam, masih cantik.” Kemudian tatapannya menerawang, seperti merindukan yang jauh.
            “Maaf pak”
            Tetapi bapak tua itu kembali cerah, “Nggak usah minta maaf, nggak apa-apa. Saya yakin dia sudah diberikan tempat yang nyaman disana. Lebih enak daripada tinggal di tempat kecil begini sama saya. Kalau kamu sendiri bagaimana?”
            Aku menarik jaketku sedikit lebih rapat. Aneh, didalam hawa nya malah lebih dingin. “Bagaimana apanya pak?”
            “Sudah baikan sama pacarnya?”
            Aku menyernyitkan dahi secara otomatis. Ko tahu?
            “Tahulah, saya ini sudah hidup puluhan tahun. Melihat anak muda seperti kamu sudah biasa.” Dia bahkan menjawab meskipun aku bertanya dalam hati.
            Aku tertawa, “ini bukan gerai fortune teller kan?”
            “Untungnya sih bukan.” Dia ikut tertawa. “Jadi, kamu punya cerita apa buat saya?”
            “Cerita? Saya kan disini mau beli oleh-oleh bukan mau cerita.”
            “Membayar barang disini harus dengan sebuah cerita.”
            Aku tertawa, “jenis cerita seperti apa?” aku menantang.
            “Cerita yang membuat pelanggan saya tidak bahagia, sampai-sampai memutuskan untuk mampir ke toko oleh-oleh ini.”
            “Saya bahagia pak, makanya saya datang ke toko bapak.” Kataku berusaha bercanda.
            Tetapi laki-laki tua itu menatapku lebih dalam, “Benarkah? Sebahagia apa?”
            Kemudian aku hanya diam. Sebahagia apa? Benarkah aku bahaghia? “Saya bahagia pak.” Aku mengulanginya. Bisa jadi aku lebih butuh pengulangan itu dibandingkan bapak tua ini. Tetapi kemudian aku terdiam lagi, “Lebih tepatnya, seharusnya saya bahagia. Tapi yang menjadi masalah adalah, orang yang saya cintai tidak bahagia, dan yang lebih buruk dari itu, mungkin dia tidak bahagia karena saya.”
            “Memangnya ada apa?”
            Aku menggeleng sambil berusaha tetap tersenyum kearahnya, “Tidak apa-apa.”
            “Dia masih mengingat orang lain yang dulu pernah singgah dihidupnya?”
            “Kalau bapak tahu cerita saya, kenapa bapak masih harus bertanya?” aku heran.
            “Saya tidak tahu, sayakan hanya menebak-nebak saja. Makanya saya tanyakan biar kamu yang klarifikasi. Supaya lega.”
            Aku hanya tersenyum,”Iya.”
            “Ah perempuan memang begitu sejak dulu, selalu saja sensitive. Senangnya mengambil kesimpulan sendiri. Padahal kami laki-laki terkadang tidak berniat begitu.”
            “Tidak ada perempuan yang tidak marah ketika kekasihnya memanggilnya dengan nama perempuan lain. Kecuali wanita itu tuli dan tidak waras.” Tiba-tiba aku naik darah.
            “Nona, tidak ada pula laki-laki yang berniat sampai hati memanggil kekasihnya dengan nama perempuan lain…”
            “Kecuali dia terlalu sering memikirnya. Terlalu sering mengkhawatirkannya. Terlalu sering mengenangnya. Sampai-sampai perempuan yang sedang berada dihadapannya, mempertaruhkan sebagian mimpinya untuk cerita percintaan yang konyol, seperti tidak ada gunanya. Seperti orang tolol yang tiba-tiba kehilangan harapan hidup.”
            Dia hanya tersenyum, mungkin mengasihani, mungkin sedang memaklumi perkataan anak muda dihadapannya yang jauh dari kata sopan. “Bukankah itu kesalahan kecil yang sederhana? Tuhan saja maha pemaaf.”
            “Sayangnya saya ini manusia, bukan tuhan, jadi tidak bisa disamakan.”
