Pamit



Aku masih larut menatapi jendela dan langit gelap dengan rasa yang sama seperti dua pekan lalu. Orang-orang takut aku hilang waras karena aku terdiam dan termenung walau air mata tidak berjatuhan dari pelupuk mata. Tidak ada gunanya, karena semua air mata itu juga tidak akan membuatmu kembali. Hanya aku tidak tahu, bahwa ternyata melepaskanmu sesulit ini, dan aku harus melakukannya walau sebagian diriku tidak terima.
Masih basah dalam ingatan ketika langit malam sesendu kali ini, kala hujan turut merintik dibalik matamu. Jendela memberi mataku pemandangan kota yang ramai dengan lampu dan harapan yang berangsur-angsur surut. Kau merunduk, menyandarkan keningmu di bahuku, dan serta-merta bahu ini menopang seluruh beban yang memelukmu dengan mesra. Tanganmu perlahan merenggut seluruh tubuhku, seolah hanya milikmu, bergegas merengkuhnya kedalam hangat wangi tubuhmu yang belum dibasuh mandi sore ini. Perlahan wajahmu mengangkat, menatap mataku dengan cemas, kemudian menutupnya dengan kecupan sederhana di keningku.
“Ada apa?”
Kau hanya menggeleng. Padahal keresehan itu masih bertamu di wajahmu, belum juga pulang sebab kau tidak akan mampu menyembunyikannya dariku. Kutelusuri garis wajahmu yang tegas dengan ujung jemariku, dengan kekhawatiran dipuncak batinku.
“Kau akan baik-baik saja.” kataku, berbisik lembut.
“Kau akan baik-baik saja.” kau mengulangi, dengan intensitas keyakinan yang lebih mantap dari sekedar berkata-kata. 
“Kalau kau ada masalah…”
“… kau bisa menceritakannya kepadaku.” Sanggahmu sambil tersenyum. Kamu barangkali telah mendengarnya seratus juta kali setiap kamu memutuskan untuk tidak berbagi. Karena kamu tidak suka dipaksa, dan aku telah berhenti memaksa sejak 547 hari yang lalu, sambil menggiring hari bersamamu.
“Aku minta maaf karena membuatmu marah kemarin.”
Sekitar pukul delapan malam lebih 4 menit, kemarin malam, waktu Jakarta bersedih. Ketika aku menemukan lembaran-lembaran surat masa lalumu di tas kerja, seusai memaksa mencari pulpen sendiri walaupun sudah berusaha kau larang. Tidak tahu lebih baik bersyukur atau menyesal. Tetapi sudah terjadi, jadi aku hanya diam membiarkan waktu melambat.
“Kau masih marah?” tanyamu melembut.
“Buat apa aku marah jika kau sedang merindukan rumah dan mendambakan untuk pulang, sementara yang kusiapkan tidak akan pernah lebih nyaman.”
“Maaf…”
Hanya itu yang kau katakan. Biasanya kau akan menyanggahnya mati-matian sampai para nyamuk membuat taruhan siapa yang akan menang, persepsiku atau justifikasimu. Hanya rindu yang selalu cukup untuk saling memaafkan. Tapi malam ini berbeda, dan betapa memalukannya bahwa hatiku jauh lebih lega jika kau melanjutkan perdebatan. Membuat rangkaian pembelaan yang membuatku tidak merasa diujung juangmu, dibanding membuatku berpikir bahwa aku tidak lagi penting.
“Hanya itu?” tiba-tiba aku ingin mempertegasnya.
“Aku bisa menjelaskan sebanyak apapun yang kau butuhkan, sejelas apapun yang kau harapkan, aku bisa membuat pegunungan dari kata-kata yang ingin kau dengarkan, tetapi untuk apa? Jika semua ucapan itu hanya mampu memenuhi hasrat marahmu, tanpa benar-benar kau yakini kebenarannya. Tetapi kau akan tahu bahwa aku mencintaimu, selalu.”
Aku melangkah mundur, merasa asing dengan dirimu. “Aku senang tetapi sedih, seperti kehilanganmu untuk menemukan dirimu. Kau mau cokelat panas?”
Sungguh tembok beton ini tetap tidak mampu menghalangi hawa dingin yang menyelinap masuk menggelitik tubuhku. Tetapi tadi tidak sedingin ini, barangkali angin hujan baru berimigrasi kedalam. Tidak apa-apa, aku senang kau disini.
Aku berjalan lambat menuju dapur dank au membutut di belakang, mencoba meracik secangkir cokelat panas kesukaanmu, dengan dua sendok gula tambahan. Rasanya hambar kalau tidak pakai gula, begitu katamu. Padahal aku selalu bilang jika kau kurang manis, mungkin kau kurang lama menatapku. Kemudian kau akan mendekat, memelukku dari belakang, sampai seringkali aku menumpahkan gula atau menjatuhkan perabotan yang dekat dengan siku. Membayangkannya membuatmu terasa jauh, padahal kau sedang duduk bertopang dagu di meja makan tepat di belakangku. 
“Cokelat panas dengan dua sendok gula.”
“Kau tidak minum?”
“Tidak, kau saja.” aku menyodorkan gelas itu dan kau menunggunya sampai tidak terlalu panas. Tanganmu berayun mengipas-ngipas.
“Cokelat panasmu selalu yang paling enak”
“Benarkah?”
“Maaf jika aku jarang menghabiskannya, onde-onde depan kantor itu selalu mengambil jatah banyak di ususku.”
“Aku selalu kalah saing dengan orang-orang.”
Kamu menatapku, “karena kau bilang suka aku gemuk, jadi aku makan terus. Sampai lupa berapa banyak yang menjajah tubuhku. Aku seharusnya tahu setiap sisa cokelat panas itu selalu membuatmu kecewa. Padahal aku justru ingin membuatmu bahagia.”
“Tidak apa-apa, aku anggap itu salah abang onde-onde.”
Kamu tersenyum, tetapi berat sekali. Ada apa? Mengapa tetap tidak bicara? Aku juga sudah tidak marah, tetapi kau seperti disini dan tidak disini, ada tetapi tidak terasa ada. Mata itu kosong melompong dan aku tidak tahan tidak menatapnya lama-lama, mencari hal apa yang masih tersisa disana. Tetapi kosong.
“Aku tidak apa-apa, kamu sendiri bagaimana?” Ia seperti mampu membaca pikiranku.
“Aku? Tidak apa-apa. Hanya kau membuat aku khawatir, itu saja.”
“Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja. Aku yang justru khawatir padamu, kau mulai jarang marah, aku takut kau sudah mulai hilang sayang.”
​            “kalau ada seseorang yang lebih kukenal dari diriku sendiri, itu adalah kamu. Aku tidak marah karena aku ingin kau memutuskan, dan aku selalu percaya dengan hasilnya. Jika kau ingin disini, kau akan menetap, jika kau ingin kembali, kau akan berbalik arah, jika kau menemukan yang lebih nyaman, kau akan pergi kesana. Tidak ada maknanya bagiku jika tidak membuatmu bahagia.”
​            “Kau tahu aku menyayangimukan?”
​            Aku mengangguk. Karena setiap kali aku merasakannya aku ingin mendekapmu erat sampai detik lupa caranya berdetak. Aku ingin tenggelam didalamnya sambil berdoa agar kau disini saja, jangan disana, jangan dimana-mana. Setiap itupula aku akan bersedih, menghitung ribuan cara yang kau temukan untuk melarikan diri. 
​            “Maaf kalau aku sering membuatmu menangis. Pasti semalaman tidurku jadi tidak nyenyak. Aku selalu takut kau pergi esok paginya. Padahal aku masih ingin merasakan jemarimu menelusuri rambutku, berjalan disepanjang wajahku, kemudian mengecupnya walau aku suka menghindar. Aku masih ingin mendengarkanmu tertawa karena leluconmu sendiri, dan membuatku lupa sejenak bahwa dunia tidak baik.” Kata-katamu menyentuhku.
​            “Aku tidak pernah benar-benar ingin pergi.”
​            “Jadi pernah?” tanyamu. “Tidak usah dijawab, aku hanya ingin kau tahu bahwa hidupku tidak pernah seramai ini dan keramaian tidak pernah membuatku senyaman ini. Hatiku seperti berserah walau kau meranggas sepanjang waktu karena aku tidak pernah tuntas membuatmu bahagia. Aku minta maaf.”
​            “Aku maranggas dan tumbuh, aku pikir itu adalah musim dan yang terpenting aku tetap hidup utukmu.” Aku berusaha menyelamatkannya dari setiap kata maaf yang dia ucapkan dan masih berupa gagasan ribut di seisi kepalanya.
​            “Aku selalu menyukai tulisanmu.”
​            “Terimakasih, karena selalu membacanya.” Aku sungguh-sungguh.
​            “Kau sudah berjanji tidak akan pernah berhenti menulis. Karena aksaramu tidak akan mati, bahkan Ia tumbuh mengakar dikepalaku. Aku menyukainya.”
​            “Kau kan selalu jadi orang pertama yang membacanya.”
​            Tapi senyummu tidak menyenangkan. Seolah kau tidak mengiginkannya, atau ingin mengajukan surat pegunduran diri. 
​            “Ada apa?” aku tidak tahan untuk tidak bertanya lagi.
​            “Aku mintaa maaf karena tidak pernah cukup, karena tidak cukup baik bagimu dan selalu membuatmu cemas. Aku takut, sangat takut, aku tidak bisa disini lagi, sekedar menatapmu berlama-lama sampai langit kembali terang.”
​            “Maksudmu?”
​            “Tidak ada. Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi.”
​            Aku tertawa, “Lucu!”
​            Kemudian ponselku bordering di kejauhan. Jauh sekali kedengarannya karena aku sendiri lupa dimana terakhir kali meletakannya. Barangkali di tempat tidur tertutup bantal, atau di sofa dekat meja kerja, atau di rak buku seusai meletakan tulisan Gibran, Ia bisa dimana saja dan aku kehilangan hasrat untuk segera pergi mengangkatnya.
​            “Kamu tidak angkat telfonnya?” tanyamu.
​            “Sudah selarut ini, haruskah aku mengangkatnya? Aku kehilangan selera untuk sekedar basa-basi.”
​            “Kalau sudah selarut ini dan masih menelfon, bisa jadi urgensi yang tidak bisa diselesaikan esok pagi. Angkatlah dulu sebentar.”
​            Aku mendengus kesal sebagai sebuah ekspresi bahwa sebenarnya aku tidak suka melakukannya walaupun aku setuju dan tetap melakukannya. Jadilah aku berjalan sambil menyeret-nyeret langkah, berusaha mendekati arah ponselku berdering yang ternyata terselip di bantalan sofa. 
​            Kulihat nama temanmu tertera disana, aku menyipit, karena tidak biasanya. Tidak ada urusan yang perlu dibicarakan selarut ini atau lebih tepatnya tidak ada apapun yang harus Ia bicarakan denganku. Tetapi katamu, barangkali urgensi.
​            “Hallo, Alif?” sapaku ragu
​            “Hallo Shaneea.” Suaranya gugup dan terdengar habis menangis, cara bicaranya agak gagap. Aku tidak tahu ada apa dan mengapa harus menelponku. Ada 99% probabilitas aku sangat dibutuhkan kali ini walaupun tidak paham untuk konteks sepenting apa.
​            “Iya?”
​            “Keenan…”
​            “Iya, kenapa? Keenan ada disini, tadi sepulang kerja mampir. Mau bicara?” Aku memikirkanmu. Ada apa denganmu? Kenapa selarut ini menelfon mencarimu. Kau disini bersamaku, apa yang perlu dikhawatirkan? Oh, mungkin Ia berusaha menghubungimu sedari tadi tapi tidak diangkat karena ponselmu terselip rapih didalam tas. 
​            “Disini? Maksudmu?”
​            “Iya disini, lagi minum cokelat panas, tadi sepulang kerja mampir ke apartementku. Ini masih disini sampai sekarang, ada apa sih?”
​            “Shaneea, Keenan kecelakaan sore tadi.”
​            “Hah, kecelakaan? Kecelakaan bagaimana sih maksudnya?”
​            “Kau sedang bersamanya sekarang?”
​            “Iya, kenapasih?” aku jadi geram dan tidak sabaran. Tetapi kudengar suaranya jadi gaduh disana, semacam penuh kutukan dan rasa terkejut yang aku sama sekali tidak paham apa maksudnya. Suaranya yang parau menjadi terlampau mantap.
​            “Shaneea, aku tidak tahu apa yang terjadi disana, tapi Keenan sudah di ICU sejak sore tadi dan barusan dokter mengabari kami bahwa nyawanya tidak bisa ditolong.”
​            Aku terdiam seperti satu,dua,tiga detik dan tidak terhitung berapa lama. Mematung. Membiarkan suara Alif semakin gaduh tetapi aku diam tidak bergeming. Kehilangan arah. Aku bingung. Seperti dilemparkan dari kabin pesawat tanpa parasut. Aku bergegas berlari kearah dapur, tetapi yang kutemui hanya secangkir cokelat panas yang masih utuh.
​            “KEENAN…” aku berlari kesana dan kemari, menerikana namamu sambil menangis tersedak-sedak. Berharap entah darimana kau akan segera menjawab. Tetapi tidak ada. Kosong. Hanya keheningan yang diisi oleh suaraku dan setiap pintu yang kubanting membuka dan menutup.
“Keenan…” aku seperti zat yang meleleh dan kehilangan bentuk. Mencari jejakmu dimana-mana. Tidak ada tas, tidak ada sepatu, tidak ada dasi yang biasa tercecer, tidak ada satupun hal tentangmu disini walaupun beberapa menit lalu lenganmu masih melingkar di pinggangku dan aku masih sangat mampu merasakannya, menyetrum sampai ke tulang dan setiap rongga jantungku. Masih hangat di tengkukku napasmu dan debaran jantungmu. 
Aku bisa gila. Atau entah aku memang sudah gila.
Aku meraung, menangis, menjerit, aku tidak tahu apa suaraku bahkan sampai ke kota sebelah. Aku kehilangan lebih dari sekedar seseorang, karena rasanya seperti segala kepunyaanku dijarah secara tidak bertanggung jawab. 
Kosong. Kemudian tiba-tiba hilang.
“Shaneea bangun!” tetapi mengapa yang kudengar masih suaramu, yang kucium masih aroma parfummu, yang kurasakan di bahuku masih genggaman tanganmu.
Aku bisa gila! Aku membuka mata dan aku melihat kamu disana, sementara aku terbangun diatas kasurku dan masih lengkap dengan pakaian tidur serta selimut. Sementara kamu bergegas, terburu-buru seperti hendak pergi ke suatu tempat yang jauh. Menarik-narik koper dengan gegabah sambil melihat aku gusar.
“Kamu mau kemana?” tanyaku.
“Mau pergi! Aku sudah terlambat sekali. Ah, aku paling tidak suka terlambat dihari pertama, rasanya jadi canggung.” Katamu masih mondar-mandir seperti menyiapkan sisa-sisa keperluan yang masih tercecer dimana-mana. Memasang kaus kaki dan meneguk sisa sir putih di gelas yang hampir tandas.
“Aku nggak perlu ikutkan? terus kenapa bangunin aku?” tanyaku bingung
​            “Mau pamit dan bilang jangan takut.” Kemudian kamu berjalan ke arahku, memeluk, mencium, dan pergi dengan terburu-buru. Aku mendengar suara klick dari pintu yang kau tutup dengan lembut, kau selalu begitu. Tetapi kemudian duniaku menjadi buram. Ada cahaya yang mendekat dan rasanya mataku buta. Ia menelanku sejadi-jadinya sampai aku rasanya rontok dan hangus.
​            “Shaneea! Shaneea kamu sudah sadar?” suara-suara menjadi ribut disekitarku. Semakin lama semakin dekat dan riuh. Telingaku tidak kuat menahan bebannya sehingga mataku perlahan-lahan terbuka. 
​            Yang kulihat pertama kali adalah wajah bunda yang basah oleh air mata, kemudian infus yang menusuk tanganku, wangi alcohol khas rumah sakit, selimut yang kasar dan tipis, dan suara manusia-manusia lain yang tidak kalah antusiasnya.
​            “Aku di rumah sakit? Keenan mana?”
​            Tapi kulihat wajah bunda lambat-laun berduka. Antusiasnya pudar dan kekhawatiran berkilas disana. “Keenan sudah meninggal di malam ketika kami menemukan kamu pingsan di ruang tengah.” Aku merasakan bunda menarik mendekapku, “jangan sedih nak, ini sudah jalannya. Ini yang terbaik.”
​            Aku tidak menangis Keenan. Tidak.
​            Itulah pertama kalinya hatiku nyeri tidak karuan dan aku tidak menangis. Karena mereka tidak akan pernah tahu, bahwa sebenarnya kamu sempat mampir untuk pamit.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya