Maaf

 Pagi ini rasanya berbeda.

 

Setiap hidup di rumah mati. Aku seperti ditinggalkan bersama kebisuan yang tidak lagi bisa bersuara. Burung di luar jendela sepi, entah bisa jadi mereka sedang libur berkicau. Hanya ada jendela yang membasuh dirinya dengan embun, tatapi sudah mulai mengeringkan diri.

 

Kamu dimana?

 

Aku kehilanganmu sejak membuka mata. Aku mencarimu di kolong meja, di laci dapur, di halaman belakang tapi tidak ada. Suara langkah kakimu tidak terdengar dari mana-mana, lenyap, bahkan kayu saja masih meninggalkan abu supaya api bisa mengenang. Tetapi satu-satunya yang kamu tinggalkan adalah jejak kemarahan, yang masih meresap di sekujur ingatanku. Bagaimana kamu bertahan, menangis, meluapkan semua rasa yang lama menghuni ruang jantungmu. Semalam aku membebaskan mereka, membuat mereka menjerit dan berteriak dari dirimu yang damai.

 

Tukang paket yang mengirimkan sepucuk surat tagihan menanyakanmu, abang ojek yang mengirimkan makanan menanyakanmu, tukang sayur yang lewat menanyakanmu, sendok di dapur bertanya tentang jari yang biasa membuatnya mengaduk gula, aku menyakanmu. Di dalam hati, tentang apakah kamu akan kembali.

 

Sudah kusampaikan pada setiap helai daun yang jatuh, dan telinga tetangga yang mengintip penasaran dari jendela, membicarakan tentang kita dan pisah. Andai mereka tidak sengaja berpapasan denganmu di timeline Instagram, akan sampai padamu perasaan bersalah yang terlalu takut menyerahkan diri. Atau andai jika kamu masih membaca buku yang kujual murah di toko buku, akan selalu ada aku pada setiap halaman, menunggumu memaafkan.

 

Tapi kalaupun tidak, ya tidak apa-apa. Kamu tidak perlu disini. Kamu hanya perlu baik-baik saja. Karena setiap kali kamu terluka, aku masih berdarah. 

Comments

Popular posts from this blog

Bertahan

Selamanya