            “Kalau dia tidak benar-benar mencintai kamu, kalau dia mencintai perempuan itu, kenapa juga dia harus memutuskan untuk bersamamu?”
            “Mungkin karena dia tidak punya pilihan lain. Karena dia tidak bisa bertahan mencintai orang yang tidak bisa mencintainya. Mungkin karena dia ingin belajar dan berusaha mencintai orang yang benar-benar bisa mencintainya. Mungkin, mungkin saja, tetapi dia gagal.”
            “Laki-laki tidak diciptakan untuk gagal.” teori darimana?
            “Tetapi laki-laki diciptakan untuk membuat kesalahan dan kesalahan itu yang membuatnya gagal.” aku tetap tidak mau kalah.
            Dia hanya tersenyum, memperhatikanku sambil menghembuskan napas sabar. Mungkin laki-laki tua itu paham, tidak ada gunanya bedebat dengan seorang perempuan yang sedang dilanda cemburu. Tidak ada gunanya memperdebatkan cinta dengan makhluk yang tuhan ciptakan hanya dari sebagian tulang rusuk, sehingga sangat takut kehilangan tubuh utuh yang akan membuatnya lengkap.
            Aku sendiri lelah, aku sendiri berusaha menyibukan diri sehingga mata ini tidak perlu menyiratkan perasaan kehilangan, tetapi tidak bisa, aku menangis lagi, bakan dihadapan bapak tua yang senang menebak-nebak ini. Aku tidak mau, aku tidak suka melakukannya, aku tidak bisa merasa dikasihani, tetapi barangkali kalau aku tidak menangis, aku tidak bisa merasakan apapun lagi.
            “But I love him anyway.”
            “I’m sure you do,” dia tersenyum, aku ikut tersenyum. “and I am good in English anyway.” Katanya bercanda, berusaha meniru caraku berbicara.
            “Kalau saya mencintainya, mungkin sangat mencintainya, which one is better, make him stay or let him go?
            “Let him decide.”
            “Seberapa besar saya bisa mempercayai keputusannya?”
            “Seberapa besar kamu mencintainya?”
            “Bagaimana cara mengukurnya?” sejujurnya aku tidak suka seseorang yang berusaha menjawab dengan kembali mengajukan pertanyaan.
            “Indikasinya sederhana, kamu tetap berusaha memaafkannya, kamu ingin selalu memaafkannya, dan kamu akan selalu memaafkannya. Karena perjuangan terberat bagi saya, adalah memaafkan.”
            Aku hanya bisa senyum-senyum mendengarkan jawabannya, “I don’t know, I’m afraid that I can’t comeback from that venom, and that hatred, and that ugliness. I don’t know, because running seems easier. I don’t know because  I got a lot of strange thought nowadays.
            “Tapi saya yakin kamu bisa.”
            “Pak, saya bukan pemaaf.” Kataku terang-terangan.
            “Bukannya pacar kamu sudah jelasin kalau dia nggak ada maksut apa-apa? Kalau dia juga sebenarnya sudah lupa sama perempuan itu?”
            “How do you know?”
            “Karena laki-laki tidak pernah meninggalkan pertengkaran tanpa penjelasan, kecuali dia memang benar-benar minta diputusin.”
            “Pak, tapi kalau dia tidak mencintai saya, kenapa saya harus memaksa dia untuk tinggal? Saya nggak mau dia nggak bahagia, apalagi itu karena saya.”
            “Sayakan sudah bilang, just let him decide. Dia itu laki-laki dewasa, bukan anak kecil. Kalau kamu yang maksa dia untuk tinggal tapi dianya nggak mau, dia juga nggak akan ngelakuin itu. He does understand that there’s no force on earth could make him feel right.
            Aku diam, menimbang-nimbang perkataannya yang terdengar benar. Tidak tahu kalimat apalagi yang bisa aku gunakan untuk membantah dan menunjukan betapa insecure nya perempuan yang sedang duduk memakan waktu dihadapannya.
            “Ini kamu ambil, kalungnya dipake, dijaga baik-baik. Batu ini bisa membawa kebahagiaan, keberuntungan dalam percintaan, dan membantu menempuh cobaan, katanya, tapi saya juga tidak tahu, belum pernah coba. Tapi kalau nggak percaya juga nggak apa-apa. Pokoknya jangan dibuang, disimpan aja. Siapa tau suatu hari nanti butuh atau ada orang lain yang butuh.”
            Aku tersenyum sambil menerimanya, “Terimakasih.” Kemudian aku menyodorkan uang ke arahnya, tidak seberapa, barangkali juga sebenarnya tidak sebanding dengan pemberiannya, tetapi laki-laki tua itu menolak, “Ambil saja, saya senang memberikannya. Anggap saja hadiah, karena saya sudah lama tidak punya pembeli.”
            “Tapi saya ikhlas pak.”
            “Saya juga ikhlas. Saya ini sudah lebih lama hidup daripada kamu, jadi lebih paham soal ikhlas.” Katanya tidak mau kalah.
            Jadi aku hanya tersenyum kepadanya.
            “Sudah-sudah sana, ada yang nunggu diluar. Jangan lama-lama di dalam sini!”
            Aku celingkukan mengintip keluar melalui kaca etalase, tetapi tidak ada siapapun diluar. Hanya jalanan kosong yang diterangi lampu jalanan dan kaleng minuman yang berkelontang ditiup angin. Tetapi aku merapikan pakaianku dan bangkit berdiri, bisa jadi bapak tua ini memang sudah lelah, jadi menyuruhku untuk pulang.
            “Saya tidak mengusir, kamu saja tidak mau dengar kata-kata orangtua.”
            Aku tertawa, “tapi saya percaya bapak bisa baca pikiran. Jadi saya minta maaf kalau ketahuan memikirkan hal-hal yang tidak sopan sejak membuka pintu tadi, dan terimakasih, membuat saya merasa lebih baik.” Kemudian aku berbalik, melangkah pergi.
            “Nona,” bapak tua itu memanggil sebelum tanganku sampai di pegangan pintu, sehingga aku berbalik lagi menatapnya, “kalau kamu sulit mempercayainya, kamu lihat matanya. Pasti ada lingkaran hitam karena dia semalaman tidak tidur memikirkanmu, dan kalau kamu bisa menatapnya lebih dalam lagi, kamu bisa tahu ada perasaan yang sama pedihnya denganmu yang justru ditambah dengan perasaan bersalah. Kamu bisa melihat kejujuran itu dari matanya, mata laki-laki tidak pernah bisa berbohong.”
            Kemudian aku membalasnya dengan senyuman, dan pergi meninggalkannya. Diluar bahkan udaranya lebih hangat, meskipun anginnya lebih kencang. Kakiku sudah mulai terasa sakit karena lecetnya, yang berarti sakit di dadaku sudah mulai membaik dan akal pikiranku sedikit lebih sehat. Tidak ada siapapun yang menungguku diluar. Aku berjalan sendirian, berbelok dipersimpangan jalan, menuju pusat kota yang lebih ramai, dimana klakson taxi dan suara teriakan-teriakan mulai ramai.
            “Bria.” Aku mendengar namaku dipanggil, oleh suara yang khas, yang tidak asing, yang pemiliknya hanya satu orang saja.
            Aku menggigit bibir sebelum berbalik dan menemukan dia disana, di ujung jalan yang lain, diterangi lampu dari mini market disebelahnya yang terang-benderang. Mungkinkah ini orang yang sedang menungguku diluar? Bagaimana mungkin bapak tua itu bisa mengetahuinya? Aku menggenggam kalung pemberian bapak tua itu dengan lebih erat.
            Aku hanya berdiri disana, membiarkan orang berlalu-lalang disekitarku, sementara duniaku terasa berhenti untuk sementara waktu. Laki-laki it menghampiriku, dengan cara jalannya yang selalu terburu-buru.         
            “Kafa.”
            You can’t leave me this way, you mess me up. I can’t live this way, please…”
            Aku menatapi matanya, dan aku menemukan lingkaran hitam di bawah matanya, dan aku berusaha menatapinya lebih dalam, dan aku menemukan kepedihan itu, iya aku menemukan rasa bersaah itu disana. “don’t you think that we have to go back and see what we’re willing to do about it?
            I’m just thinking that we shouldn’t leave each other. Even if you want it to, I can’t
            I am deeply mad at you, you know that?
            I know, I know, just mad at me, just yell at me, do everything you want to do, you can do everything, but don’t leave me. Stay!
            Kemudian aku menariknya, memeluknya, membiarkan semua perasaan itu dibawa hangat tubuhnya. Memaafkan tidak pernah semudah ini bagiku, dan aku mau bertahan meskipun dia hanya memintanya sekali. How bad! “and it feels like I would never forgive myself if I didn’t fight for it.”
            Dia memelukku lebih erat lagi, sampai aku bisa merasakan jantungnya, aku bisa bersandar disana, merasakan pundaknya, merengkuh tubuhnya dan merasakan berat badannya menyusut, meskipun aku begitu marah, pelukannya tetap menjadi tempat favorite ku.
            Tempatku untuk pulang.

……….

            Beberapa minggu kemudian, aku menyempatkan berjalan melewati toko oleh-oleh milik bapak tua itu, siang hari, ketika jalanan lebih hidup dan ramai, dan toko buka warna-warni membuat lebah beterbangan, dan hari yang baik untuk mengenakan warna kuning.
            Tetapi yang kujumpai, justru sebuah toko CD, bukan toko oleh-oleh yang etalasenya dipenuhi barang tua yang diselimuti debu. Tetapi aku tetap masuk kedalam, menyapa penjaga kasir bertubuh gempal yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.
            “Misi mas, ini bukan tadinya toko oleh-oleh ya?”
            “Dia menyernyitkan dahi, dari dulu juga saya udah jualan disini mba.”
            “Ohiya? Bukannya dulu ini toko oleh-oleh?”
            “Dulunya kapan mba, toko oleh-oleh nya zaman buyut saya, ini udah berapa kali ganti mba. Mba nya salah kali.”
            Aku jadi bingung sendiri, sambil melihat keluar. Tapi benar jalan ini, aku tidak pernah dalam pengaruh alcohol dan percintaan tidak membuatku seteler itu. Jadi aku yakin kemarin itu tempatnya disini.
            “Disini ada toko oleh-oleh lain nggak ya mas? Yang jaga kakek-kakek, udah tua banget, isterinya sudah meninggal.”
            “Mba nya kok ngotot banget, kan sudah dibilang nggak ada mba.”
            “Yaudah-yaudah, maaf. Saya kan cuma mau memastikan.”
            Kemudian aku memutuskan untuk meninggalkan toko dan penjaga kasir yang super nyebelin. Tetapi sebelum aku sempat meninggalkan toko, aku melihat lukisan tua yang dipajang diatas pintu, potret si laki-laki tua dan barngkali isterinya. “Loh mas, kalo itu foto siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke atas
            “Foto buyut saya mba, kan saya udah bilang jualan oleh-olehnya jaman dulu. Kakek mba juga belom lahir kali.”
            “Hah serius? Tapi baya baru ngobrol sama bapak tua itu beberapa minggu yang lalu.”
            “Mba nya mimpi kali ya.”
            “Ih apaansih!” aku jadi kesal sendiri, kemudian buru-buru pergi keluar.

      Disepanjang jalan, pikiranku masih tertuju padalaki-laki tua itu sambil memegangi kalung pemberiannya yang aku pakai dan menggantung manis dibalik kemeja kuningku, jika dia hidup di masa yang jauh sekali, lalu siapa laki-laki tua yang mala mini mengundangku untuk bicara?

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya