Andai

Setengah hidupku setelah perginya hanyalah sebatas andai. Dalam ingatmu, aku adalah pengecut yang takut, padahal beraniku adalah menghadapi hari-hari tanpa hadirmu, lalu memenuhi diriku dengan sesal dan marah.

 

Andai aku bisa mencintaimu dengan tepat. Memberimu ruang yang lapang agar kau paham kekacauan apa yang terjadi di kepala, yang membuatku lebih sering lari dibandingkan mengerti. Mungkin saja kamu masih disini, menyusun aku dari derita dan putus asa, merapihkannya dengan sabar, yakin bahwa cepat atau lambat upayamu akan tuntas.

 

Andai aku mampu mencintaimu dengan baik. Mendengar khawatirmu yang selalu pecah setiap bertengkar, menarikmu lagi dalam dekapan, lalu menjanjikan esok yang lebih tenang. Mungkin saja kamu masih disini, menopangku dengan percayamu yang keras kepala, mengusir pasrahku yang tak pernah kalah.

 

Maaf, karena aku tak bisa menjdi rindu tanpa menjelma ragu. Maaf, karena memaksamu menyerah karena aku tidak merasa cukup mampu untuk bertahan. Maaf, karena tak pernah menjadi atapmu bernanung, hanya sekedar hamparan beton yang menghalangimu menatap malam. Maaf, karena upaya terakhirku justru mendesakmu pergi.

 

Kamu tidak seharusnya disini, karena aku selalu menjelma badai yang tak bisa redam.

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Maaf

Selamanya